Menu Close
Illustration of cigarette ban. Freepik, CC BY

Riset: rumitnya proses legislasi di daerah menghambat terciptanya kawasan bebas asap rokok

Indonesia menjadi salah satu negara dengan jumlah perokok tertinggi di dunia. Pada 2021, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) memperkirakan di Indonesia ada 69,1 juta perokok, jumlah terbesar ketiga di dunia setelah Cina dan India.

Selama satu dekade terakhir, pemerintah Indonesia telah menerapkan kebijakan sebagai upaya mengatasi hal ini. Tahun 2012, pemerintah mengeluarkan sebuah peraturan untuk mengurangi angka perokok di Indonesia, yang di dalamnya termasuk kewajiban untuk menciptakan kawasan bebas asap rokok di seluruh kabupaten. Namun, untuk bisa memberlakukan aturan, pemerintah daerah diharuskan membuat Peraturan Daerah (Perda) untuk mengatur kawasan bebas asap rokok.

Studi terbaru kami menunjukkan bahwa pembentukan kawasan bebas asap rokok di daerah menghadapi banyak tantangan. Ini karena banyaknya kerumitan dalam proses menerjemahkan UU nasional ke dalam Perda dan hal-hal terkait politik di daerah.

Tantangan kawasan tanpa rokok: studi di 3 provinsi

Kawasan Tanpa Rokok (KTR) adalah tempat umum yang melarang aktivitas merokok. Siapapun yang melanggar peraturan ini dapat dikenakan hukuman, baik dalam bentuk denda maupun penjara, tergantung pada Perdanya.

Kami menganalisis peraturan KTR di tiga provinsi, yakni Aceh, Malang di Jawa Timur, dan Bandung di Jawa Barat, untuk memahami bagaimana konteks lokal memengaruhi proses pembuatan aturan daerah. Ketiga lokasi tersebut mewakili konteks sosial-budaya dan politik yang berbeda di Indonesia.

Aceh menjadi salah satu daerah di Indonesia dengan paling banyak jumlah perokok. Merokok juga memainkan peran sosial penting di Aceh. Provinsi ini juga memiliki sistem hukum yang unik berdasarkan hukum Syariah, yang mengharuskan Perdanya merujuk pada hukum Islam.

Malang dianggap sebagai salah satu “klaster industri” terkemuka bagi produksi rokok di Indonesia.

Sementara itu, Bandung memang bukan merupakan pusat industri rokok maupun bagian dari pusat tembakau di Indonesia. Namun, pemimpin daerah di kota ini tidak menunjukkan adanya komitmen kuat untuk mengurangi konsumsi rokok.

Perbedaan karakter daerah

Dalam ketiga kasus tersebut, terdapat kesenjangan yang besar antara waktu penerbitan Perda yang merespons peraturan nasional yang dikeluarkan pemerintah pusat pada 2012.

Malang membutuhkan waktu enam tahun untuk memberlakukan perda tentang KTR. Sementara Aceh dan Bandung baru mengeluarkan perda terkait pada tahun 2021, atau 11 tahun setelah kebijakan awal ditetapkan.

Kami menemukan bahwa alasan utamanya adalah kurangnya dukungan legislatif setempat. Setiap pemerintah daerah harus melalui proses pembuatan Perda yang hampir selalu membutuhkan waktu, biaya, dan sumber daya untuk meneliti serta perlu menyusun Rancangan Peraturan Daerah (Raperda).

Pemerintah daerah juga diharuskan untuk mendiskusikan usulan Raperda tersebut dengan para pemangku kepentingan yang relevan untuk memastikan bahwa kebutuhan masyarakat setempat terpenuhi.

Meskipun beberapa pemimpin eksekutif dengan penuh semangat memperjuangkan hal ini, kemampuan mereka untuk memengaruhi Perda cenderung terbatas.

Sebagai contoh, mantan Wali Kota Bandung, Ridwan Kamil, ketika masih menjabat dengan penuh semangat mendukung peraturan anti-merokok. Ia memperkenalkan Peraturan Walikota pada tahun 2017 dan membentuk gugus tugas KTR. Namun, DPRD kala itu tidak tertarik dan menunda pengesahan peraturan tersebut hingga tahun 2021.

Di Aceh, sebelum tahun 2019, hanya ada sedikit diskusi tentang masalah ini. Ini bukan hal yang mengherankan, mengingat sebagian besar politikus di provinsi ini adalah perokok.

Terdapat juga perbedaan dalam cara memandang hukum ini di tiga daerah tersebut.

Di Aceh, dengan sistem hukum yang didasarkan pada Hukum Syariah, para legislator harus mencari pembenaran agama untuk membangun KTR. Meskipun mereka diharuskan untuk menerapkan hukum sesuai dengan peraturan nasional, para politikus masih harus memberikan alasan agama.

Pada akhirnya, mereka memilih konsep Hibunnas, yang menyatakan bahwa manusia berkewajiban untuk menjaga diri mereka sendiri agar tetap sehat. Berdasarkan konsep tersebut, Perdanya dirancang atas landasan untuk melindungi warga Aceh. Sementara perda di Bandung dan Malang tidak memerlukan pertimbangan semacam itu.

Studi kami juga menunjukkan bahwa isu ini bukan hanya masalah ketidakpedulian masyarakat terhadap pengendalian tembakau, tapi juga menunjukkan adanya kepentingan industri yang turut berperan.

Sebagai contoh, proses penyusunan Perda di Malang cenderung lebih berpihak pada kepentingan perusahaan tembakau dan tidak mengikutsertakan para pemangku kepentingan yang mewakili kepentingan pengendalian tembakau.

Dinamika politik dan hukum yang ‘tambal sulam’

Banyak hal yang mengelilingi problematika implementasi kebijakan kawasan bebas asap rokok. Terdapat tambal sulam peraturan dan adopsi yang tidak merata di seluruh negeri.

Terlepas dari peraturan tahun 2012, hanya 345 dari 514 kabupaten di Indonesia yang telah mengeluarkan Perda tentang KTR pada 2018. Pada Juni 2023, lebih dari 10 tahun setelah peraturan tersebut dikeluarkan secara nasional, 13% kabupaten masih belum membuat Perda tentang KTR.

Diperlukan konsistensi dalam menerjemahkan arahan tingkat pusat ke dalam kebijakan lokal. Pembuatan peraturan terkait juga berhubungan dengan dinamika politik lokal dan hubungan antarpemangku kepentingan. Komitmen politikus di daerah sangat penting untuk mengarahkan aturan, dan menentukan cepat atau tidaknya pembahasan aturan tersebut.

Di samping itu, momen pemilihan umum (pemilu) juga sering kali menjadi titik balik dan mengubah arah penentuan kebijakan.

Pasca-Pemilu 2014, misalnya, di Malang, terjadi pergeseran narasi kebijakan akibat munculnya partai-partai politik yang lebih mendukung KTR.

Pola yang sama juga terlihat di Bandung dan Aceh pasca-Pemilu 2019. Hasil pemilu menggeser komposisi pemerintah daerah ke arah partai politik yang lebih mendukung pengendalian tembakau.

Para aktivis dan birokrat juga memainkan peran penting dalam meloloskan peraturan KTR dengan menjadikan isu ini sebagai agenda politik.

Para pemangku kepentingan dari Kementerian Kesehatan harus sebagai katalisator yang terus mendorong para politikus lokal untuk melakukan pekerjaan mereka.

Sebagai contoh, Dinas Kesehatan Kota Malang secara resmi mengajukan permohonan kepada DPRD untuk mengadvokasi pembuatan peraturan. Di Bandung, sebuah kolaborasi antara petugas dinas kesehatan dan akademisi menghasilkan Perda yang komprehensif. Di Aceh, seorang dokter, kepala gugus tugas KTR, berperan penting dalam mendorong perda terkait KTR.

Upaya ke depannya

Penyusunan Perda menjadi rumit akibat warisan keputusan politik yang dibuat beberapa dekade yang lalu, mungkin tanpa pemahaman yang lengkap mengenai konsekuensi dari deregulasi.

Berdasarkan studi kasus kami, hal yang perlu disoroti adalah proses pembuatan peraturan yang rumit yang melibatkan berbagai proses di berbagai lapisan pemerintahan.

Memberikan tanggung jawab kepada politikus lokal untuk membuat Perda berdasarkan peraturan nasional yang sudah ada kadang kala justru menimbulkan lebih banyak masalah, terutama jika mereka tidak menganggap aturan tersebut sebagai prioritas.

Untuk membuat sistem legislasi menjadi lebih efisien, perlu ada langkah-langkah untuk menentukan UU mana yang memerlukan pertimbangan lokal dan mana yang dapat diberlakukan secara nasional, seperti peraturan tahun 2012. Ini diharapkan akan menghemat waktu dan sumber daya, serta menciptakan konsistensi di seluruh daerah di Indonesia.

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,600 academics and researchers from 4,945 institutions.

Register now