Menu Close

Riset: belajar dari Kota Bogor dan Depok, ada peluang untuk larang iklan rokok luar ruang

Pengunjung mematahkan batang rokok saat kampanye anti tembakau di Depok Town Square, Depok, Jawa Barat, 30 Mei 2022. ANTARA FOTO/Asprilla Dwi Adha/aww.

Artikel ini untuk memperingati Hari Tanpa Tembakau Sedunia, 31 Mei.

Jumlah perokok di Indonesia mencapai 70 juta. Angka tersebut terus tumbuh karena perusahaan rokok bebas mempromosikan rokok melalui iklan, termasuk kepada remaja dan anak-anak.

Masalahnya, sampai saat ini, Indonesia belum memiliki peraturan nasional untuk melarang iklan tembakau luar ruang (OTA) dan tampilan produk tembakau di tempat penjualan (POS). Akibatnya, hanya segelintir kabupaten di Indonesia yang telah merintis dan coba menerapkan larangan tersebut, termasuk Kota Bogor dan Kota Depok. Kedua daerah ini menerapkan larangan tersebut setelah merevisi peraturan kawasan tanpa rokok (KTR).

Riset kualitatif terbaru kami di Provinsi Bengkulu, Kota Bengkulu, Kabupaten Seluma, dan Kabupaten Kaur menunjukkan bahwa pengetahuan dan dukungan terhadap peraturan kawasan tanpa rokok KTR cukup tinggi di antara pembuat kebijakan, legislator, dan masyarakat sipil.

Sayangnya, pengetahuan dan dukungan mereka terhadap larangan iklan tembakau luar ruang dan larangan display rokok, sebagai dua contoh pengendalian tembakau yang lebih komprehensif, relatif rendah. Hal ini terjadi salah satunya karena ketiadaan kebijakan nasional tentang larangan iklan tembakau luar ruang dan larangan tampilan rokok di tempat penjualan.

Dana cekak kawasan tanpa rokok

Studi-studi sebelumnya telah mencoba mengeksplorasi faktor-faktor yang berkontribusi terhadap lambatnya kemajuan perubahan kebijakan tembakau di Indonesia dari perspektif para ahli pengendalian tembakau nasional. Namun, bukti-bukti tersebut kurang terulas di tingkat pemerintah daerah (provinsi dan kabupaten).

Riset kami menggali pengetahuan, sikap, peluang, dan tantangan terhadap upaya pengendalian tembakau yang lebih komprehensif di tanah air, dengan mengambil contoh Provinsi Bengkulu bersama tiga pemerintah kota dan kabupatennya.

Bengkulu adalah salah satu provinsi termiskin dengan angka prevalensi merokok tertinggi di negara ini. Data Survei Kesehatan Dasar 2018 menunjukkan 31,9% penduduk berusia 10+ tahun merokok, tepat di bawah Provinsi Jawa Barat (32,3%) dan Provinsi Gorontalo (32,0%).

Di provinsi tersebut, ada sepuluh kota dan kabupaten yang semuanya telah mengadopsi kebijakan KTR melalui peraturan daerah yang disahkan DPRD. Responden riset itu adalah pemangku kepentingan utama yang relevan dengan upaya pengendalian tembakau lokal seperti Dinas Kesehatan, Satuan Polisi Pamong Praja, Badan Perencanaan Daerah, DPRD, dan LSM.

Kami menemukan besarnya dukungan terhadap peraturan KTR di sana, karena antara lain, KTR yang telah diberlakukan sejak 2012 secara nasional dan merupakan satu-satunya peraturan nasional utama tentang pengendalian tembakau di negara ini. Namun, karena tanggung jawab untuk mengimplementasikan diberikan kepada pemerintah provinsi dan kabupaten, adopsi kebijakan menjadi lambat.

Walau besar dukungan, peserta studi kami telah mengidentifikasi kurangnya penegakan dan pendanaan kebijakan KTR terjadi di tingkat provinsi dan kabupaten. Saat ini, implementasinya terbatas pada pemantauan kepatuhan, tidak ada denda bagi pelanggar KTR di Bengkulu.

Beberapa peserta studi kami mengetahui penegakan hukum KTR yang lebih efektif di daerah lain seperti Jakarta. Namun, kurangnya dana mengurangi kemampuan mereka untuk menegakkan kepatuhan dan menciptakan ruang khusus rokok di kantor. Selain itu, masyarakat juga ragu untuk mengingatkan pelanggar KTR seperti merokok di dalam ruangan.

Isu lainnya adalah tidak adanya kebijakan nasional tentang larangan iklan tembakau luar ruang dan larangan tampilan di tempat penjualan menyebabkan pengetahuan dan dukungan mereka terhadap dua cara pengendalian tembakau itu relatif rendah.

Mereka menyatakan dilema untuk mendukung larangan tersebut. Di satu sisi, banyak yang memahami bahaya merokok bagi perokok dan bukan perokok. Di sisi lain, peserta menegaskan perlunya tambahan pendapatan pemerintah dari pajak tembakau dan pajak reklame luar ruang.

Seorang peserta juga mencatat bahwa kabupaten berpenghasilan tinggi mungkin mampu menerapkan larangan iklan tembakau luar ruang, karena ketergantungan yang lebih kecil terhadap pendapatan tambahan tersebut.

Belajar dari Kota Bogor dan Kota Depok

Inovasi kebijakan pengendalian tembakau dilakukan oleh Kota Bogor dan Kota Depok. Mereka memperketat implementasi kebijakan KTR dan kemudian memperluasnya menjadi larangan iklan tembakau luar ruang dan larangan menampilkan tembakau di tempat penjualan.

Pemerintah Kota Bogor pada awalnya berfokus pada penerapan KTR yang efektif dan mencapai kepatuhan yang tinggi pada 2014. Kemudian, mereka melarang izin baru iklan tembakau luar ruang (OTA) selama 2014-2015 dan memberlakukan larangan menampilkan tembakau di tempat penjualan pada 2017.

Larangan yang dimulai di kalangan pengecer rantai modern, termasuk menutup produk tembakau dan menghapus poster di tempat penjualan .

Demikian pula, Kota Depok yang berdekatan dengan Kota Bogor menerapkan larangan iklan tembakau luar ruang pada tahun 2018 dan uji coba larangan tampilan di tempat penjualan rokok pada 2019.

Peluang kebijakan baru

Studi kami memunculkan lebih sedikit peluang daripada tantangan terhadap kebijakan pengendalian tembakau yang lebih komprehensif.

Salah satu peluang potensial adalah di semua daerah yang dijadikan lokasi studi adanya peraturan KTR.

Mengingat sulitnya proses politik dalam membuat undang-undang, termasuk di tingkat provinsi dan kabupaten, beberapa peserta menyarankan untuk merevisi peraturan KTR saat ini. Caranya, memasukkan melarang iklan tembakau luar ruang (OTA) dan tampilan produk tembakau di tempat penjualan (POS) ke dalam revisi peraturan KTR. Cara ini lebih mudah daripada membuat peraturan baru untuk setiap larangan.

Hal ini sebenarnya yang dilakukan oleh pemerintah Kota Bogor, yaitu menambahkan larangan iklan luar ruang dan larangan menampilkan ke dalam peraturan KTR revisi.

Peluang potensial lainnya adalah memulai larangan di daerah yang lebih terbatas seperti di sekitar sekolah. Ini mungkin menarik bagi sebagian besar anggota masyarakat dan pembuat kebijakan untuk melindungi kaum muda untuk menjadi perokok.

Dari segi tantangan, ada dua tantangan utama muncul dari studi ini yakni merokok masih dianggap sebagai budaya di masyarakat dan begitu banyak perokok di masyarakat, pembuat kebijakan, dan legislator. Peserta menyebutkan perlunya menghindari protes dari masyarakat jika larangan tersebut dianggap keras. Peraturan larangan seperti itu mungkin sulit juga karena banyak legislator adalah perokok.

Tantangan besar lainnya adalah belum adanya regulasi nasional yang melarang iklan tembakau luar ruang (OTA) dan tampilan produk tembakau di tempat penjualan dari pemerintah pusat.

Meski pemerintah daerah dapat mengambil inisiatif (misalnya Kota Bogor dan Kota Depok), banyak legislator dan pembuat kebijakan terutama yang tidak memiliki latar belakang kesehatan mungkin tidak mudah diyakinkan untuk mengambil inisiatif tersebut, tanpa adanya peraturan yang lebih tinggi.

Tantangan besar lainnya adalah potensi perlawanan dari industri tembakau. Ketika pemerintah Kota Bogor menerapkan larangan iklan rokok luar ruang dan larangan memajang rokok, pendukung industri tembakau menggugat ke Mahkamah Agung.

Hal ini dapat menjadi peringatan bagi pemerintah kabupaten lain yang mungkin mempertimbangkan untuk mengadopsi larangan tersebut.

Peluang dan tantangan yang diidentifikasi harus menjadi pelajaran untuk implementasi yang lebih baik dari kebijakan KTR yang ada dan potensi penerapan kebijakan lain seperti larangan iklan rokok luar ruang dan larangan penayangan di tingkat pemerintah daerah.

Hasil penelitian kami ini relevan bagi pembuat kebijakan dan pemangku kepentingan di tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten di Indonesia menuju upaya pengendalian tembakau yang lebih komprehensif dan efektif.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,500 academics and researchers from 4,943 institutions.

Register now