Menu Close

Riset baru temukan semua produksi minyak nabati mengancam spesies termasuk minyak kelapa

Lahir di Belanda dan besar di Jerman, saya baru mengenal buah kelapa pada usia 21 tahun. Saat itu, saya berada di sebuah pantai di Thailand di mana saya menghabiskan waktu setahun, tinggal jauh dari rumah, mencoba menjadi orang dewasa.

Karena sedang tidak melakukan apa-apa, saya mengambil buah kelapa yang tergeletak di pasir dan menghabiskan beberapa jam untuk membukanya dengan tangan kosong. Dalam usaha itu, saya mengalami beberapa sayatan dan kuku patah, tapi saya berhasil mencapai inti buah itu.

Dalamnya kering, tidak ada air. Mungkin sudah terpapar matahari terlalu lama. Kelapa itu adalah kekecewaan awal saya, tapi itu mendorong saya untuk melihat lebih dari sekadar kulit.

Beberapa tahun kemudian, ketika bekerja sebagai peneliti konservasi yang mempelajari orang utan di Indonesia, ada satu hal mulai mengganggu saya.

Saya telah melakukan banyak pekerjaan tentang tanaman tropis yang lain, yaitu kelapa sawit.

Perkebunan kelapa sawit merupakan momok bagi satwa liar tropis.

Kalau kita tengok di media sosial , orang-orang membenci minyak kelapa sawit, tapi mereka menyukai produk dari minyak kelapa.

Perkebunan kelapa skala kecil di Gorontalo, Indonesia. Matthew Struebig, Author provided

Rak-rak di supermarket dipenuhi dengan air kelapa, berbagai kemasan minyak dan krim kelapa, dan coklat rasa kelapa.

Seperti minyak kelapa sawit, kelapa juga nampaknya digunakan untuk hampir segala hal, mulai dari kondisioner rambut hingga obat nyamuk.

Lantas, mengapa kelapa yang satu disukai, sementara yang satunya lagi dibenci?

Minyak dan biodiversitas

Pohon kelapa sawit sedikit lebih kekar, tapi sebaliknya tidak bisa dibedakan dari pohon kelapa.

Kelapa sawit sering dikaitkan dengan orang utan dan spesies tropis lainnya karena peran perkebunan sawit yang dikenal luas menghancurkan habitat hutan.

Ketika mewawancarai masyarakat tentang penanaman kelapa sawit di tahun 2018, saya menemukan bahwa lebih dari setengah jawaban mereka adalah negatif, atau sangat negatif, untuk lingkungan.

Kelapa, di sisi lain, nampaknya memiliki reputasi yang lebih baik. Dalam jajak pendapat global, 53% konsumen mengutip manfaat kesehatan minyak kelapa, namun hanya sedikit dari mereka yang mengidentifikasi dampak lingkungan.

Lagipula, bagaimana mungkin kelapa yang tumbuh di pantai-pantai tropis yang banyak dikunjungi orang bisa menjadi hal yang buruk?

Estimasi terbaru menunjukkan ada 20 juta hektare lahan kelapa sawit dan 12,5 juta hektare lahan kelapa di dunia.

Tapi, kebanyakan pohon kelapa tumbuh di pulau-pulau tropis, yang mayoritas merupakan kediaman banyak spesies langka di Bumi.

Jadi, terlepas dari reputasi baik, kelapa mempunyai dampak negatif yang besar terhadap biodiversitas tropis.

Dengan margin yang cukup besar, produksi kelapa mengancam spesies lebih banyak dibanding tanaman penghasil minyak lainnya. Meijaard et al. (2020)/Current Biology, Author provided

Berdasarkan per volume minyak yang diproduksi, produksi kelapa memengaruhi lebih banyak spesies dibanding tanaman penghasil minyak lainnya, termasuk kelapa sawit.

Menurut International Union for the Conservation of Nature (IUCN), kelapa mengancam sekitar 20,2 spesies per juta metrik ton minyak yang diproduksi, diikuti oleh zaitun sebanyak 4,1 spesies, kelapa sawit sebanyak 3,8 dan kedelai sebanyak 1,3.

Burung pleci atau The Marianne white-eye. Henrik Grönvold/Wikipedia

Faktanya, perkebunan kelapa berkontribusi langsung terhadap kepunahan beberapa spesies.

Sementara, sejauh yang kami tahu, kelapa sawit belum.

Spesies yang punah, antara lain burung pleci (Zosterops semiflavus) dari Pulau Marianne di Seychelles dan Kalong Ontong Java (Pteropus howensis), sejenis kalong dari Pulau Solomon.

Kedua spesies tersebut belum terlihat lagi sejak tahun 1945. Sebelumnya, mereka pernah ditemukan di pulau-pulau yang sebagian besar diubah menjadi perkebunan kelapa.

Spesies lain yang terancam oleh produksi kelapa adalah kancil Filipina (Tragulus nigricans), yaitu satwa endemik dari 3 pulau di Filipina; tarsius Sangihe (Tarsius sangirensis), yaitu primata endemik dari pulau Sangihe di Indonesia; dan seriwang Sangihe (Eutrichomyias rowleyi), juga satwa endemik dari Sangihe.

Tarsius Sangihe, salah satu spesis yang habitatnya terancam karena perluasan penanaman kelapa. Stenly Pontolawokang, Author provided

Nutrisi berkelanjutan

Ketika saya menulis artikel ini di meja saya di Brunei, saya sedang melihat petani kelapa lokal sedang mengumpulkan hasil panen kelapa di depan apartemen kami.

Salah satu orang memanjat batang pohon dengan terampil, dan dalam 20 detik, sudah berada pada ujung pohon. Memanen dan mengonsumsi kelapa telah lama jadi sebuah tradisi di Asia Pasifik, dan ini harus dihargai.

Ketimbang memasukkan kelapa ke dalam daftar produk yang harus dihindari oleh konsumen yang sadar lingkungan, kita harus mengerti bahwa semua tanaman dan komoditas mempunyai konsekuensi bagi lingkungan.

Proses panen zaitun Spanyol dikabarkan membunuh 2,6 juta burung di tahun 2019, dikarenakan cara memanen buah zaitun yang menggunakan mesin penyedot, namun seringkali burung yang bersarang di pohon zaitun ikut tersedot.

Namun, produksi minyak zaitun jarang menimbulkan perhatian di kalangan konsumen dan pecinta lingkungan.


Read more: Food that feeds the world and heals it too – Imagine newsletter #6


Seperti produksi komoditas lainnya, kelapa bisa ditanam dengan cara tertentu yang dapat mengurangi dampak lingkungan dan memaksimalkan manfaat sosial bagi warga lokal, juga untuk kesehatan bagi konsumen.

Jika masyarakat ingin memboikot minyak kelapa sawit karena menyebabkan deforestasi, mungkin mereka juga harus menghindari kopi, coklat, dan tentunya, kelapa.

Semua produk pangan harus ditanam secara berkelanjutan dan untuk mewujudkan itu, kita harus mengerti bahwa sistem pangan butuh perubahan sistematis, bukan terfokus kepada beberapa produk yang buruk.


Nadila Taufana Sahara telah menerjemahkan artikel ini dari Bahasa Inggris


Dapatkan kumpulan berita lingkungan hidup yang perlu Anda tahu dalam sepekan. Daftar di sini.

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,500 academics and researchers from 4,943 institutions.

Register now