Menu Close

Polemik publikasi ilmiah Kumba Digdowiseiso: mengapa kasus pelanggaran akademik sering terulang?

Kumba Digdowiseiso, salah satu guru besar termuda di Indonesia, menarik perhatian komunitas akademisi, baik di Indonesia maupun di luar negeri. Nama Kumba jadi perbincangan karena kasus yang melibatkan dugaan pencatutan nama beberapa dosen internasional dalam publikasi ilmiahnya.

Insiden ini terungkap ketika Retraction Watch melaporkan pada tanggal 10 April 2024 bahwa sekelompok dosen dari Malaysia terkejut menemukan nama mereka terdaftar sebagai penulis dalam karya ilmiah milik Kumba. Tercatat, ada 24 akademisi dari Universiti Malaysia Terengganu yang namanya dimasukkan tanpa persetujuan mereka dalam daftar penulis artikel tersebut.

Problem kecurangan akademik seperti ini sebenarnya bukan masalah baru di Indonesia. Menurut data, kasus pencabutan artikel akademik yang terindikasi pemalsuan data, plagiarisme, klaim kepenulisan yang tidak benar, pengiriman artikel berulang kali, atau ada kesalahan umum terkait kode etik profesi setiap tahunnya meningkat.


Read more: Pandangan moralis kaburkan masalah struktural dalam pendidikan tinggi: butuh lebih dari sekadar kejujuran untuk atasi pelanggaran akademis


Misalnya, pada tahun 2022, tercatat 18 artikel ilmiah yang dicabut. Menjelang Maret 2024, jumlah tersebut meningkat menjadi 27 artikel. Peningkatan jumlah publikasi ilmiah yang bermasalah ini telah mempengaruhi reputasi Indonesia di kancah internasional secara negatif.

Lantas, mengapa kasus kecurangan akademik di Indonesia sering terulang?

Dalam episode SuarAkademia terbaru, kami membahas masalah ini bersama Idhamsyah Eka Putra, dosen dari Universitas Persada Indonesia dan Anggota Dewan Pengarah Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA), organisasi peneliti, akademisi, dan mahasiswa yang memperjuangkan kebebasan akademik di Indonesia.

Menurut Idhamsyah, permasalahan kecurangan akademik ini disebabkan oleh paradigma yang salah dalam perumusan kebijakan mengenai pendidikan tinggi.

Salah satu yang ia sorot adalah mewajibkan seluruh universitas untuk merilis publikasi ilmiah, terutama di level internasional. Idhamsyah menganggap ini adalah hal yang keliru karena seharusnya pihak kampus memiliki otoritas penuh dalam menentukan target dan orientasinya berdasarkan sumber daya yang ada.


Read more: Pelanggaran akademis di Indonesia masih marak: merusak ekosistem riset dan menyalahgunakan uang rakyat


Idhamsyah menambahkan, tuntutan ini semakin membebani pekerjaan para dosen yang sebelumnya sudah memiliki beban kerja yang cukup berat. Situasi ini pada akhirnya mendorong banyak akademisi melakukan hal-hal curang untuk menyelesaikan pekerjaannya.

Untuk memperbaiki ini, Idhamsyah berpendapat, salah satu langkah yang bisa diambil pemerintah adalah menempatkan universitas sebagai mitra dan tidak banyak ikut campur.

Menurutnya, pemerintah bisa membuka kesempatan bagi kampus untuk menentukan sendiri orientasi pengembangan dan keilmuannya, serta memberikan wewenang atau otonomi dalam menentukan arah kampus yang ingin dibangun.

Simak obrolan lengkapnya hanya di SuarAkademia–ngobrol seru isu terkini, bareng akademisi.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,900 academics and researchers from 4,948 institutions.

Register now