Menu Close
Calon presiden (capres) petahana Joko “Jokowi” Widodo (kiri) berpelukan dengan lawannya Prabowo Subianto setelah pelaksaan debat capres 30 Maret 2019. Bagus Indahono/EPA

Respons pakar soal debat presiden ke-4: Jokowi unggul dari Prabowo

Debat keempat pemilihan presiden (pilpres) pada 30 Maret 2019 menampilkan calon presiden petahana Joko “Jokowi” Widodo dan lawannya Prabowo Subianto.

Dalam debat kali ini, kedua kubu membicarakan masalah ideologi, pertahanan dan keamanan, pemerintahan, dan hubungan internasional.

Kami menghubungi beberapa akademisi untuk memberikan analisis mengenai paparan visi misi serta jawaban dua calon presiden tersebut terkait empat topik di atas. Dari empat akademisi yang kami hubungi, tiga di antaranya sepakat Jokowi mengungguli Prabowo dalam debat kali ini.

Berikut paparan mereka.


Apa itu bukan indoktrinasi?

Yohanes Sulaiman, Dosen Hubungan Internasional, Universitas Jendral Achmad Yani (UNJANI)

Secara umum, debat ke-empat lebih baik dari debat-debat sebelumnya. Debat ini tidak terlalu membosankan dan agak tidak terduga. Kedua kandidat menggunakan kesempatan ini untuk meluncurkan serangan balasan atas kampanye negatif masing-masing, sementara pada saat yang sama, mereka berdua melemparkan bahan serangan baru, sambil tetap tersenyum satu sama lain.

Namun, saya menganggap perdebatan malam tersebut kurang substantif: tidak ada hal baru yang ditawarkan untuk menjawab masalah yang dihadapi Indonesia dalam aspek keamanan dan kebijakan luar negeri. Berbeda dengan debat Presiden 2014, tidak ada diskusi nyata tentang kebijakan militer dan tidak ada ide baru dalam kebijakan luar negeri, seperti Poros Maritim Global, yang tidak disebutkan sama sekali oleh kedua kandidat.

Sejak awal, Prabowo langsung melancarkan serangan, menyatakan bahwa ia mendukung Pancasila. Di bagian tanya jawab dengan Jokowi, ia mengecam tuduhan bahwa ia mendukung kekhalifahan Islam atau negara Islam dan bertanya apakah Jokowi setuju dengan tuduhan itu. Alih-alih menjawabnya, Jokowi menyatakan bahwa ia juga dituduh sebagai komunis, dan bahwa bukannya marah ia malah mengabaikan mereka dan meminta Prabowo untuk memberi contoh-contoh yang baik pada masyarakat.

Pada saat yang sama, debat tidak menjawab pertanyaan utama tema ideologi: bagaimana mendidik Pancasila tanpa mengindoktrinasi orang. Baik Jokowi maupun Prabowo tidak menjawab pertanyaan itu. Sebagai gantinya, mereka mencoba mengalahkan jawaban lawannya. Prabowo mengatakan kita harus mendidik anak-anak kita tentang Pancasila dari sejak Taman Kanak-Kanak. Jokowi mengatakan pra-sekolah harus dari Pendidikan Anak Usia Dini.

Selain itu, sementara “mengajar mereka dengan contoh” mungkin merupakan pendekatan terbaik, pada akhirnya, itulah sebenarnya jawaban yang diharapkan. Tidak ada yang akan mengatakan secara terbuka kepada publik bahwa mereka tidak ingin mengajarkan Pancasila.

Debat ini sebenarnya akan sangat baik jika kedua kandidat diminta pendapatnya tentang semakin populernya gagasan kekhalifahan Islam, dan bagaimana menghadapinya. Sejauh ini, ideologi ini menyatakan bahwa setiap penyakit di dunia dapat diselesaikan dengan kekhalifahan. Namun, orang-orang yang mendukung gagasan ini kurang memiliki substansi dalam menjelaskan bagaimana kekhalifahan bekerja dan bagaimana hal itu benar-benar dapat memecahkan masalah. Sebaliknya, mereka menjawab kritik dengan mengecam kurangnya kepercayaan orang yang mengritik. Pada saat yang sama, menurut survei terbaru, lebih dari sepertiga mahasiswa studi Islam mendukung kekhalifahan. Bagaimana cara mengatasi masalah ini?

Saat ini, pemerintah dan militer masih lebih khawatir tentang ancaman dari komunisme meskipun fakta bahwa ideologi tersebut telah sepenuhnya didiskreditkan dengan kegagalan dan keruntuhan rezim komunis di berbagai negara. Jadi, mengapa ada fiksasi negara terhadap ancaman komunis? Itu sebenarnya pertanyaan yang harus ditanyakan.

Pemenang sesi ini: Tidak Ada

Sesi debat tema ideologi baik Jokowi maupun Prabowo tidak ada yang menang. Sedangkan yang kalah adalah masyarakat umum karena tidak mendapatkan pertanyaan yang layak mereka dapatkan. Namun secara keseluruhan jika menimbang sesi topik-topik lain, Jokowi unggul. Ia menang berdasarkan poin per sesi, bukan knock out. Sementara itu, meski penampilan Prabowo lebih menghibur daripada Jokowi, serangan Prabowo terlalu umum, kurang substantif, sehingga Jokowi dengan mudah menangkisnya.


Persoalan mendasar reformasi birokrasi tidak dibahas

Wahyudi Kumorotomo, Guru Besar Magister Administrasi Publik, Fisipol, Universitas Gadjah Mada

Berbeda dengan debat kedua (17 Februari) saat Jokowi lebih banyak menyerang Prabowo terkait dengan kepemilikan tanah ratusan ribuan hektare di Kalimantan Timur dan Aceh, dalam debat kali ini Prabowo justru yang menyerang Jokowi.

Prabowo berulang kali mengkritik pemerintahan Jokowi yang cenderung membiarkan penguasaan aset dan investasi oleh asing, banyaknya korupsi para kepala daerah yang mengakibatkan besarnya kebocoran uang negara, dan banyaknya laporan ABS (asal bapak senang) dalam sistem pemerintahan selama ini.

Namun debat kali ini belum menyentuh berbagai persoalan lain yang cukup mendasar dalam reformasi birokrasi publik di Indonesia. Masalah akut itu misalnya buruknya sistem rekrutmen aparatur sipil negara, rendahnya profesionalisme dalam sistem pelayanan publik, serta tingkat penyimpangan dan korupsi yang masih tinggi di antara pejabat pemerintah.

Sulit dibantah bahwa intervensi politik yang terlalu dalam organisasi publik (kementerian dan lembaga negara) menjadi penyebab persoalan tersebut. Intervensi politik itu tidak hanya terjadi di tingkat pusat seperti begitu besarnya pengaruh partai politik dalam penempatan pejabat Eselon I di kementerian yang menterinya dari partai politik. Hal serupa serupa juga terjadi di tingkat daerah karena begitu banyaknya tim sukses yang masuk ke dalam jajaran pemerintah daerah begitu gubernur atau bupati/wali kota baru terpilih.

Konstruksi dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara yang menempatkan kepala daerah sebagai pembina kepegawaian di daerah hendaknya dikembalikan kepada pejabat birokrasi yang profesional, dalam hal ini Sekretaris Daerah.

Sebagian dari masalah ABS (asal bapak senang) yang disampaikan dalam kritik Prabowo dan politisasi birokrasi yang membuat organisasi publik kurang profesional memang berasal dari titik lemah dari konstruksi undang-undang ini. Siapa pun yang terpilih menjadi presiden hendaknya bisa mengatasi masalah-masalah ini jika menghendaki peringkat daya-saing Indonesia yang lebih baik.

Pemenang sesi ini: Jokowi

Undian pertanyaan yang terpilih dari panelis memang relatif menguntungkan Jokowi karena menyangkut smart governance, pembenahan sistem pemerintahan yang senantiasa ditekankan oleh Jokowi bahkan sejak menjadi Gubernur DKI Jakarta. Dengan fasih Jokowi memaparkan smart governance dengan berbagai turunan aplikasinya (e-procurement, online services, e-budgeting) mampu meningkatkan efisiensi dan produktivitas masyarakat, menekan ekonomi biaya tinggi, mempersempit peluang adanya korupsi oleh para birokrat, dan sekaligus meningkatkan daya saing nasional.

Pelayanan publik secara online yang telah berhasil meningkatkan efisiensi birokrasi pemerintah ini harus terus diperluas pada masa mendatang. Kritik Prabowo bahwa sistem pelayanan online hanya akan mengakibatkan makin meningkatnya penguasaan oleh asing sebenarnya kurang relevan. Selain karena tema debat bukan pada bidang investasi ekonomi, juga karena sudah terbukti di mana pun bahwa efisiensi birokrasi pemerintah justru akan menjadi tolok-ukur bagi semakin kuatnya daya-saing ekonomi nasional.


Fokus di anggaran pertahanan tanpa membahas wacana militer dalam ranah sipil

Tangguh Chairil, Pengamat sektor pertahanan dan keamanan dan Dosen Hubungan Internasional, Binus University.

Pada topik pertahanan, Jokowi fokus pada masalah industri pertahanan, sementara Prabowo fokus pada anggaran pertahanan. Sementara itu, tidak ada yang membahas masalah keterlibatan personel TNI di lembaga sipil.

Prabowo membandingkan anggaran pertahanan Indonesia (4,4% total belanja pemerintah, atau di bawah 1% Produk Domestik Bruto (PDB)) dengan Singapura (30% total belanja pemerintah, atau sekitar 3,3% PDB). Ia mengkritik anggaran pertahanan Indonesia tersebut tidak cukup.

Jokowi tidak mendebat data Prabowo. Ia sendiri telah merencanakan menaikkan anggaran pertahanan menjadi 1,5% PDB sejak 2014. Namun, hal ini sulit dilaksanakan karena pertumbuhan PDB yang lambat dan defisit anggaran yang tinggi.

Sebaliknya, Jokowi mengklaim bahwa pemerintah telah fokus pada investasi di industri pertahanan untuk memenuhi kebutuhan pertahanan di bawah yang anggaran terbatas. Memang, Indonesia telah selesai mengembangkan tank ukuran medium dengan Turki, dan sedang menyelesaikan kapal selam buatan lokal pertamanya setelah menerima alih teknologi dari Korea Selatan.

Yang kurang dari debat adalah wacana keterlibatan personel TNI dalam lembaga-lembaga sipil. Wacana ini menimbulkan kekhawatiran akan bangkitnya dwifungsi TNI. Dwifungsi adalah doktrin rezim Orde Baru yang membenarkan penempatan personel militer di semua tingkat pemerintahan.

Pemenang sesi ini: Jokowi

Terlepas dari pengalamannya sebagai mantan jenderal militer, saya melihat sebagian besar argumen Prabowo lebih bersifat gaya daripada substansi. Ia memiliki poin bagus tentang anggaran pertahanan, tetapi elaborasinya kurang fokus. Sementara itu, Jokowi memiliki pemahaman yang sedikit lebih baik tentang substansi sebagai petahana.


Jokowi paham posisi dan kekuatan Indonesia dalam konteks global

Atin Prabandari, Dosen Hubungan Internasional, Universitas Gadjah Mada

Dalam pemaparan visi misi dalam isu hubungan internasional, penjelasan Prabowo masih terlalu umum, kurang konkret, dan terlalu normatif. Sementara itu, Jokowi dapat mengidentifikasi konteks politik global saat ini dengan baik, termasuk isu proteksionisme ekonomi yang banyak dilakukan negara-negara untuk melindungi kepentingan ekonomi negaranya sendiri tapi merugikan negara lainnya.

Dalam pembahasan politik bebas dan aktif, Jokowi mampu dengan tepat menerjemahkan istilah bebas dan aktif sekaligus pelaksanaannya. Jokowi menerjemahkan politik bebas dan aktif sebagai upaya untuk bebas memperjuangkan kepentingan nasional dan aktif dalam ikut serta dalam perdamaian dunia

Sementara itu, penjelasan Prabowo kurang tepat. Prabowo mendefinisikan politik bebas aktif sebagai sikap diplomasi yang harus baik dengan semua pihak. Prabowo tampaknya terlalu menyederhanakan makna bebas aktif sebagai baik dengan siapa saja.

Jokowi juga dapat menjawab dengan jitu pertanyaan panelis tentang keunggulan Indonesia dalam diplomasi internasional sebagai negara yang memiliki penduduk muslim terbesar di dunia yang memegang peran kunci dalam penyelesaian konflik keagamaan di daerah mayoritas Muslim seperti Rakhine, Myanmar dan Afghanistan.

Sementara itu, Prabowo menambahkan isu penting dalam debat yaitu mengenai fungsi utama diplomasi Indonesia sebagai instrumen mencapai kepentingan nasional. Namun Prabowo terkesan mengecilkan peran soft power dan diplomasi sebagai instrumen untuk mempromosikannya.

Dalam debat ini ada beberaapa aspek penting dalam isu hubungan internasional yang tidak dibahas:

  1. Diplomasi perbatasan karena Indonesia masih memiliki berbagai persoalan perbatasan yang belum terselesaikan.

  2. Diplomasi maritim mengingat Indonesia sebagai negara kepulauan yang memiliki laut yang luas dan memiliki visi sebaga Poros Maritim Dunia

Pemenang sesi ini: Jokowi

Penguasaan konsep dan prinsip politik luar negeri dan diplomasi yang digunakan Jokowi sudah tepat. Jokowi juga memahami konteks politik global dan mampu mengidentifikasinya sebelum menentukan posisi dan langkah Indonesia. Sebuah hal yang wajib dimiliki presiden sebagai kepala diplomatik sebuah negara. Ini mungkin dikarenakan posisi Jokowi sebagai petahana yang memberinya pengalaman dalam melaksanakan kebijakan politik luar negeri dan diplomasi sehingga lebih menguasai masalah.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 180,900 academics and researchers from 4,919 institutions.

Register now