Menu Close

Pertahanan siber Indonesia jadi tugas penting panglima TNI yang baru

Calon Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa saat sidang paripurna di kompleks Parlemen, Jakarta. Galih Pradipta/Antara Foto

Dalam uji kepatutan dan kelayakan calon Panglima Tentara Nasional Indonesia (TNI) di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) awal November lalu, Jenderal Andika Perkasa menyebutkan bahwa salah satu prioritas utama kepemimpinannya adalah penguatan keamanan siber.

Presiden Joko “Jokowi” Widodo dijadwalkan [melantik Andika](https://www.cnnindonesia.com/nasional/20211116100421-32-721725/jokowi-lantik-andika-perkasa-jadi-panglima-tni-besok](https://news.detik.com/berita/d-5814580/jokowi-lantik-jenderal-andika-jadi-panglima-tni-hari-ini-letjen-dudung-ksad), yang sebelumnya menjabat Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD), sebagai Panglima TNI hari ini.

Pernyataan Andika itu adalah pertanda positif bagi masa depan keamanan dan pertahanan siber Indonesia. Laporan Check Point Software Technologies menunjukkan bahwa serangan siber di Indonesia terjadi tujuh kali lebih banyak rata-rata dunia dengan sektor pemerintah dan militer, manufaktur, dan perbankan menjadi tiga sektor yang paling terimbas serangan siber.

Salah satu kejadian mencolok terakhir adalah peretasan situs Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) pada Oktober lalu.

Fokus pada pertahanan siber oleh TNI menjadi keniscayaan dan kini memiliki kegentingan ekstra.

Indonesia telah memiliki fondasi yang relatif dalam pertahanan siber, namun ini belum cukup untuk menghadapi pelbagai tantangan pertahanan siber yang terus berkembang. Setidaknya, terdapat tiga tantangan besar pertahanan siber yang harus diselesaikan oleh Panglima TNI yang baru.

Fondasi baik

Dalam hal pertahanan siber, secara kelembagaan, TNI telah memiliki rujukan regulasi berupa Undang-Undang (UU) No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dan Peraturan Pemerintah (PP) No. 82 tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Teransaksi Elektronik. TNI juga mengacu pada Pedoman Pertahanan Siber yang dirilis oleh Kementerian Pertahanan pada 2014.

Dengan segala kritik terkait peraturan-peraturan tersebut, ruang regulasi ini mampu memberikan fleksibilitas bagi TNI untuk mengambil inisiatif di bidang pertahanan siber, di antaranya dengan pembentukan Satuan Siber (Satsiber) TNI.

Keluwesan ini juga didukung adanya sinergi lintas kelembagaan dalam penguatan pertahanan dan keamanan siber dengan BSSN, Badan Intelijen Negara (BIN), Kementerian Komunikasi dan Informatika, dan kepolisian.

Dalam beberapa tahun terakhir, pertahanan siber juga menjadi pembahasan reguler antara tiga matra TNI (Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara). Berkembangnya diskursus ini telah mendorong pembuatan kebijakan pertahanan siber di kalangan TNI, seperti mulai pelaksanaan rutin latihan operasi pertahanan siber di semua matra dan sejumlah inisiatif peningkatan kapasitas prajurit.


Read more: Bagaimana sebenarnya rencana anggaran pengadaan alutsista Rp 1,7 kuadriliun dan apa yang perlu dilakukan?


Tiga tantangan

Tantangan terbesar muncul dari dalam internal kelembagaan TNI. Walau telah menjadi hal yang rutin yang terucap dan tertulis dalam berbagai kesempatan, pertahanan siber masih belum menjadi wacana utama.

Ini adalah persoalan budaya strategis (strategic culture) dan doktrin militer yang masih menempatkan isu pertahanan dan keamanan siber sebagai isu keamanan non-tradisional.

Budaya strategis Indonesia, mengutamakan pertahanan fisik – khususnya darat – dan pandangan yang ke arah dalam (inward-looking) dalam melihat potensi ancaman pertahanan dan keamanan.

Akibatnya, pertahanan siber menjadi nomor dua dalam prioritas strategis, politik anggaran dan pengadaan sumber daya.

Tantangan kedua adalah tantangan lintas kelembagaan, yaitu adanya persepsi berbeda terkait ancaman keamanan dan pertahanan siber di antara lembaga-lembaga.

Perbedaan ini berdampak pada pendekatan pengambilan kebijakan yang silang sengkarut. Hal ini juga berkaitan dengan sifat ancaman siber yang kerap mengaburkan batas antara isu pertahanan dan keamanan, domestik dan internasional, maupun tradisional dan non-tradisional.

Tantangan ketiga adalah semakin rumitnya dinamika strategis di kawasan Indo-pasifik.

Persaingan strategis antara Amerika Serikat (AS) dan Cina akan menjadi lanskap utama dinamika keamanan kawasan hingga beberapa dekade ke depan yang berpotensi menempatkan Asia Tenggara sebagai episentrum konflik.

Pertempuran siber telah, sedang, dan akan menjadi bagian utama yang mewarnai lanskap geopolitik tersebut.

AS dan sekutunya telah berulangkali menuduh Cina melakukan serangan siber. Terakhir, kesepakatan aliansi AUKUS antara AS, Australia, dan Inggris menyisipkan kerja sama siber, Artificial Intelligence, dan teknologi kuantum sebagai instrumen untuk menggentarkan Cina.


Read more: Penempatan perwira militer, polisi aktif di BUMN menjadi tanda Reformasi semakin mundur


Tugas panglima

Walau mungkin hanya akan memimpin TNI dalam waktu yang singkat, Andika perlu untuk menyiapkan fondasi lanjutan bagi masa depan pertahanan siber Indonesia.

Menurut saya, ada tiga poin yang dapat ia jadikan pilihan kebijakan pertahanan siber.

Pertama, pengembangan kapasitas dan kapabilitas penggentaran siber (cyber deterrence) menjadi keniscayaan.

Pengembangan ini dapat dilakukan dengan mengubah orientasi pertahanan siber dari yang selama ini cenderung bersifat defensif, menjadi ofensif.

Peningkatan kemampuan ofensif siber dan kapasitas untuk mengelar operasi secara terus-menerus (persistent engagement) akan berefek pada penggentaran siber.

Hal ini harus diikuti oleh modernisasi alutsista di bidang siber dan peningkatan kapasitas siber prajurit secara signifikan. Proyek Kekuatan Pokok Minimum (Minimum Essential Force) atau MEF di masa mendatang perlu lebih banyak memasukkan dimensi pertahanan siber.

Ini tentu bukan pekerjaan yang dapat dilakukan cepat, namun perubahan orientasi akan berdampak besar bagi masa depan pertahanan siber Indonesia.

Hal ini akan berakibat pada perubahan budaya strategis melalui terobosan-terobosan yang mengedepankan pertahanan siber. Perubahan orientasi ini juga akan menjawab tantangan dinamika kawasan yang menuntut Indonesia mampu mempertahankan ruang siber dan fisiknya secara mandiri.

Kedua, tantangan dinamika lingkungan strategis kawasan memerlukan diplomasi pertahanan siber.

Penekanan pada sentralitas ASEAN dalam penurunan ketegangan kawasan menjadi relevan dengan memasukkan isu konflik siber.

Melalui kerja sama dengan Kementerian Luar Negeri dan Kementerian Pertahanan, TNI perlu mendorong keterlibatan yang lebih aktif dalam mendorong pembentukan norma-norma siber kawasan yang mendorong stabilitas dan perdamaian kawasan ASEAN.

Penegasan kepemimpinan Indonesia di Asia Tenggara perlu dilakukan melalui inisiatif dan sikap proaktif pada diplomasi pertahanan siber.

Ketiga, dan yang paling membosankan karena sudah sering dilontarkan, adalah sinergi lintas kelembagaan.

Persoalan anggaran, arah kebijakan, dan harmonisasi kebijakan pertahanan dan keamanan siber akan menjadi tugas wajib bagi Panglima TNI yang baru.

Komunikasi yang intensif dengan kepemimpinan sipil khususnya dengan Presiden Jokowi dan Menteri Pertahanan Prabowo Subianto akan menjadi kunci. Faktor kedekatan Andika dengan kedua nama tersebut mungkin dapat modal komunikasi yang positif.

Pada akhirnya, segala tantangan dan inisiatif perihal pertahanan dan keamanan siber tidak boleh melupakan amanat reformasi perihal hubungan sipil-militer yang lebih demokratis.

Masih terdapat sejumlah pekerjaan rumah besar terkait demokratisasi hubungan sipil-militer. Kita bisa lihat beberapa tahun terakhir, gravitasi politik elektoral sialnya menarik militer (dan terlebih lagi, polisi) ke ruang-ruang politik praktis.

Akibatnya, ruang demokrasi kita terutama di ranah siber mengalami penurunan kualitas yang signifikan.

Kemampuan pertahanan siber yang lebih baik tidak boleh digunakan untuk menyerang rakyat sendiri maupun cawe-cawe dalam urusan politik elektoral, khususnya di pemilu terdekat 2024.

Kepentingan keamanan dan pertahanan (siber) harus tetap meletakkan demokrasi dan hak asasi sebagai prinsip yang tak boleh dikompromi. Ini adalah tugas terbesar bagi Panglima TNI di era reformasi: memastikan TNI menjalankan amanah reformasi, melindungi demokrasi, dan menjaga pertahanan NKRI.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,300 academics and researchers from 4,941 institutions.

Register now