Menu Close

Pestisida di mi instan Indonesia melebihi batas aman di Taiwan: kenapa standar keamanan pangan berbeda-beda?

Produk Indomie Rasa Ayam Spesial yang diekspor di Taiwan. Biggo.com.tw

Akhir April lalu, satu jenis produk mi instan populer asal di Indonesia dan dikenal di seluruh dunia, Indomie varian Rasa Ayam Spesial, ditarik dari pasar Taiwan. Sebab, kandungan residu etilen oksida (EtO) atau pestisida dalam bumbunya melebihi batas aman dari standar keamanan pangan di Negeri Formosa tersebut.

Otoritas keamanan pangan Taiwan menggunakan metode penentuan 2-Chloro Ethanol (2-CE) untuk mengukur sisa EtO pada sampel bumbu mi instan. Mereka menemukan sisa EtO sebesar 0,34 ppm, dan metode ini dapat digunakan untuk memperkirakan jumlah EtO yang digunakan dalam produk yang diuji.

Angka itu melebihi atas aman di sana karena Taiwan tidak memperbolehkan EtO terdapat pada pangan. Di Indonesia, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) menetapkan batas maksimal residu 2-CE sebesar 85 ppm untuk kategori Pasta dan Mi Pra-Masak serta produk sejenis. Dengan demikian, menurut standar BPOM, produk itu aman untuk dikonsumsi di Indonesia.

Meski telah diketahui efek negatifnya bagi kesehatan, keputusan penggunaan EtO dan turunannya masih menjadi perdebatan di lingkungan ilmuwan. Misalnya, data yang tersedia tentang 2-CE saling bertentangan dan tidak lengkap. Negara-negara di dunia juga memiliki standar yang berbeda-beda.

Zat beracun dalam produk makanan

Secara teknis, EtO digunakan untuk mencegah pertumbuhan Salmonella (bakteri pemicu diare) selama penyimpanan dan pengiriman produk makanan. Setelah produk disterilkan dengan EtO, produk tersebut harus didiamkan (aerasi) selama 24 jam untuk menghilangkan residu yang tertinggal selama proses sterilisasi.

Jika sirkulasi udara selama penyimpanan tidak divalidasi dengan benar, terdapat kemungkinan residu EtO tersisa dalam produk yang dapat menyebabkan terbentuknya senyawa non-volatile beracun lainnya, yakni 2-CE. Selanjutnya, senyawa ini terbentuk dari reaksi antara EtO dan klorin yang berasal dari kandungan klorida alami pada bahan makanan.

Sehingga, kemungkinan adanya sisa EtO dan 2-CE dalam bumbu mi instan dapat berasal dari penggunaan bahan baku tertentu, seperti minyak nabati atau rempah-rempah, yang telah terkontaminasi dengan senyawa-senyawa tersebut selama proses produksi atau penyimpanan. Namun demikian, EtO dan 2-CE tidak ditemukan secara alami dalam produk makanan atau minuman.

Sebelumnya, pada 2022, beberapa produk mi instan Indonesia juga ditolak di Eropa dan Singapura karena mengandung residu EtO dan 2-CE. Hasil analisis menunjukkan bahwa mi instan ekspor Indonesia mengandung total EtO (jumlah EtO dan 2-CE) yang melebihi batas yang diizinkan oleh regulasi Uni Eropa dan Singapura.

Temuan EtO juga terjadi pada produk es krim merek dari Prancis, Häagen-Dazs. Produk dengan kandungan EtO yang berlebihan telah ditarik dari negara-negara Eropa. Penyebab kontaminasi itu adalah rasa vanila yang digunakan sebagai bahan baku beberapa jenis es krim.

Riwayat insiden temuan etilen oksida

Pengembangan teknologi dalam industri makanan sangat penting untuk memenuhi kebutuhan penduduk. Namun, semakin kompleksnya teknologi yang digunakan dalam produksi makanan dan minuman, juga menimbulkan permasalahan baru dalam hal keamanan pangan.

Asal muasal isu baru temuan EtO dan senyawa turunannya seperti 2-CE dalam rantai pasok pangan bermula dari pemberitahuan (notifikasi) oleh The European Union Rapid Alert System for Food and Feed (EURASFF) tentang ditemukannya EtO pada biji wijen (sesame seeds) dari India selama periode 1 Januari 2011–31 Desember 2020.

Dalam kurun satu dekade, sebuah studi mengungkapkan bahwa biji wijen dan produknya dari India menjadi penyumbang notifikasi produk kacang dan biji-bijian sebanyak 66%. Analisis notifikasi RASFF menunjukkan bahwa kontaminasi Salmonella (bakteri pemicu diare) adalah masalah yang paling umum pada biji wijen dan produknya dari India selama periode 2011-2019.

EtO merupakan bahan kimia pemberantas hama yang efektif dalam membasmi bakteri Salmonella spp. pada biji-bijian dan rempah-rempah, seperti biji jintan dan lada hitam, karena memiliki sifat mutagenik terhadap bakteri (ketidakmampuan untuk tumbuh dan berkembang biak).

Alih-alih menurunkan kontaminasi bakteri Salmonella, penggunaan EtO justru membahayakan manusia serta dianggap sebagai ancaman bagi lingkungan karena sifatnya yang mudah terbakar, mutagenik, dan karsinogenik (pemicu kanker).

Regulasi EtO dan 2-CE dari berbagai negara

Negara-negara di dunia menentukan batas aman EtO dan 2-CE yang berbeda-beda.

Di Uni Eropa, peraturan (European Regulation, EC) No. 396/2005 dan 2015/868 telah menetapkan batas maksimum residu EtO dengan Limit of Quantification (LOQ) berkisar antara 0,01-0,1 mg per kg yang bergantung pada jenis produknya.

LOQ adalah batas terendah yang dapat diukur dengan akurasi tertentu oleh sebuah metode analisis. Sebagai contoh, batas maksimum residu EtO untuk jeruk adalah 0,02 mg per kg.

Di Amerika Serikat dan Kanada, penggunaan EtO dan 2-CE dibatasi maksimal masing-masing 7 mg per kg dan 940 mg per kg.

Perbedaan signifikan batas maksimum ini disebabkan oleh pandangan Kanada bahwa EtO akan hilang lebih cepat dan residunya akan berkurang secara signifikan setelah penggunaannya.

Di Jepang, EtO merupakan pestisida yang tidak diatur batas maksimal residunya secara spesifik. Namun senyawa tersebut dikenakan aturan batas maksimum yang sama untuk semua jenis produk pangan yang mengandung residu EtO (uniform limit) sebesar 0,01 mg per kg.

Singapura hanya mengatur kandungan EtO pada komoditas rempah-rempah, dengan batas maksimal 50 mg per kg. Namun, residu pestisida selain yang diatur pada regulasi tersebut tidak diizinkan dijual. Artinya, makanan apapun tidak boleh mengandung residu pestisida, termasuk dalam buah-buahan.

Di Thailand, EtO termasuk dalam daftar senyawa residu pestisida pada lampiran Thai Agricultural Standard (TAS 9002-2013). Senyawa tersebut tidak boleh terkandung dalam komoditas pangan.

Di Indonesia, EtO adalah bahan aktif dan bahan tambahan pestisida yang dilarang penggunaannya untuk memberantas hama dan penyakit tanaman pertanian serta peternakan berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 43 Tahun 2019 tentang Pendaftaran Pestisida.

Namun, BPOM Indonesia merekomendasikan perlu adanya nilai LOQ dalam batasan pengujian EtO dalam produk makanan, sehingga nilai tersebut dapat menjadi rujukan oleh produsen dan pengawas. Pemerintah seharusnya melakukan harmonisasi regulasi antara Pedoman BPOM ini dan Peraturan Menteri Pertanian tersebut.

Perdebatan penentuan standar residu EtO

Dampak negatif dari sisa EtO dan senyawa turunannya (2-CE) di produk makanan terhadap kesehatan sudah cukup jelas, tapi penggunaannya dan batas maksimal belum ada kesepakatan di kalangan ilmuwan karena data 2-CE saling bertentangan dan tak lengkap.

Organisai Kesehatan Dunia (WHO) merekomendasikan batasan EtO di lingkungan harus dijaga seminimal mungkin.

Berdasarkan data yang tersedia, 2-CE berpotensi memiliki efek mutagenik. Namun, belum ada indikasi bahwa 2-CE lebih berbahaya daripada EtO. Karena kurangnya data tentang potensi risiko keracunan, 2-CE harus dianggap toksikologi yang sama dengan EtO.

Sebuah artikel di jurnal Food and Chemical Toxicology menyimpulkan bahwa berdasarkan penilaian terhadap bukti karsinogenisitas dan data struktural yang relevan, tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa 2-CE dapat menyebabkan kanker.

Selain itu, tidak ditemukan bukti genotoksisitas (kemampuan untuk merusak materi genetik dalam sel yang menyebabkan mutasi dan kerusakan pada DNA) untuk 2-CE dan senyawa yang serupa. Sebaliknya, EtO dapat merusak DNA secara langsung.

Namun demikian, BPOM menetapkan standar residu EtO dan 2-CE untuk melindungi konsumen Indonesia. Batas maksimal residu pada pangan olahan untuk EtO sebesar 0,01 mg per kg dan 2-CE 85 mg per kg.

Risiko bagi konsumen

Perbedaan standar ini tidak membuat risiko konsumen di Indonesia lebih besar daripada risiko di negara lain. Namun, risiko konsumen di Indonesia dapat lebih tinggi karena adanya faktor-faktor yang terkait dengan commercial determinant of health alias aktivitas produsen komersial mempengaruhi kesehatan masyarakat.

Misalnya, sulitnya akses konsumen terhadap informasi mengenai risiko kesehatan dan adanya pelaku usaha atau produsen pangan yang mengutamakan keuntungan daripada kesehatan konsumen.

Dalam kasus residu pestisida di produk makanan, commercial determinant of health dapat berupa kebijakan perusahaan yang tidak memprioritaskan keselamatan produk dan konsumen. Juga sulitnya akses konsumen terhadap informasi dan pendidikan mengenai risiko kesehatan dan cara menghindarinya.

Selain itu, adanya regulasi yang berbeda dalam negeri dapat mempengaruhi faktor-faktor komersial yang mempengaruhi kesehatan, seperti ketersediaan pangan yang aman dan berkualitas. Hal ini dapat mempengaruhi akses masyarakat terhadap pangan yang aman dan berkualitas.

Oleh karena itu, pemerintah, perusahaan, dan seluruh stakeholder terkait harus memperhatikan faktor-faktor ini untuk mengurangi risiko kesehatan konsumen yang terpapar residu pestisida dalam produk makanan.

Setiap negara memiliki karakter risikonya masing-masing (risk characterization), sehingga standar keamanan pangan perlu disesuaikan dengan situasi setempat untuk memastikan bahwa makanan yang dikonsumsi aman bagi kesehatan masyarakat.

Dengan dinamika perdagangan internasional seperti saat ini, sangat penting bagi produsen pangan untuk memastikan bahwa bahan kimia yang digunakan dalam produksi makanan dan minuman aman untuk dikonsumsi oleh manusia sesuai dengan regulasi nasional yang berlaku. Serta, produk makanan dan minuman tujuan ekspor harus memenuhi regulasi standar keamanan pangan di setiap negara tujuan.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,800 academics and researchers from 4,948 institutions.

Register now