Akhir tahun 2021, Pemantau Regulasi dan Regulator Media (PR2Media), lembaga peneliti independen yang berbasis di Yogyakarta, mengumumkan hasil survei kekerasan terhadap jurnalis perempuan Indonesia.
Berdasarkan survei berskala nasional itu, sebanyak 85,7% dari 1.256 jurnalis perempuan dari seluruh Indonesia yang menjadi responden pernah mengalami berbagai tindakan kekerasan. Sebanyak 753 jurnalis perempuan (70,1%) mengaku mengalami kekerasan, baik di ranah fisik maupun digital. Dari pengakuan responden yang mengalami kekerasan tersebut, hanya 179 jurnalis (14,3%) yang tidak pernah mengalami kekerasan seksual sepanjang karier jurnalistik mereka.
Data terbaru dari hasil riset kolaboratif antara Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan PR2Media pada tahun 2022 juga menunjukkan fakta serupa. Riset tersebut mengungkapkan 82,6% dari 852 jurnalis perempuan di 34 provinsi yang menjadi responden penelitian tersebut menyatakan pernah mengalami kekerasan seksual.
Kedua temuan ini menjadi sinyal bahaya sekaligus ironi.
Bahaya karena menguatkan fakta bahwa kekerasan terhadap perempuan masih mengancam, terus terjadi, bahkan semakin meningkat di sekitar kita, tanpa memandang profesi, termasuk dengan adanya jenis kekerasan gender berbasis online (KGBO), yakni ketidakadilan dan diskriminasi gender yang terjadi di ruang online, seperti pelecehan, intimidasi, penguntitan, penyadapan, dan pornografi yang tidak diminta.
Ironis karena kekerasan ini justru banyak dialami oleh jurnalis perempuan, kelompok yang secara sosial dan politik dapat dikategorikan lebih berdaya karena profesi dan pengetahuannya dibanding perempuan Indonesia pada umumnya.
Berawal dari ruang redaksi
Meskipun di era sekarang jumlah jurnalis perempuan terus meningkat, daya tawar sosial politik para jurnalis perempuan di tempat kerja masih terbatas. Kultur maskulin yang mengidentikkan pekerjaan jurnalis sebagai pekerjaan laki-laki lebih mendominasi ruang-ruang diskusi.
Isu-isu yang diangkat dan ditulis perempuan banyak diklasifikasi media sebagai isu yang dianggap ringan dan aman bagi perempuan, seperti gaya hidup, fesyen, dan kehidupan domestik. Eksistensi jurnalis perempuan yang menempati posisi struktural media dan aktif membahas isu-isu penting, seperti politik, ekonomi, dan hukum belum menjadi tren umum bagi media-media arus utama di Indonesia.
Penelitian PR2Media tahun 2021 juga menemukan fakta bahwa mayoritas pelaku kekerasan terhadap jurnalis perempuan adalah rekan kerja (20,9%) dan atasan (6,9%).
Data ini memunculkan tanda tanya tentang apa yang telah dilakukan oleh organisasi media tempat jurnalis bekerja ketika menghadapi situasi tersebut. Lebih jauh ketika organisasi media tidak mampu menyelesaikan kasus kekerasan terhadap jurnalis mereka sendiri, ke mana penyintas kekerasan mengadukan kasusnya untuk mencari pertolongan dan keadilan?
Di sinilah perlunya menciptakan ruang aman bagi jurnalis perempuan. Ruang aman yang mengedepankan budaya tanpa kekerasan, mulai dari individu jurnalis, organisasi atau perusahaan media, asosiasi jurnalis, dan regulator media.
Dilihat dari angka statistik AJI tahun 2012, jumlah jurnalis perempuan di Indonesia dibanding jurnalis laki-laki hanya sekitar 1:4 (25%). Data lain dari Angela Romano, akademisi Australia yang meneliti perkembangan pers Indonesia dalam transisi politik 1998, merinci variasi data persentase jurnalis perempuan di Indonesia antara tahun 1973-2001 yang meningkat dari 2% hingga 30% dari total jurnalis.
Sayangnya, jumlah jurnalis perempuan yang meningkat tidak otomatis mengindikasikan rendahnya budaya kekerasan terhadap perempuan yang bekerja dalam media.
Fenomena ini disebut sebagai ‘glass ceiling’ atau ‘langit-langit kaca’, yang menggambarkan pengalaman perempuan yang bekerja pada mayoritas organisasi media di dunia.
Langit-langit kaca adalah istilah yang menggambarkan situasi meskipun perempuan mulai banyak berpartisipasi di media, lebih sedikit perempuan yang memegang posisi kunci, berkontribusi nyata dalam proses pengambilan keputusan besar, atau mampu naik ke posisi yang lebih tinggi, lebih kuat, dan menguntungkan selama karier mereka di media.
Kondisi ‘glass ceiling’ ini berpotensi melanggengkan kekerasan karena kebijakan atau keputusan tentang jurnalis perempuan akhirnya diselesaikan dari kacamata ‘boys club’, istilah yang merujuk pada dominasi laki-laki yang menduduki posisi-posisi puncak dalam manajemen media.
Perlunya regulasi yang mampu melindungi jurnalis perempuan
Selain mengikuti dan menindaklanjuti konvensi global dan lokal pada organisasi media secara nyata, Dewan Pers bersama asosiasi-asosiasi jurnalis dan organisasi media perlu segera mendorong dan menyusun regulasi serta kebijakan yang dapat melindungi dan mencegah kekerasan terhadap jurnalis, khususnya jurnalis perempuan.
Selama ini belum ada regulasi khusus dan peraturan standar tentang pencegahan, perlindungan, dan penanganan kasus kekerasan untuk jurnalis perempuan di Indonesia. Peraturan Dewan Pers Tahun 2013 tentang Pedoman Penanganan Kasus Kekerasan terhadap Wartawan, misalnya, masih bersifat umum dan normatif.
Dukungan dan kehadiran semua pemangku kepentingan dalam membangun ekosistem antikekerasan terhadap jurnalis perempuan diperlukan di semua lini. Langkah Dewan Pers menyelaraskan visi manajemen dan pemilik media untuk melindungi jurnalis perempuan menjadi keniscayaan. Dewan Pers diperlukan sebagai otoritas lembaga yang lebih tinggi dalam mengatur kehidupan pers di Indonesia.
Aturan yang melarang adanya kekerasan di media ini tidak hanya berkaitan dengan konten-konten media, tapi menyasar kebijakan struktural dalam organisasi sehingga mampu memberi payung hukum dan sanksi yang tegas bagi pengelola media.
Langkah konkret selanjutnya, media perlu menyusun aturan turunan yang detail, bisa berupa protokol, peraturan perusahaan, ataupun Perjanjian Kerja Bersama (PKB) tentang perlindungan jurnalis, khususnya terhadap jurnalis perempuan, termasuk kekerasan seksual sebagai bagian dari Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3).
Keberadaan aturan ini akan memberikan jaminan kepada korban untuk berani melaporkan kasusnya, tanpa ancaman pemecatan atau konflik ketenagakerjaan lain yang merugikan.
Dengan adanya jaminan regulasi, jurnalis memiliki ruang yang leluasa untuk mewujudkan sistem pendukung berbentuk serikat, asosiasi, dan gugus tugas yang berorientasi pada perlindungan jurnalis perempuan. Ini tentunya disertai dengan beragam pelatihan yang berkelanjutan, termasuk memberi materi baru tentang perlindungan keamanan digital dan pemahaman KGBO bagi jurnalis.
Menciptakan ruang aman bagi jurnalis perempuan
PR2media membuat modul Mencegah dan Mengatasi Kekerasan terhadap Jurnalis Perempuan dan mendefinisikan ruang aman untuk jurnalis perempuan sebagai kesadaran, sistem dukungan, dan ketersediaan infrastruktur yang menjamin keamanan mereka dari berbagai tindak kekerasan.
Ruang aman untuk jurnalis perempuan diawali dengan pengarusutamaan kesetaraan gender dan budaya antikekerasan di ruang redaksi dan perusahaan media secara umum. Ini dapat mencegah normalisasi adanya kekerasan terhadap jurnalis perempuan karena pandangan dan kultur misoginis. Sikap menyangkal adanya kekerasan karena pandangan dan kultur misoginis serta menganggap normal pelecehan lewat candaan atau lelucon bisa dicegah.
Tidak hanya eksklusif untuk aktivis perempuan, pengarusutamaan gender sangat diperlukan di semua lini kerja jurnalistik. Langkahnya bisa dimulai dengan mengajak jurnalis laki-laki peduli dan punya kesadaran yang sama tentang kekerasan terhadap jurnalis perempuan.