Menu Close

Proyek EBT terbengkalai, NGO bisa bantu atasi masalah akses energi di daerah terpencil

akses energi
Ilustrasi pembangkit listrik dengan energi terbarukan. deliormanli/iStock

Indonesia – seperti diutarakan oleh Presiden Joko Widodo dalam konferensi iklim COP26 di Glasgow tahun lalu – berambisi untuk mempercepat transisi energi dan mencapai nol emisi karbon pada 2060.

Namun, transisi energi tidak hanya tentang menggantikan satu sumber energi dengan sumber energi lainnya. Proses ini juga harus bertujuan untuk menjaga kemudahan akses energi bagi masyarakat, terutama di daerah terpencil. Selain itu, keberlangsungan proyek energi terbarukan di daerah terpencil juga perlu menjadi catatan dan tak hanya ditinggal ketika pembangunan usai.

Walaupun memiliki potensi energi terbarukan yang besar, proyek energi di daerah terpencil masih belum memikat investor karena keuntungan yang minim.

Beberapa proyek energi terbarukan di daerah terpencil juga bermasalah sehingga menggerus kepercayaan publik terhadap proyek ini. Contohnya, proyek tambahan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) di Pulau Tunda, Banten, yang hanya beroperasi selama delapan bulan karena spesifikasi baterai yang tak cocok dengan panel suryanya. Sementara, bantuan dari pemerintah daerah memakan waktu yang lama karena keterbatasan sumber daya.

Semua pemegang kepentingan memiliki peran yang berbeda namun sama pentingnya dalam menyediakan akses energi di daerah terpencil. NGO, dalam hal ini, dapat mengoptimalkan kemampuannya untuk membangun pendekatan secara bottom-up (melibatkan masyarakat secara langsung dalam pembangunan proyek) dan top-down (kolaborasi dengan pemerintah dan bisnis) untuk menyelesaikan masalah ini.

Kolaborasi NGO, pemerintah, dan pelaku bisnis

Akses energi di daerah terpencil sangat bergantung pada pendanaan, infrastruktur pendukung, serta sumber daya manusia untuk mengoperasikan dan memelihara fasilitas energi demi menjamin keberlanjutan proyek.

Kondisi ini muncul karena sistem birokrasi yang kompleks di sisi investasi dan jaringan listrik, serta kemampuan yang terbatas termasuk soal pendanaan.

Masyarakat kurang dapat memanfaatkan pembiayaan dari bank dan investor swasta karena kurangnya minat mereka untuk berinvestasi pada proyek energi di daerah terpencil. Hal ini dikarenakan tingkat pengembalian keuntungan proyek tersebut terbilang kecil, khususnya pada proyek energi skala kecil. Pebisnis energi bersih juga mesti menunggu sampai lima tahun atau lebih agar usahanya bisa balik modal.

Sebagai entitas yang dianggap lebih dekat dengan masyarakat daripada pelaku bisnis atau pun pemerintah, keterlibatan NGO penting untuk menjembatani semua pemangku kepentingan.

Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah melalui kolaborasi NGO dan pelaku bisnis dalam program corporate social responsibility (CSR) atau tanggung jawab sosial perusahaan.

Kerja sama kedua lembaga ini akan mengarah pada hubungan timbal balik. NGO dapat mengakses pembiayaan untuk proyek energi skala kecil yang vital tetapi secara ekonomi tidak menarik melalui dana CSR suatu korporasi. Di sisi lain, kerja sama ini akan meningkatkan kredibilitas dan reputasi perusahaan di mata publik.

NGO pun dapat mengumpulkan dana melalui crowdfunding, yang membantu masyarakat dalam memperpanjang proyek energi di wilayah mereka.

Pada saat yang sama, NGO juga bisa menggunakan kemampuan identifikasi masalah teknis dan ekonomi di tingkat akar rumput. Nantinya, hasil identifikasi dapat dirumuskan sebagai saran kepada pemerintah untuk mendukung lebih banyak proyek energi yang berbasis masyarakat.

Membangun lebih banyak energy champions

Selain bekerja sama dengan pemerintah dan pelaku bisnis, NGO harus mendorong keterlibatan masyarakat dalam keberlanjutan fasilitas energi.

Knowledge transfer atau transfer wawasan kepada masyarakat sangat penting dalam memperpanjang fasilitas energi. Sebab, mereka harus menjalankan fasilitas tersebut secara mandiri.

Namun, proses ini terkadang berjalan tidak sesuai dengan yang diharapkan. Pasalnya, masyarakat seringkali beranggapan bahwa mereka adalah penerima bantuan yang tidak berkewajiban untuk merawat fasilitas energi. Selain itu, proyek dari pemerintah sering kali melibatkan pihak ketiga yang terikat kontrak untuk pengerjaan proyek saja. Akibatnya proses transfer wawasan ke masyarakat tidak maksimal karena keterbatasan waktu.

NGO juga harus piawai mengembangkan rasa memiliki (sense of belonging) masyarakat terhadap fasilitas energi bersih sebelum meningkatkan kapasitas teknis mereka. Rasa memiliki ini akan membuat masyarakat lebih bertanggung jawab untuk mengelola proyek.

Salah satu contohnya inisiatif yang dilakukan Institut Bisnis dan Ekonomi Kerakyatan (IBEKA). IBEKA telah diakui secara luas sebagai salah satu energy champion – entitas yang memiliki wawasan, memberikan dukungan, dan mengambil langkah dalam proses transisi energi – yang mampu meningkatkan akses energi berkelanjutan di daerah terpencil.

IBEKA memungkinkan masyarakat untuk terlibat dalam tahap awal pengembangan proyek energi. Langkah ini sangat penting karena masyarakat dapat mengetahui setiap kemajuan proyek, serta mengembangkan antusiasme dan rasa memiliki. Hal ini juga memudahkan IBEKA untuk memperkenalkan, memupuk, dan memperkuat kemampuan masyarakat.

Hasilnya, masyarakat memiliki kemampuan dan pengetahuan untuk memelihara dan mengoptimalkan fasilitas energi tersebut.

Selain IBEKA terdapat NGO seperti Rumah Energi, Enerbi, dan Yayasan Humanis dan Inovasi Sosial (HSI) yang bertujuan untuk menyediakan akses energi di daerah terpencil.

Keberhasilan organisasi-organisasi tersebut sebagai local energy champion seharusnya memotivasi lebih banyak NGO untuk mengejar kesuksesan serupa. Semakin banyak NGO yang menjadi local energy champion akan semakin mengurangi masalah akses energi di daerah pelosok Indonesia.

Hal ini juga membantu masyarakat untuk lebih mandiri dalam menjalankan kegiatan ekonomi sehingga meningkatkan kualitas hidup mereka. Bersamaan dengan itu, NGO berkontribusi untuk mewujudkan transisi energi dan tujuan ketahanan energi Indonesia.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,500 academics and researchers from 4,945 institutions.

Register now