Menu Close

Puluhan juta pekerja informal membutuhkan kepastian jaminan sosial

Perwakilan pengemudi ojek daring yang tergabung dalam Driver Online Bergerak Jawa Tengah secara simbolis menandatangani tuntutan aksi damai dalam unjuk rasa di depan kompleks Kantor Gubernur Jawa Tengah, Semarang, Jawa Tengah, Senin (7/3/2022). Dalam aksi tersebut mereka mengajukan beberapa tuntutan kepada Pemprov Jateng diantaranya yaitu perlindungan hukum bagi pengemudi daring selaku mitra terkait kesejahteraan, keamanan, dan kenyamanan, pelibatan mitra dalam kebijakan dengan sistem aplikasi, kontrol kuota ojek daring di Jawa Tengah, kenaikan tarif minimal jasa pengantaran penumpang dan barang, serta adanya jaminan asuransi tenaga kerja dari aplikator. ANTARA FOTO/Aji Styawan/rwa

Perkembangan teknologi menjadi tantangan dan juga peluang khususnya di sektor ketenagakerjaan informal Indonesia. Munculnya perusahaan platform seperti aplikator ojek Gojek dan Grab mendorong bertumbuhnya pekerja informal berbasis kemitraan.

Sayangnya, kebijakan jaminan ketenagakerjaan Indonesia – termasuk Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) yang baru-baru ini diluncurkan – belum memayungi pekerja informal yang jumlahnya hampir mencapai 80 juta orang.

Aktivitas manusia mengalami peralihan dengan pesatnya perkembangan digitalisasi dan automasi di segala aspek. Secara tidak terduga, timbulnya wabah penyakit yang menghalangi mobilitas manusia dan mengakibatkan permasalahan ekonomi turut menjadi katalisator untuk penggunaan teknologi informasi yang semakin masif.

Menurut data The Future of Job Report (2020) yang dirilis organisasi pelobi World Economic Forum (WEF), merebaknya pandemi COVID-19 di tengah perkembangan teknologi memunculkan istilah yang disebut sebagai disrupsi ganda (double disruption), yaitu pergeseran pekerjaan akibat digitalisasi atau automasi.

Dalam menghadapi tantangan baru ini, sektor ketenagakerjaan Indonesia harus bisa mengadopsi teknologi yang menghasilkan transformasi pola pekerja. Transformasi dalam sektor ketenagakerjaan juga akan berimbas ke proses jaminan sosial ketenagakerjaan.

Pekerja informal belum terlindungi

Pemerintah perlu memutakhirkan sistem serta implementasi jaminan sosial ketenagakerjaan di Indonesia dalam menghadapi era baru karena beberapa sebab yang masih menjadi kendala.

Pertama, belum optimalnya sistem perlindungan sosial yang disediakan negara untuk membantu masyarakat pekerja informal dari berbagai macam elemen, seperti pekerja dengan konsep kemitraan.

Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), pekerja sektor informal merupakan status pekerjaan utama seseorang yang mencakup berusaha sendiri, berusaha dibantu buruh tidak tetap, berusaha dibantu buruh tetap, pekerja lepas di pertanian, pekerja lepas di non-pertanian, dan pekerja keluarga/tidak dibayar. Data terakhir dari BPS mencatat jumlah pekerja informal mencapai 78,14 juta orang pada Februari 2021 dan akan terus meningkat akibat dari perkembangan perusahaan rintisan dan konsep kemitraan.

Selama ini, peraturan terkait kemitraan diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 17 Tahun 2013 yang merupakan baku pelaksanaan Undang-undang (UU) Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro Kecil dan Menengah. Regulasi tersebut mengartikan kemitraan hanya sebagai hubungan setara antar usaha, tanpa penjelasan mengenai hubungan kemitraan antara pemilik usaha dan “mitra” individu yang cenderung bias.

Kemitraan membuat penyedia platform dan mitra memiliki batas yang abu-abu untuk menjelaskan hubungan kerja. Padahal, dalam praktiknya, terdapat jelas adanya relasi antara pemberi kerja dan pekerja.

Pemerintah perlu mengatur ruang abu ini untuk memperjelas hak dan kewajiban antar para pemegang kepentingan, termasuk kewajiban penyediaan jaminan sosial. Hal ini mengingat dalam menghadapi berbagai risiko yang mungkin timbul - termasuk risiko tenaga kerja seperti kehilangan pekerjaan, sakit, kecelakaan kerja, dan usia tua - pekerja informal membutuhkan kebijakan yang bisa menjamin kesejahteraan.

Kedua, definisi hubungan kerja informal dalam UU Ketenagakerjaan (UU Cipta Kerja) di Indonesia yang kurang jelas menghalangi pekerja untuk mendapatkan hak jaminan sosial ketenagakerjaan.

Hubungan kerja yang diatur dalam UU Cipta Kerja tidak menuntaskan masalah yang ada di UU Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003, seperti hubungan kerja yang sifatnya formal yakni terdapatnya unsur upah, perintah, dan pekerjaan.

Padahal, sistem ketenagakerjaan era digital membawa perubahan signifikan termasuk dalam hubungan kerja. Selama ini, pekerja lepas atau freelance sulit untuk mendapatkan perlindungan hukum ketenagakerjaan karena bentuk kerja sama berupa kemitraan setara dan bukan hubungan kerja.

Unsur pekerjaan akan terpenuhi jika pekerja hanya melaksanakan pekerjaan yang sudah diberikan perusahaan. Sementara, konsep pekerja informal tidak memiliki unsur pemberian pekerjaan dari perusahaan.

Bagi pekerjaan berbasis aplikasi, penyedia platform berdalih bahwa mereka hanyalah penyedia layanan dan hubungan antara penyedia aplikasi dan mitra adalah setara sehingga tidak ada kewajiban terkait hubungan kerja. Bahkan, salah satu aplikasi online menekankan bahwa hubungan yang terbangun adalah berdasarkan perjanjian kerja sama.

Selanjutnya, menurut UU Ketenagakerjaan di Indonesia, unsur upah terpenuhi jika pekerja menerima kompensasi berupa uang yang besarnya tetap dalam periode tertentu dan bukan berdasarkan komisi atau persentase. Dalam praktiknya, banyak pekerja yang bergantung pada komisi dari hasil yang mereka capai ketika menyelesaikan tugas.

Terakhir adalah unsur perintah. Unsur ini terpenuhi jika pemberi perintah kerja adalah perusahaan dan bukan atas inisiatif pekerja. Dalam praktik hubungan kemitraan antara perusahaan aplikasi dan pekerja informal yang menggunakan aplikasi, relasi antara unsur perintah dan inisiatif ini masih dalam zona abu-abu.

Menurut asosiasi ojek berbasis platform Gabungan Aksi Roda Dua (GARDA), terdapat paling tidak empat juta pengemudi ojek daring pada tahun 2020. Angka ini belum melingkupi kurir platform ekspedisi dan perusahaan e-commerce.

Merujuk pada peningkatan pekerja informal berbasis kemitraan, para mitra ini tidak mendapatkan gaji dari perusahaan platform. Justru, para mitra harus membagi sekian persen pendapatannya ke penyedia aplikasi. Dalam kondisi tersebut, terlihat tidak ada unsur hubungan kerja pada relasi mitra dan penyedia platform aplikasi.

Oleh karena tidak ada hubungan kerja seperti yang tertulis dalam UU Ketenagakerjaan maupun UU Cipta Kerja, pekerja informal dengan prinsip kemitraan ini tidak memiliki hak untuk menerima apa yang seharusnya diperoleh pekerja pada umumnya seperti pesangon. Utamanya, mereka tidak mendapat jaminan sosial ketenagakerjaan jika hubungan kerja sama mereka berakhir.

Strategi pembaharuan jaminan sosial

Penjelasan di atas menunjukkan bagaimana terdapat faktor-faktor, utamanya definisi dan relasi kerja, yang membuat pekerja informal kesulitan mengakses jaring pengaman.

Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Nomor 15 Tahun 2021 tentang Tata Cara Pemberian Manfaat JKP, yang mulai dibayarkan pada Februari 2022, mengamanatkan bahwa JKP hanya dapat diberikan kepada peserta Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan yang mengalami Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).

Peserta harus memiliki hubungan kerja perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) untuk karyawan kontrak dan perjanjian kerja waktu tertentu (PKWTT) untuk karyawan tetap.

Artinya, pekerja informal tidak memiliki akses terhadap program ini.

Permasalahan ini harus mendapatkan perhatian pemerintah. Pemerintah dapat berperan untuk memperbaiki dan menambahkan regulasi agar bisa melindungi hak-hak setiap pekerja yang belum difasilitasi haknya.

Potensi untuk pengembangan dan perbaikan masih ada sesuai perkembangan tren pekerjaan yang dipenuhi dengan automasi dan transformasi. Pengembangan yang khusus menjadi sorotan dalam kasus ini adalah kewajiban untuk penyediaan hak jaminan sosial ketenagakerjaan untuk pekerja informal.

Pekerja informal tetap berhak mendapatkan perlindungan jaminan sosial ketenagakerjaan, baik itu secara swadaya atau dibayarkan secara individu jika bersifat pekerjaan freelance, maupun pembebanan tanggung jawab kepada pihak penyedia platform aplikasi.

Kemudian, masih terdapat potensi untuk mengamandemen kebijakan terkait kepastian hak dan kewajiban untuk pekerja informal dalam UU Ketenagakerjaan atau UU Cipta Kerja yang baru, baik melalui UU itu sendiri atau membuat turunan UU tersebut melalui peraturan pemerintah.

Sebetulnya, terdapat skema jaminan ketenagakerjaan yang dikelola Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan yang memungkinkan pekerja informal untuk bergabung sebagai peserta melalui kategori Pekerja Bukan Penerima Upah (BPU). Peserta BPU membayar iuran secara mandiri, dengan besaran disesuaikan dengan upah/penghasilan per bulan. Akan tetapi, banyak pekerja informal yang tidak mengakses jaminan ini dengan berbagai alasan, termasuk ketidaktahuan akibat minimnya informasi serta enggan membayar secara mandiri.

Belum tercakupnya pekerja informal secara inklusif dalam perlindungan jaminan sosial dapat membuat perlindungan dan jaring pengaman para pekerja ini terbengkalai. Memperbaiki ketentuan jaminan sosial ketenagakerjaan agar memfasilitasi pekerja secara universal seharusnya menjadi langkah dari pemerintah untuk membuktikan kepedulian terhadap semua golongan pekerja, mengingat risiko sosial ketenagakerjaan tidak hanya melihat apakah pekerja itu berkonsep kemitraan atau tidak.

Dengan cara ini, cita-cita membuat jaminan sosial ketenagakerjaan menjadi lebih baik di masa depan akan dapat terwujud

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,600 academics and researchers from 4,945 institutions.

Register now