Menu Close

Pertemuan menteri ASEAN: upaya mengatasi krisis Myanmar kembali gagal - apa langkah selanjutnya?

Menteri Luar Negeri negara-negara ASEAN. Committee of the 56th AMM/PMC

Menteri luar negeri negara-negara ASEAN bertemu awal bulan Juli di Jakarta. Pertemuan ini dihadiri perwakilan diplomatik bukan hanya dari negara-negara Asia Tenggara namun juga dihadiri oleh perwakilan dari negara-negara mitra di luar kawasan, termasuk Amerika Serikat (AS), Cina, Australia, Jepang dan Korea Selatan.

Sebagai Ketua ASEAN tahun ini, Indonesia ingin berfokus pada bagaimana ASEAN mampu mendorong kolaborasi di tengah perubahan regional dan global.

Namun, jalan masih panjang untuk bisa mencapai misi ASEAN dalam menciptakan stabilitas dan keamanan regional serta mempercepat pertumbuhan ekonomi.

Salah satu alasannya adalah karena ASEAN belum mampu mengatasi situasi krisis di Myanmar secara signifikan.

Konflik di Myanmar telah berlangsung sejak Februari 2021, setelah Junta militer menggulingkan pemerintahan Aung San Suu Kyi—-pemimpin yang terpilih secara demokratis.

Sejak saat itu, di Myanmar terjadi perang saudara, tidak hanya Junta dan oposisi sipil, tetapi juga melibatkan berbagai kelompok etnis di negara tersebut. Diperkirakan 12 ribu orang telah terbunuh dan jutaan warga sipil terpaksa mengungsi.

Mengapa Myanmar penting bagi ASEAN

Perdamaian di Myanmar penting bagi ASEAN karena dua alasan.

Pertama adalah alasan sosioekonomi. ASEAN mengalami kesulitan untuk menerapkan pemerataan pertumbuhan ekonomi dan integrasi di seluruh kawasan melalui Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA).

MEA merupakan salah satu upaya ASEAN untuk menjadikan kawasan ASEAN sebagai satu pasar tunggal dan basis produksi bersama. Ini menjadikannya kawasan yang sangat kompetitif, dengan pembangunan ekonomi yang merata, dan terintegrasi penuh ke dalam ekonomi global.

Situasi politik yang tidak stabil di Myanmar turut menjadi salah satu faktor penghambat implementasi MEA secara efektif. Tidak hanya itu, krisis di Myanmar saat ini juga menciptakan arus pengungsi yang melarikan diri dari konflik antara Junta dan oposisi. Menurut data PBB, lebih dari satu juta penduduk Myanmar telah mengungsi ke negara-negara sekitarnya di kawasan, termasuk ke Indonesia.

Alasan kedua, yang bisa dibilang lebih penting bagi ASEAN sebagai sebuah institusi, adalah politik. Kegagalan dalam menyelesaikan krisis Myanmar akan berdampak besar pada persatuan dan kestabilan di kawasan dan mengancam kredibilitas ASEAN dalam jangka panjang.

Kegagalan terus-menerus

Beberapa bulan setelah kudeta, anggota ASEAN dan Junta Myanmar menyepakati Lima Poin Konsensus (Five Points of Consensus/5PC).

Konsensus ini mencakup penghentian kekerasan di Myanmar, dialog antara semua pihak, penunjukan utusan khusus, pemberian bantuan kemanusiaan oleh ASEAN, dan kunjungan utusan tersebut ke Myanmar untuk bertemu dengan semua pihak yang terlibat.

5PC telah menjadi referensi utama bagi ASEAN sebagai pendekatan untuk penyelesaian konflik di Myanmar.

Namun, hingga saat ini, pihak Junta masih mengabaikan konsensus tersebut. Ini menimbulkan keretakan di internal ASEAN perihal bagaimana menerapkan 5PC dan melanjutkan negosiasi dengan pihak Junta.

Konferensi tingkat tinggi yang berlangsung selama empat hari di Jakarta tidak menghasilkan kemajuan yang signifikan terkait penyelesaian krisis Myanmar, kecuali hanya seruan untuk melakukan “dialog inklusif di Myanmar”. Tidak ada kerangka waktu dan hasil yang jelas yang dicapai dari konferensi mengenai bagaimana ASEAN dapat membantu menyelesaikan konflik di Myanmar.

Kegagalan ini kembali menimbulkan keraguan akan kemampuan ASEAN untuk membuat kemajuan perdamaian yang nyata dalam menyelesaikan konflik, terutama selama masa kepemimpinan Indonesia.

Bulan lalu, Thailand dan Laos mengadakan pertemuan informal tertutup dengan Junta di Thailand untuk mencari “solusi alternatif.”

Pertemuan tersebut mematik beragam respons dari negara-negara anggota ASEAN lainnya. Beberapa pihak bahkan mengatakan bahwa pemerintah Thailand menyabotase upaya Indonesia.

Sementara itu, kelompok oposisi Myanmar merilis pernyataan yang mengkritik kegagalan ASEAN yang “terus berlanjut” dalam menyelesaikan krisis.

Melibatkan negara-negara di luar kawasan

ASEAN sangat perlu menunjukkan relevansinya dalam politik internasional kontemporer.

Mungkin ini saatnya bagi ASEAN untuk mengakui bahwa mereka tidak dapat menyelesaikan konflik Myanmar sendirian dan perlu untuk mengikutsertakan negara-negara mitra ASEAN secara lebih aktif. Terdapat peran-peran yang dapat diisi oleh negara mitra ASEAN yang dapat mendukung upaya ASEAN di Myanmar.

AS dan sekutu-sekutu Barat, misalnya, telah menjatuhkan sanksi ekonomi terhadap rezim tersebut. Mereka juga membatasi akses pemerintah dan pejabat Myanmar terhadap sistem keuangan internasional.

Sanksi-sanksi ini dapat mendorong Junta ke meja perundingan, yang selama ini belum dapat dilakukan oleh ASEAN, karena “prinsip kebijakan non-intervensi”. Prinsip ini melarang negara-negara ASEAN untuk mencampuri urusan dalam negeri satu sama lain. Menjatuhkan sanksi akan menjadi pelanggaran terhadap prinsip ini.

Namun, ASEAN dapat menghubungkan upaya negosiasi mereka dengan sanksi Barat. ASEAN dapat menawarkan untuk mencabut sanksi jika Junta dapat menunjukkan kemajuan dalam negosiasi dengan ASEAN. Tentu saja, langkah ini juga membutuhkan persetujuan dan komitmen bersama dari pihak Barat karena pihak Barat yang menjatuhkan sanksi ekonomi. Ini merupakan salah satu contoh dari kerja sama lebih lanjut antara ASEAN dan negara-negara mitranya untuk menyelesaikan konflik Myanmar.

Masih ada waktu bagi Indonesia untuk menggunakan waktunya sebagai ketua dan pengaruh diplomatiknya yang kuat untuk memulai langkah-langkah lebih lanjut dengan negara-negara mitra untuk mencoba dan memperbaiki situasi di Myanmar.


Rahma Sekar Andini dari Universitas Negeri Malang menerjemahkan artikel ini dari bahasa Inggris

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,700 academics and researchers from 4,947 institutions.

Register now