Menu Close
Salah satu PLTU terbesar di Pulau Jawa. (Shandy1177/Shutterstock)

Proyek PLTU batu bara baru halangi target emisi Indonesia, riset sarankan 3 langkah mengatasinya

Artikel ini merupakan bagian dari rangkaian artikel bertopik “#SayonaraPLTU”

Pemerintah Indonesia sudah menunjukkan itikad baik dan sejumlah tindakan untuk memangkas penggunaan batu bara di pembangkit listrik khususnya bertenaga uap (PLTU).

Misalnya, penerbitan Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2022 yang memandatkan percepatan penghentian masa operasional (pensiun dini) PLTU, program pemakaian bahan bakar pendamping batu bara alias co firing, hingga pajak karbon.

Kendati begitu, kami merasa beraneka langkah di atas belum ampuh untuk memenuhi target pengurangan emisi gas rumah kaca Indonesia sekitar 31,89% - 43,2% pada tujuh tahun mendatang. Negara ini juga terikat dengan skema Kemitraan Transisi Energi Berkeadilan (JETP) dengan target bebas emisi sektor kelistrikan pada 2050 alias lebih cepat satu dekade dari target versi Presiden Joko Widodo.

Indonesia harus mengurangi energi batu bara lebih agresif lagi. Untuk itu, kami mengusulkan opsi evaluasi 39 proyek PLTU baru dengan total kapasitas sekitar 13 ribu megawatt (MW) dalam rencana kelistrikan PT PLN.

Studi yang kami lakukan menyoroti tiga langkah kunci yang bisa dilakukan pemerintah terhadap puluhan proyek PLTU anyar ini. Di antaranya adalah pembatalan proyek, alih fungsi PLTU menjadi pembangkit biomassa, dan pemangkasan 10 tahun usia PLTU baru.

Langkah-langkah penanganan

Studi kami berbasiskan penilaian multikriteria terhadap 39 PLTU baru yang layak diintervensi. Ada empat kriteria penilaian yang digunakan yaitu status proyek, pemilik proyek dan kondisi cadangan listrik, tahun operasional, dan kemajuan proyek.

Adapun informasi untuk analisis ini kami peroleh dari sumber-sumber publik, seperti laporan statistik dan keuangan PLN, pemberitaan di media massa, dan citra satelit. Kami juga mewawancarai beberapa figur profesional dalam proyek pembangunan pembangkit listrik di Indonesia.

PLTU batu bara Indonesia
PLTU baru yang memperburuk laju emisi gas rumah kaca Indonesia. (Antara)

Empat kriteria di atas menjadi basis perangkingan kelayakan proyek PLTU. Dari pemeringkatan itu, proyek-proyek kemudian kami kelompokkan ke dalam tiga kategori intervensi: pembatalan, pengalihan fungsi menjadi pembangkit listrik berbasis energi terbarukan, dan pengoperasian dengan opsi pensiun dini.

Terdapat tujuh proyek PLTU berkapasitas total 2.928 MW yang kami anggap layak dibatalkan. Sebagai contoh, proyek PLTU Atambua berkapasitas 24 MW. Proyek ini patut dibatalkan karena kondisi cadangan listrik di sistem ketenagalistrikan Timor berada dalam kondisi surplus.

Selain itu, perkembangan proyek juga bermasalah. PLTU Atambua semestinya bisa beroperasi pada 2012. Namun, pengembang gagal menyelesaikan proyek tepat waktu.

Atas dasar itu, PLN kemudian membatalkan kontrak dengan pengembang. Proyek kemudian sempat terbengkalai. Melalui pengamatan citra satelit Juni 2020 - Juni 2022, kami menganggap proyek PLTU ini tidak mengalami kemajuan berarti.

Kondisi serupa juga terjadi dalam proyek PLTU Bonto atau Bima di Nusa Tenggara Barat berkapasitas 20 MW. Kami memaklumi perkembangan proyek cukup lambat karena masa operasinya masih enam tahun lagi. Namun, tahun operasi yang masih lama seharusnya membuat PLN lebih leluasa mengkaji ulang keberlanjutan PLTU Bonto.

Gambar 1. Citra satelit proyek PLTU Atambua antara tahun 2020 hingga 2022. IESR

Opsi lainnya adalah pengalihan fungsi sembilan proyek PLTU berkapasitas total 80 MW menjadi pembangkit listrik berbasis energi biomassa seperti sekam padi hingga batok kelapa. Opsi ini dapat dilakukan bagi PLTU dengan teknologi tungku bakar (boiler) berjenis stoker.

Teknologi stoker bisa dikatakan cukup sederhana. Tungkunya bisa melahap lebih banyak jenis dan ukuran bahan bakar. Hal ini juga pernah diujicobakan oleh PLN terhadap PLTU Tembilahan di Riau yang menggunakan cangkang sawit 100% menggantikan batubara.

Untuk melengkapi analisis, IESR juga menghitung tentang potensi jenis dan kuantitas biomassa setempat untuk menggantikan batu bara. Data potensi kami peroleh dari Badan Pusat Statistik. Sebagai contoh, pasokan cangkang kelapa sawit dari sekitar Kabupaten Kotabaru dapat menyalakan listrik PLTU Kotabaru, Kalimantan Selatan, hingga 37,26 MW.

Bagaimana dengan sisanya?

Dari proyek-proyek yang dianalisis, ada 23 proyek dengan kapasitas 10.594 MW yang mustahil dibatalkan dan atau dialihfungsikan lantaran pembangunannya sudah cukup signifikan. Untuk proyek semacam ini, kami mengusulkan pensiun dini atau pengurangan masa operasi.

Studi kami merekomendasikan percepatan pensiun PLTU sepuluh tahun lebih awal dari umur operasi desainnya yang diasumsikan hingga 30 tahun. Harapannya, operasional PLTU ini beroperasi paling lambat 20 tahun saja.

Beberapa proyek yang masuk ke dalam kategori ini, antara lain PLTU Nagan Raya Unit 3 & 4 berkapasitas 400 MW. Progres pembangunan PLTU yang terletak di Aceh ini sudah mencapai 70%.

Ada juga PLTU mulut tambang (di dekat tambang batu bara) Sumatera Selatan (Sumsel) 8. Kapasitas pembangkit ini sangat besar, sekitar 1.200 MW. Pembangunannya juga hampir selesai alias sudah 97%.

Berpotensi mengurangi emisi

Upaya pensiun dini PLTU memang tidak mudah. Apalagi banyak proyek yang dimiliki oleh pengembang swasta. Berdasarkan perhitungan kami, ada biaya sekitar US$2,2 miliar (Rp33 triliun) yang harus dikeluarkan PLN. Angka ini kami dapatkan dari total perhitungan depresiasi modal dari masing-masing proyek.

Kami juga menghitung pembatalan PLTU akan menimbulkan biaya sekitar US$238 juta atau setara RP3,5 triliun.

Meski demikian, biaya ini kami rasa sepadan, bahkan dalam beberapa proyek justru lebih murah jika dibandingkan biaya atas dampak lingkungannya. Sebab, bahan bakar fosil yang digunakan di pembangkit listrik tenaga uap menghasilkan emisi gas rumah kaca yang menyebabkan perubahan iklim. Pengurangan batu bara yang digunakan pada PLTU secara langsung akan mengurangi emisi Indonesia.

Kami menghitung pembatalan sembilan proyek PLTU baru dapat menghindari pelepasan emisi sebesar 295 juta ton CO2 hingga 2050. Angka ini melebihi emisi pembakaran batu bara untuk pembangkit listrik PLN pada 2021 sebesar 251 juta ton CO2.

Potensi penghindaran emisi jauh lebih besar lagi apabila pemerintah juga memensiunkan 23 PLTU lebih awal. Angkanya bisa menembus 622 juta ton CO2.

Adapun perhitungan kami sudah memperhitungkan penambahan emisi dari naiknya penggunaan pembangkit listrik batubara dan gas yang ada. Kenaikan penggunaan dapat terjadi demi menutup kekurangan produksi listrik akibat proyek-proyek PLTU dibatalkan.


Read more: PLTU fleksibel: solusi sementara Indonesia untuk mengurangi emisi batu bara, apa itu?


Langkah ke depan

Pemerintah dapat mempertimbangkan rekomendasi kami sembari mengidentifikasi risiko yang akan muncul akibat intervensi terhadap proyek PLTU Baru. Misalnya risiko hukum akibat pengembang PLTU yang menolak pembatalan lalu menggugat keputusan pemerintah maupun PLN ke pengadilan. Ini pernah terjadi saat pemerintah membatalkan proyek PLTU Kaltelseng 3 yang berlokasi di Kalimantan Tengah pada 2020.

Karena itu, pemerintah memerlukan regulasi yang memandatkan PLN untuk mengidentifikasi dan melakukan evaluasi menyeluruh terhadap proyek-proyek PLTU. Regulasi ini juga harus dilengkapi dengan aturan yang secara tegas memandatkan puncak emisi pada 2030 (sebelum akhirnya terus dikurangi) dan mencapai nol emisi sektor ketenagalistrikan pada 2050.

Komunikasi awal juga harus dilakukan dari PLN atau pemerintah dengan pemilik proyek PLTU sasaran pembatalan.

Yang tak kalah penting, pemerintah harus memberi akses bagi publik untuk memantau perkembangan proyek-proyek PLTU yang berada dalam perencanaan.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,600 academics and researchers from 4,945 institutions.

Register now