Menu Close
(Sumber: Shutterstock)

Riset: demi kelestarian bumi, masyarakat kaya harus perbanyak konsumsi makanan lokal dan kurangi pangan impor

Masyarakat di negara maju sering menginginkan beraneka macam makanan yang diproduksi dari luar negeri. Gaya hidup semacam ini, menurut penelitian terbaru kami, justru memicu kenaikan emisi gas rumah kaca.

Studi kami memaparkan bahwa proses pengangkutan bahan pangan ataupun makanan jadi yang dilakukan antarnegara menghasilkan seperlima dari total emisi sektor pangan. Nah, sebagian besar masalah tersebut merupakan sumbangsih negara-negara maju.

Meski sudah ada banyak studi yang berhasil menghitung emisi karbon terkait produksi pangan dengan baik, riset kami menawarkan hitungan yang lebih rinci lagi. Kami menghitung estimasi jejak karbon dari sistem perdagangan pangan global, dengan melacak sederet komoditas pangan di jutaan rantai pasok.

Sejak 1995, perdagangan komoditas pertanian dan makanan global sudah bertumbuh dua kali lipat. Makanan yang berasal dari sistem ini menyumbangkan 19% kalori yang dikonsumsi warga dunia. Makanya, berbasis data dan temuan ini, kami menganggap upaya mengonsumsi pangan lokal adalah cara terbaik bagi masyarakat untuk mengatasi perubahan iklim.

sayuran dalam ember di sebelah tanda membaca
Mengonsumsi makanan lokal adalah cara ampuh untuk mengambil tindakan terhadap perubahan iklim. Shutterstock

Jaringan perjalanan makanan

Konsep ‘food miles’ (jangkauan makanan) sering digunakan untuk mengukur perjalanan bahan pangan dari fasilitas produksi menuju tempat di mana dia dilahap. Dari konsep inilah, kita bisa menghitung dampak lingkungan terkait bahan pangan tersebut, yang dikenal dengan istilah ‘jejak karbon’.

Setiap tahunnya, sektor pangan secara global menyumbang 16 miliar ton emisi gas rumah kaca. Angka ini setara dengan 30% emisi yang berasal dari aktivitas manusia (termasuk juga transportasi, alih fungsi lahan, dan proses produksinya).

Kajian kami menggunakan kerangka perhitungan yang berasal dari platform terbaru bernama Foodlab. Kerangka ini berbasis informasi yang luar biasa rinci, meliputi:

  • 74 negara atau kawasan
  • 37 sektor ekonomi
  • empat moda transportasi – darat, kereta api, laut, dan udara
  • lebih dari 30 juta rantai perdagangan – atau perjalanan suatu bahan pangan dari satu tempat ke tempat lain
Aerial view of container ship on ocean
Food mile mengukur jarak yang ditempuh makanan dari tempat produksinya ke tempat konsumsinya. Shutterstock

Emisi pangan global dan ketimpangannya

Studi kami menemukan emisi pengangkutan pangan mencapai 3 miliar ton saban tahun – setara 19% dari total emisi sektor pangan. Temuan ini 7,5 kali lipat lebih besar dibandingkan perkiraan yang sudah ada sebelumnya.

Sekitar 36% emisi dari transportasi pangan berasal dari pengangkutan buah dan sayur. Angka tersebut bahkan nyaris dua kali lipat lebih tinggi dibandingkan emisi dari aktivitas produksinya.

Tingginya emisi transportasi dua komoditas ini disebabkan oleh kebutuhan temperatur tertentu supaya buah dan sayur tidak layu ataupun busuk.


Read more: Dilema pangan ramah iklim yang bernutrisi dan terjangkau di Indonesia. Bagaimana cara mengatasinya?


Sementara itu, negara-negara maju menyumbang 46% dari total emisi pengangkutan pangan antarnegara. Besaran tersebut sangat tidak seimbang bila dibandingkan jumlah populasi kelompok negara ini, yang hanya sebesar 12,5% dari total penduduk dunia.

Adapun negara-negara penyumbang terbesar emisi tersebut adalah Cina, Jepang, Amerika Serikat, dan negara-negara Eropa Timur. Riset kami juga menemukan tingkat konsumsi pangan impor negara-negara ini jauh lebih besar dibandingkan pangan lokalnya.

Sedangkan eksportir terbesar yang juga bertanggung jawab atas emisi pengangkutan pangan global adalah Brazil, Australia, India, dan Argentina. Australia adalah produsen utama dari beraneka macam buah dan sayur yang dikirimkan ke seluruh dunia.

Sebaliknya, negara-negara berpendapatan rendah yang dihuni separuh populasi dunia hanya bertanggung jawab atas 20% emisi pengangkutan makanan.

wanita memberikan tas kepada pelanggan di warung makan
Negara berpenghasilan rendah berkontribusi jauh lebih sedikit terhadap masalah emisi dari transportasi makanan. Shutterstock

Lantas, apa solusinya?

Sejauh ini, kebanyakan kajian pangan yang berkelanjutan hanya berfokus pada emisi terkait daging ataupun perbandingan pangan nabati-hewani. Nah, hasil kajian kami justru menandakan bahwa konsumsi pangan yang tumbuh dan diproduksi di daerah setempat justru penting untuk meredam laju emisi dari pengangkutan makanan.

Lalu sejauh mana pangan bersifat ‘lokal’? Setidaknya pangan tersebut diproduksi dalam radius 161 kilometer (km) dari rumah kita.

Kami mengakui, sejumlah kawasan di dunia tidak bisa memenuhi seluruh pasokan pangannya sendiri. Perdagangan internasional juga berperan penting dalam akses makanan bernutrisi sekaligus mencegah kerawanan pangan bagi kelompok rentan di negara berpendapatan rendah.


Read more: Indonesia perlu perkuat diversifikasi pangan lokal untuk hadapi krisis pangan global


Emisi transportasi pangan memang tak bisa dijadikan satu-satunya indikator dampak lingkungan. Misalnya, pangan impor yang diproduksi secara berkelanjutan bisa jadi memiliki dampak lingkungan lebih kecil dibandingkan pangan lokal yang tinggi emisi.

Kendati begitu, ada banyak upaya yang bisa ditempuh untuk memangkas emisi dari pengangkutan makanan, khususnya di negara kaya. Beberapa di antaranya:

  • Tarif karbon dan pungutan impor
  • Investasi ke transportasi minim polusi
  • Merangsang sektor bisnis untuk memangkas emisi dalam proses produksi dan distribusi
  • Perumusan aturan untuk merangsang proyek-proyek pertanian urban

Selain itu, konsumen pun bisa berperan mengurangi emisi pengangkutan pangan dengan menerapkan kebiasaan makan yang lebih berkelanjutan. Misalnya, ketika Anda ingin membeli buah di luar musimnya – yang bisa jadi tumbuh di luar negeri ataupun daerah lain yang cukup jauh dari tempat Anda tinggal – pikirkanlah apakah ada alternatif lokal yang bisa dinikmati.

Persoalan emisi pengangkutan pangan bisa semakin parah, seiring dengan bertambahnya populasi. Pemerintah, korporasi, dan masyarakat mesti bekerja sama untuk memastikan produksi dan konsumsi pangan tidak memperburuk perubahan iklim.

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,400 academics and researchers from 4,942 institutions.

Register now