Menu Close
Gedung bertingkat tersamar kabut polusi udara di Jakarta. Antara/M Risyal Hidayat

Polusi Udara: faktor penting pembangunan PLTS yang sering terabaikan

Saat ini, Indonesia gencar merencanakan pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) di berbagai daerah di Indonesia.

Mulai dari mega-proyek PLTS Terapung Cirata di Jawa Barat yang menjadi PLTS terbesar di Asia Tenggara, PLTS Musi Green Hybrid, hasil kerja sama antara pihak swasta di Sumatra Selatan, hingga PLTS atap skala kecil yang tersebar di kota-kota besar, seperti DKI Jakarta dan Jawa Barat. Berbagai proyek ini menunjukkan pemerintah dan pihak swasta mulai aktif memitigasi perubahan iklim.

Namun, pembicaraan rencana pengembangan PLTS di publik amat jarang menyinggung aspek polusi udara. Padahal, aspek itu cukup mempengaruhi tingkat insolation atau paparan cahaya matahari yang berisiko mengurangi efektivitas produksi PLTS.

Bagaimana polusi udara mempengaruhi produktivitas PLTS?

Particulate matter (PM) 2.5 adalah salah satu indikator polusi udara yang berbahaya bagi manusia dan lingkungan. PM 2.5 ini berukuran 2.5 mikron–6,8 kali lebih kecil dibanding rambut manusia.

Dalam aspek produksi listrik PLTS, jika tingkat PM 2.5 di udara semakin tinggi, maka paparan cahaya matahari yang didapatkan oleh panel surya kian berkurang.

Sementara, jika cahaya matahari yang didapatkan oleh panel surya semakin sedikit, maka produksi daya listrik akan rendah. Akhirnya, keuntungan pemakaian teknologi ini bisa menurun drastis.

Sebagai contoh, [pada tahun 2019, Jakarta mengalami sekitar 250 hari dengan tingkat PM 2.5 yang cukup tinggi, atau melampaui 55,4 mikrogram per meter kubik (μg/m³).

Akibatnya, berdasarkan studi yang terbit dalam jurnal Energy and Environmental Science, Royal Society of Chemistry tahun 2018, kawasan Ibu Kota kehilangan sekitar 4,3% paparan radiasi matahari atau sekitar 1.721 kilowatt per meter kubik (KW/m²) per tahun.

Sebagai perbandingan, kehilangan paparan radiasi di Singapura sebesar 2,0%, Beijing 9,1%, dan Delhi 12,2% per tahun.

Berkurangnya paparan sinar matahari akhirnya mengurangi potensi kapasitas panel surya yang sudah terpasang. Pengurangan kapasitas daya PLTS per 1 kilowatt puncak (KWp) akan mengurangi potensi produksi setrum sekitar sekitar 57 kilo watt per jam per tahun.

Hal ini tentu saja merugikan para pelanggan PLTS Atap di Jakarta karena produksi daya dari PLTS mereka menjadi tidak maksimal.

Adapun data besaran kerugian finansial dari reduksi insolation akibat PM 2.5 di Jakarta belum diketahui. Namun, di New Delhi, India, potensi kerugiannya mencapai US$ 20 juta atau setara Rp 285 miliar per tahun. Sedangkan di Beijing, Cina, diprediksi merugi US$10 juta atau sekitar Rp 142 miliar untuk PLTS atap dengan kapasitas 1000 megawatt (MW).

Asap kendaraan dan kebakaran hutan

Warga berusaha memadamkan api yang membakar lahan tidak jauh dari pemukiman, dan nyaris menghanguskan rumah mereka di Kelurahan Baamang Barat, Kecamatan Baamang, Kabupaten Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah. Antara/Untung Setiawan

Di kota-kota besar seperti Jakarta, penggunaan PLTS atap yang efektif sangat tergantung pada berkurangnya kendaraan bermotor. Pasalnya, sekitar 13-40% partikulat di udara Jakarta berasal dari emisi kendaraan bermotor.

Sementara, pertumbuhan jumlah kendaraan bermotor sekitar 15% per tahun. Tren ini berisiko semakin mengurangi produksi daya dari PLTS atap di masa depan.

Selain kendaraan bermotor di kota-kota besar, ancaman produksi daya PLTS atap juga berasal dari asap kebakaran hutan dan lahan.

Dibandingkan DKI Jakarta, risiko ini sangat tinggi–terutama PLTS skala besar yang berada di daerah rawan kebakaran hutan dan lahan. Misalnya di kawasan Musi, Sumatera Selatan, dan Kabupaten Bengkalis di Riau.

Nah, di lahan gambut, kebakaran akan menghasilkan emisi PM 2.5 lebih banyak dibanding kawasan lainnya.

Membangun PLTS harus dibarengi pengurangan polusi

Harga instalasi PLTS Atap di Indonesia masih cukup tinggi jika dibandingkan dengan harga instalasi PLTS global. Berdasarkan laporan dari lembaga penelitian National Renewable Energy Laboratory (NREL) Amerika Serikat tahun 2019, biaya listrik rata-rata panel surya di Indonesia adalah yang tertinggi di Asia Tenggara, sekitar US$ 165 (setara Rp 2,35 juta) per MWh (megawatt jam). Posisi LCOE kedua tertinggi ditempati Singapura yang mencapai US$122/MWh (sekitar Rp 1,73 juta per MWh).

Karena itu, penggunaan yang efektif dan hasil daya listrik yang maksimum sangat dibutuhkan supaya konsumen meraup keuntungan investasi yang sepadan.

Meskipun pembangunan PLTS atap merupakan keputusan pelanggan, pemerintah tetap berperan penting untuk mengimplementasikan kebijakan terkait penurunan tingkat polusi udara. Harapannya, paparan radiasi matahari bisa meningkat dan PLTS atap semakin produktif.

Saat ini, pemerintah berencana memberi insentif masyarakat untuk menggunakan PLTS atap dengan kebijakan insentif harga listrik kepada produsen (feed-in-tariff) agar penggunaan energi bersih dapat menggeliat. Namun hal ini belum cukup. Pemerintah diharapkan turut mengetatkan emisi dari sektor transportasi agar tingkat polusi udara menurun.

Terkait hal tersebut, pemerintah baru akan mengimplementasikan standar Euro 4 untuk membatasi emisi partikulat dari mobil diesel. Standar ini mengetatkan kandungan material seperti karbon dioksida, nitrogen oksida, karbon monoksida, yang lebih ketat dalam bahan bakar minyak. Namun, implementasi kebijakan tersebut juga berpotensi ditunda ke tahun 2022.

Cara pencegahan kenaikan emisi lainnya adalah peralihan ke penggunaan kendaraan listrik. Langkah untuk meningkatkan jumlah pengguna transportasi publik juga bisa menjadi solusi.


Read more: Apakah kita bersedia meninggalkan kendaraan pribadi jika transportasi publik digratiskan? Ini temuan ahli


Selain emisi dari sektor transportasi, pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) yang berada di sekitar Jakarta juga menyumbang sekitar 20-30% emisi di Ibu Kota. Karena itu, upaya mengurangi pembangkitan setrum dari PLTU batu bara penting dilakukan.

Sementara, untuk PLTS skala sedang dan besar yang sedang dikembangkan di daerah rawan kebakaran hutan dan lahan, pemerintah dan swasta harus melakukan analisis menyeluruh terhadap tingkat paparan sinar matahari di daerah tersebut. Hal ini semestinya dilakukan ketika proyek berada dalam tahap perencanaan lokasi.

Analisis itu dibutuhkan karena target pengembangan PLTS yang cukup besar: sekitar 328,8 MW.

Pengurangan emisi dan analisis paparan radiasi matahari adalah hal yang bisa ditempuh untuk membantu pelanggan dan investor mendapat keuntungan yang maksimal. Dampaknya, emisi dapat berkurang dan produktivitas PLTS meningkat. Pada akhirnya, dua upaya itu turut membantu Indonesia untuk meredam dampak krisis iklim.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 183,000 academics and researchers from 4,949 institutions.

Register now