Menu Close
Kapal imigran rohingya mendarat di Pulau Sabang, Aceh, Sabtu 2 Desember 2023. Ampelsa/Antara Foto

Politisasi isu pengungsi Rohingya jelang Pemilu 2024: 5 hal yang perlu kita ketahui

Permasalahan isu Rohingya kembali menjadi sorotan setelah 1.887 pengungsi Rohingya tercatat mendarat di beberapa pantai di Provinsi Aceh sejak awal November sampai Desember 2023.

Berbeda dengan kedatangan mereka pada 2015, yang disambut dengan baik dan terbuka oleh warga dan pemerintahan daerah Aceh, kedatangan pengungsi Rohingya tahun ini menimbulkan polemik di tengah masyarakat Indonesia. Berbagai reaksi pun bermunculan, di antaranya penolakan dan pengusiran oleh warga Aceh, maupun seruan agar pemerintah bersikap tegas. Ini memperkuat resistensi kepada para pengungsi Rohingya yang tak memiliki kejelasan status kewarganegaraan ini.

Di tengah polemik ini, hoaks tentang para pengungsi Rohingya menyebar luas di dunia maya, menambah kuatnya dimensi politik dalam penanganan isu Rohingya di tanah air.

Mengapa isu pengungsi Rohingya menuai pro kontra dan penanganannya cenderung kompleks? Berikut lima fakta tentang isu ini.

1. Sengkarut hukum penanganan pengungsi di Indonesia

Indonesia belum menandatangani Konvensi Pengungsi 1951 serta Protokol 1967 sehingga tidak terikat dalam kewajiban memberikan suaka kepada pengungsi luar negeri. Namun, sebagai bentuk komitmen terhadap perlindungan hak asasi manusia (HAM), Indonesia terikat pada prinsip-prinsip hukum international yaitu non-refoulement yang melarang penolakan terhadap setiap individu yang mencari suaka dan meminta perlindungan dari masyarakat internasional akibat menghadapi persekusi dan penganiayaan di negara asalnya.

Warga melarang turun imigran Rohingya dari truk yang akan direlokasi di UPTD Rumoh Seujahtera Beujroh Meukarya Dinas Sosial, Ladong, Aceh Besar, Aceh, Senin 11 Desember 2023. Irwansyah Putra/Antara Foto

Jika Indonesia menolak kedatangan pencari suaka yang mencari perlindungan internasional, maka Indonesia bukan saja melanggar peraturan dan perundang-undangan berkenaan dengan perlindungan HAM, namun juga pelbagai instrumen hukum internasional yang sudah diratifikasi, seperti Konvensi Anti Penyiksaan.

Oleh karena itu, untuk menjaga komitmen Indonesia sebagai bagian dari masyarakat internasional yang menjunjung pentingnya HAM, Indonesia perlu memikirkan upaya pengelolaan pencari suaka yang responsif terhadap nilai-nilai perlindungan HAM.

Salah satu upaya yang telah dilakukan pemerintah Indonesia adalah dengan mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) No. 125 Tahun 2016 sebagai kerangka hukum dasar penanganan pengungsi dari luar negeri.

Perpres 124 sudah secara komprehensif mengatur pembagian peran dan tanggung jawab antara pemerintah pusat dan daerah dengan pembiayaan dari organisasi internasional dalam menanggapi kondisi darurat seperti yang terjadi saat ini.

Perpres ini juga mengatur peran pemerintah pusat yang bertanggung jawab atas koordinasi antar kementerian dan pihak berwenang dalam proses penyelamatan dan identifikasi kebutuhan, kemudian dengan dibantu pembiayaan oleh organisasi internasional melanjutkan koordinasi dengan pemerintah daerah setempat dalam menentukan lokasi penampungan sementara.

2. Lokasi Indonesia sebagai titik transit

Meskipun bukan merupakan negara tujuan akhir bagi para pencari suaka, Indonesia menyandang status sebagai negara transit karena lokasi geografisnya. Indonesia kerap menjadi titik perhentian sementara bagi para pencari suaka yang berniat untuk tiba di negara tujuan, seperti Australia, melalui jalur perairan. Sedangkan dalam konteks pengungsi Rohingya, krisis kemanusiaan di Laut Andaman yang terjadi pada tahun 2015 juga melibatkan Indonesia ketika seribu lebih pengungsi Rohingya terdampar di Aceh.

Pengungsi Rohingya yang terdampar di pantai Lamreh Kabupaten Aceh Besar menempati kantor Gubernur Aceh setelah direlokasi paksa oleh warga di Banda Aceh, Aceh, Minggu 10 Desember 2023. Irwansyah Putra/Antara Foto

Secara tradisional, tujuan pergerakan pengungsi Rohingya adalah Bangladesh dan Malaysia. Namun kondisi di Cox’s Bazar, penampungan sementara pengungsi Rohingya di Bangladesh yang menampung lebih dari 1 juta orang, kini makin memburuk secara keamanan dan sudah sangat padat. Ini membuat banyak pengungsi yang ingin keluar dan mencari tempat singgah baru tidak lagi mementingkan negara tujuan, sehingga mereka seakan pasrah ketika terdampar di wilayah Indonesia.

3. Tarik menarik otoritas pusat dan daerah

Penolakan terhadap pengungsi Rohingya yang tiba di Aceh baru-baru ini sebenarnya mengindikasikan kegagalan penerapan Perpres 125. Alih-alih menunjukkan kepemimpinan nasional dan daerah seperti saat gelombang pengungsi Rohingya pada tahun 2015, pemerintah pusat malah merekomendasikan pengembalian pengungsi Rohingya ke negara asal atau repatriasi.

Dalam pertemuan-pertemuan tingkat regional di ASEAN, repatriasi sudah sempat dibahas bersama dengan rumusan solusi Konsensus Lima Poin yang diajukan ASEAN, tetapi dinilai tidak efektif karena terhambat prinsip noninterferensi.

Sikap pemerintah pusat yang bertolak belakang dengan Perpres 125 juga menjadi dalih penolakan dari pemerintah daerah, yang sekaligus menunjukkan bagaimana sistem desentralisasi mampu memperkuat otoritas daerah untuk tidak selalu sejalan dengan kebijakan pemerintah pusat.

Selain itu, batasan yurisdiksi pemerintah daerah dan pemerintah pusat yang berkaitan dengan hubungan luar negeri dan migrasi internasional masih belum tegas. Hal ini berakibat pada keengganan pemerintah daerah untuk menyusun alokasi anggaran daerah untuk menangani pengungsi.

4. Politisasi jelang Pemilu 2024

Kedatangan para pengungsi Rohingya selama dua bulan terakhir juga bertepatan dengan situasi politik dalam negeri yang menghangat sejak dimulainya masa kampanye Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 November lalu.

Sejumlah pengungsi Rohingya yang dipindahkan dari Pantai Ujong Kareung Sabang berbaris untuk pendataan di tempat penampungan sementara di gedung eks kantor Imigrasi, Punteuet, Lhokseumawe, Aceh, Kamis 23 November 2023. Rahmad/Antara Foto

Isu pengungsi Rohingya menjadi salah satu isu sensitif yang berpotensi menyedot opini dan perhatian masyarakat, sehingga ikut menjadi arena kontestasi kepentingan politik para kontestan Pemilu 2024.

Sebagai contoh, arahan Presiden Joko “Jokowi” Widodo terkait penanganan pengungsi Rohingya kepada jajaran kabinetnya terkesan tidak satu suara, sehingga berpotensi menimbulkan intepretasi yang bervariasi.

Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD, misalnya menyatakan akan memulangkan para pengungsi ke negara asal. Namun, Wakil Presiden Ma'ruf Amin mengusulkan merelokasi para pengungsi ke Pulau Galang di Batam, Kepulauan Riau. Tidak ada kejelasan juga sampai kapan pemerintah akan memberikan bantuan sementara kepada para pengungsi.

Inkonsistensi dan ambiguitas di jajaran pemerintah pusat tidak lepas dari kepentingan kontestasi politik Pemilu 2024, khususnya karena terdapat anggota kabinet saat ini yang merupakan salah satu kandidat calon wakil presiden (cawapres) Pemilu 2024. Sementara itu, dukungan informal dari Jokowi ditujukan kepada kandidat calon presiden (capres) lain.

Isu pengelolaan pengungsi Rohingya dan narasi yang ditampilkan kepada publik menjadi penentu popularitas para kontestan pemilu dan para pendukungnya. Momentum tahun politik di Indonesia telah turut memunculkan politisasi isu pengungsi Rohingya untuk meraup keuntungan politik melalui platform media sosial,

5. Politik identitas dan stereotip rasial

Permasalahan ini juga diwarnai dengan munculnya narasi-narasi kebencian terhadap pengungsi Rohingya berupa penyebaran berita hoaks melalui akun-akun palsu yang mencakup stereotip rasial.

Stereotip rasial contohnya tudingan bahwa pengungsi Rohingya tidak menghargai pemberian warga lokal, suka membuat keributan dengan masyarakat setempat, dan bahwa mereka sengaja membayar sindikat perdagangan orang untuk mengirim mereka ke Indonesia agar mendapat lahan gratis dari pemerintah Indonesia.

Sejumlah pengungsi Rohingya antre untuk mengambil makanan di penampungan sementara Mina Raya, Kecamatan Padang Tiji, Kabupaten Pidie, Aceh, Rabu 15 November 2023. Joni Saputra/Antara Foto

Ujaran kebencian dan stereotip rasial kepada pengungsi Rohingya, pada gilirannya dapat menumbuhkan strategic narrative atau narasi antimigran yang digaungkan oleh kelompok ekstrem kanan. Narasi ini menekankan bahwa migran, dalam hal ini termasuk pengungsi, adalah ancaman terhadap identitas nasional.

Berdasarkan great replacement theory, adanya supremasi rasial akan memperkuat sentimen anti-migran yang memandang bahwa para pendatang akan menyingkirkan penduduk “pribumi” dari tanah air mereka.

Narasi semacam ini berkembang di dunia maya di Indonesia, Filipina, dan Malaysia yang mendorong supremasi Austronesia sebagai penduduk asli dari tiga negara ini. Oleh karenanya, etnis lain, termasuk Arab, India, Cina, dan Rohingya, dianggap sebagai liyan dan menjadi ancaman bagi keberadaan penduduk asli.

Pada akhirnya, selama kondisi Cox’s Bazar masih memprihatinkan dan sindikat tindak pidana perdagangan orang masih merajalela, maka gelombang pengungsi Rohingya kemungkinan besar akan terus berdatangan ke Indonesia.

Tanpa pengelolaan yang baik, permasalahan Rohingya berpotensi mempertajam supremasi rasial bagi mereka yang merasa berhak mendapat fasilitas lebih dari pemerintah, ketimbang pengungsi Rohingya yang dianggap bukan penduduk asli Indonesia.

Hal yang paling penting sekarang adalah semua pihak perlu menghindarkan diri dari politisasi isu humanitarian ini di tengah kuatnya polarisasi politik identitas menjelang Pemilu 2024.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,600 academics and researchers from 4,945 institutions.

Register now