Menu Close

Sagu bisa jadi jawaban ketahanan pangan, tapi masyarakat Tolaki di Sulawesi Tenggara kesulitan memproduksi sagu secara ekonomis

Sagu merupakan pangan lokal Suku Tolaki
Papan penunjuk kawasan pengolahan sagu di Desa Labela, Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara. Dokumentasi penulis, Author provided (no reuse)

Jauh sebelum “hegemoni” beras, masyarakat Sulawesi Tenggara – khususnya suku Tolaki – mengenal tanaman sagu sebagai bahan pangan pokok. Sayangnya, politik pangan membuat sagu perlahan-lahan tersisihkan.

Sebelum era 1980-an, sagu merupakan makanan utama masyarakat Tolaki – etnis terbesar yang mendiami Sulawesi Tenggara. Di sana, pati sagu diolah menjadi Sinonggi, makanan khas masyarakat Tolaki. Mereka kerap menyantap Sinonggi dengan campuran sayur bening dan ikan kuah kuning atau ayam kampung yang dimasak dengan daun kedondong hutan (tawaloho).

Namun, keberhasilan swasembada beras di tahun 1980-an turut mengubah pola konsumsi masyarakat dari sagu menjadi penggila nasi. Sagu sebagai makanan pokok terpinggirkan dan hanya jadi sekedar pelengkap makanan setelah nasi.

Secara potensi, jumlah sagu di Sulawesi Tenggara cukup besar untuk di pulau Sulawesi. Sebagai pembanding, data Kementerian Pertanian menunjukkan di Sulawesi Selatan yang dikenal sebagai penghasil sagu di daratan Sulawesi, volume produksi sagu mencapai 3.259 ton dengan luas lahan produksi mencapai 3.849 hektar. Sedangkan Sulawesi Tenggara dengan luas produksi 4.567 hektar, jumlah produksinya hanya mencapai 3.001 ton.

Daratan Konawe masih sangat berpotensi menjadi pusat industri sagu. Menurut Kementerian Pertanian, sagu dapat diolah menjadi tepung sagu (termasuk produk makanan olahannya, seperti kue tradisional), dari bahan pembuatan obat di industri farmasi hingga sumber energi alternatif seperti bioetanol. Ampas sagu bahkan bisa diolah menjadi protein sel tunggal untuk pakan ternak. Ini tentunya bisa membantu meningkatkan perekonomian masyarakat di Sulawesi Tenggara.

Terdapat potensi besar dari sagu tak hanya untuk menjaga diversifikasi dan ketahanan pangan, namun juga meningkatkan perekonomian masyarakat setempat, terutama dalam dalam krisis pangan yang melanda dunia sekarang ini.

Sagu kurang mendapat perhatian

Sagu masih ditemui dalam keseharian masyarakat Tolaki. Sayangnya, kurangnya perhatian dan pengetahuan membuat produksi sagu hanya mengikuti dinamika pasar tanpa dikembangkan lebih jauh untuk meraih potensi maksimalnya.

Kami melakukan penelitan lapangan dan diskusi kelompok terpumpun (FGD) dengan petani sagu di daratan Konawe (hasilnya dalam proses penulisan). Diskusi menghadirkan dua kelompok tani sagu di waktu dan tempat berbeda di pertengahan tahun 2022. Tiap kelompok berjumlah tidak lebih dari 10 orang yang dipilih secara sengaja.

Hasilnya, kami menemukan bahwa pengolahan sagu hanya dilakukan secara subsisten, penggunaan mesin otomatisasi yang tak berjalan dengan baik, serta kurangnya perhatian pemerintah daerah membuat produksi sagu berhenti total.

Bergesernya konsumsi masyarakat ke nasi membuat sagu hanya diolah secara alami, yang membatasi peluang ekonomi dan membuat petani memproduksi sagu berdasarkan permintaan pasar saja, umumnya digunakan sekedar pelengkap.

Organisasi Pangan Dunia (FAO) pernah memberikan bantuan dengan mendirikan pabrik percontohan di Desa Labela (Kabupaten Konawe) dan Desa Kosebo (Kabupaten Konawe Selatan) pada akhir 2017. Namun, spesifikasi yang tak sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan mahalnya biaya perawatan membuat pabrik berhenti bekerja.

Selain kendala teknis, sagu juga merupakan komoditas termurah dibanding komoditas lainnya. Tinjauan kami menunjukkan bahwa harga sagu hanya berkisar Rp 2.200 per kilogram di tingkat petani dan 5.000 per kilogram di pasaran. Sementara, harga beras di tingkat pasar lokal mencapai Rp 9.000-10.000 per kilogram. Ini menjadi salah satu alasan juga mengapa budidaya sagu tidak ekonomis dan jalan di tempat.

Hasil diskusi kami dengan petani menemukan bahwa pemerintah daerah dan kota yang selalu menggaungkan cinta produk lokal dengan istilah sikato (singkatan dari Sinoggi, Kasuami, Kambose, Kabuto) nyatanya tak pernah memberikan perhatian serius terhadap pemberdayaan petani sagu.

Keadaan ini yang memaksa petani mengolah sagu hanya sebagai sampingan atau sebagai tanaman ‘penjaga nilai budaya’.

Sagu masih bertahan sebagai tanaman adat

Di tengah dominasi beras, rendahnya harga, sulitnya produksi, dan kurangnya perhatian pemerintah daerah, mengapa masyarakat masih tetap mengolah sagu? Padahal, cara mengolah sagu tidaklah mudah. Dibutuhkan setidaknya 10 tahun agar sagu siap panen. Untuk menghasilkan 250 kilogram olahan sagu dibutuhkan 3-5 hari kerja.

Kami mendiskusikan pertanyaan ini dengan masyarakat. Jawaban mereka sederhana, ada keterkaitan antara sagu dan budaya masyarakat sehingga tanaman ini tetap dilestarikan.

Tradisi makan sagu terus bertahan di tengah dominasi nasi karena keterikatannya budaya dan sudah menjadi bagian dari cara hidup (way of life) masyarakat Tolaki. Setiap rumah tangga setiap harinya menyiapkan sagu yang disebut dengan tradisi Masoggi atau Sinonggi, sagu yang sudah diolah dan ditutup dengan makan nasi.

Olahan sagu
Sinonggi, makanan lokal masyarakat Tolaki. Dokumentasi penulis, Fourni par l'auteur

Menghidupkan tradisi juga terlihat di acara perkawinan. Jika seorang laki-laki mempersunting gadis Tolaki, mereka wajib membawa anakan sagu dan peralatan dapur lainnya. Sebab, bagi masyarakat Tolaki, sagu merupakan simbol kehidupan dan kesejahteraan.

Selain itu, sagu juga telah melengkapi perjalanan kehidupan leluhur mereka. Masyarakat Tolaki memanfaatkan hampir semua bagian dari tanaman sagu, seperti daun sagu yang dirajut menjadi atap, pelepahnya dibuat menjadi pagar, dan ulat sagu dan pucuk sagu menjadi panganan. Ini semua masih bertahan hingga sekarang.

Namun, di era krisis pangan dan krisis ekonomi pascapandemi, petani sagu tentu berharap produksi mereka tidak sekadar menjaga tradisi namun juga menghasilkan nilai ekonomi.

Ketahanan pangan dan upaya meningkatkan ekonomi

Diskusi kami menemukan bahwa para peserta memiliki persepsi bahwa Kabupaten Konawe dan Konawe Selatan tidak tahan pangan akibat ketidaktersediaan pasokan dan variasi pangan. Ini seperti mengkonfirmasi pendapat Profesor Drajat Martianto dari Institut Pertanian Bogor bahwa 50% masyarakat di Indonesia berada dalam kelaparan tersembunyi (hidden hunger).

Pola konsumsi yang berubah dari sagu ke nasi bisa menjadi alasan mengapa masyarakat tidak merasa memiliki ketahanan pangan dan meminggirkan pengolahan sagu.

Ahmad Arif, wartawan Kompas dalam bukunya “Sagu Papua untuk Dunia”, menekankan tentang kerentanan pangan bukan karena keterbatasan pangan dan kekurangan bahan baku namun juga terbatasnya pengetahuan mengembangkan dan membudidayakan sagu dengan lebih efektif. Kendala pengembangan sagu yang terbentur dengan ketersediaan infrastruktur.

Di dalam kondisi ini, ajakan Menteri Pertanian, untuk makan sagu jika harga beras mahal terdengar ironis mengingat posisi sagu yang sebelumnya merupakan makanan pokok di beberapa wilayah Indonesia, kini tergeser oleh nasi. Kembali ke konsumsi sagu sebagai makanan pokok di masyarakat Tolaki tidak semudah membalikkan tangan.

Di tengah masifnya alih fungsi lahan pertanian dan eksploitasi lahan menjadi tambang nikel di Sulawesi Tenggara, agaknya pemerintah daerah perlu menengok kondisi pangan lokal dan memperhatikan sagu yang kian hari semakin memprihatinkan keberlanjutannya.

Sudah saatnya pemerintah daerah memikirkan ulang kebijakan politik pangan. Jika saja sagu dikembangkan secara berkelanjutan, bukan tidak mungkin sagu menjadi produk lokal yang dapat diandalkan untuk ketahanan dan kedaulatan pangan, serta meningkatkan perekonomian masyarakat setempat.

Kearifan masyarakat di Indonesia tentang ketahanan pangan banyak dijumpai di masyarakat lokal. Tinggal menunggu kebijakan politik pangan yang berpihak pada petani.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,500 academics and researchers from 4,943 institutions.

Register now