Menu Close

Salah langkah pemerintah urus Papua: pendekatan keadilan sosial bisa jadi solusi

antarafoto festival danau sentani papua gt.

Berdasarkan perspektif negara, peristiwa 1 Mei 1963 dipahami sebagai hari integrasi Papua kepada Indonesia. Sebaliknya, orang asli Papua (OAP) memaknai ini sebagai peristiwa aneksasi (pencaplokan wilayah) Papua oleh pemerintah Indonesia.

Perbedaan perspektif ini tidak lepas dari kompromi politik dalam Perjanjian New York 1962. Ekses peristiwa integrasi nasional itu menimbulkan konsekuensi politik yang panjang, di antaranya eksploitasi sumber daya alam (SDA), konflik dan gangguan keamanan, hingga pelanggaran hak asasi manusia (HAM).

Sebagai instrumen politik guna mengakselerasi pembangunan Papua, pemerintah belakangan telah menetapkan Peraturan Presiden (Perpres) No. 24 Tahun 2023 tentang Rencana Induk Percepatan Pembangunan Papua (RIPPP). Ini memungkinkan hadirnya Rencana Aksi Percepatan Pembangunan Papua (RAPPP). Namun, kami menilai nuansa RIPPP masih bersifat top-down alias kendali ada pada pemerintah.

Ini, sekali lagi, menjadi kekeliruan dalam penanganan masalah-masalah di Papua. Hingga kini, permasalahan pembangunan Papua yang paling menonjol adalah hasil dari kekeliruan yang terus-menerus direproduksi negara: peminggiran kemanusiaan.

Pemaknaan yang salah

Selama ini, gestur politik pemerintah cenderung lebih mengutamakan pembangunan fisik dan politik penyeragaman tanpa memberi ruang kekhususan bagi OAP, alih-alih memperluas partisipasi dan mengakui identitas OAP.

Negara memaknai pembangunan melalui upaya modernisasi. Sementara itu, persoalan partisipasi dan pengakuan identitas yang dinilai sangat penting bagi OAP justru tidak mendapat perhatian yang memadai.

Padahal, OAP merupakan pihak yang baru belajar tentang kehidupan bernegara. Untuk itu, perlu adanya afirmasi dan akselerasi sumber daya manusia (SDM). Perbedaan pemaknaan atas pembangunan ini perlu difasilitasi pemerintah melalui perluasan ruang partisipasi dan upaya pengakuan kepentingan OAP disetiap rumusan kebijakan pembangunan Papua.

Semakin terpinggirkannya OAP dalam pembangunan telah memunculkan perasaan diperlakukan tidak adil. Perasaan ini yang seringkali menyulut konflik. Ini sejalan dengan data kami, dari Gugus Tugas Papua Universitas Gadjah Mada (GTP UGM), yang menunjukkan angka kekerasan yang terjadi di ranah masyarakat cenderung meningkat selama delapan tahun terakhir di Papua.

Tren Peningkatan Jumlah Kekerasan yang dilakukan oleh Masyarakat Sipil dari tahun 2015-2023.

Menurut data penelitian kami, sejak 2015 hingga akhir Juni 2023, dari seluruh tindak kekerasan di Papua, kekerasan yang pelakunya berasal dari masyarakat menempati peringkat kedua terbanyak (76 kasus) setelah kekerasan oleh kelompok bersenjata (241 kasus) dari total 378 kasus.

Hasil telaah kami juga mengonfirmasi bahwa ketidakadilan sosial menjadi salah satu penyebab utama masih terjadinya kekerasan di Papua. Ini mencakup persoalan pengakuan identitas, modernitas yang dipaksakan, dan SDM yang lemah.

Munculnya perasaan ketidakadilan yang dialami OAP telah berlangsung sejak Papua terintegrasi dengan Indonesia. Dalam trajektori politik Indonesia, ketidakadilan yang dialami OAP dalam pembangunan dapat dilihat misalnya dalam peristiwa murahnya harga sewa lahan penduduk asli bagi proyek besar, pengelolaan sumber daya alam yang merugikan masyarakat adat, perasaan terpinggirkan oleh kehadiran pendatang yang menguasai sektor ekonomi, pembangunan jalan Trans-Papua yang tidak mempertimbangkan konektivitas antarkampung, hingga masih terjadinya tindakan ekstra yudisial yang dilakukan oleh aparat di Papua.

Kelemahan RIPPP

Meningkatnya kekerasan selama satu dekade terakhir bersamaan dengan masifnya pembangunan di Papua menyisakan pertanyaan: Apakah pendekatan kesejahteraan dan modernisasi sudah tepat untuk mengatasi persoalan pembangunan sekaligus menciptakan keadilan sosial bagi OAP?

Kami menguji kembali asumsi modernisasi yang digadang-gadang akan membawa kesejahteraan dan perdamaian di Papua dengan menelaah dokumen RIPPP. Kami memberikan dua tawaran penjelasan atas fenomena yang terjadi menggunakan perspektif keadilan sosial.

Pertama, dokumen RIPPP dinilai sangat kental dengan pendekatan teknokratik yang cenderung bersifat top-down. Dengan begitu, ruang partisipasi OAP, khususnya yang berada di akar rumput sangat minim.

Dalam penyusunannya, hanya segelintir pihak, utamanya pemerintah pusat, yang mendesain kebijakan, tanpa mengundang partisipasi OAP yang lebih representatif dan inklusif.

Minimnya partisipasi OAP dalam penyusunan RIPPP dapat dilihat melalui dasar hukum penyusunannya, yaitu UU Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua. UU mengamanatkan penyusunan RIPPP hanya dilakukan pemerintah pusat bersama pemerintah daerah.

Artinya, negara belum sensitif terhadap konteks lokal yang menekankan pentingnya pelibatan stakeholder OAP, seperti kelompok agamawan, adat, perempuan, bahkan pemuda. Dengan begitu, negara sebenarnya belum mampu menghadirkan rasa kepemilikan bersama atas pembangunan Papua.

Minimnya partisipasi masyarakat akar rumput dalam penyusunan RIPPP berpotensi menebalkan sikap ketidakpercayaan OAP terhadap pembangunan yang telah dan akan dilakukan negara. Terlebih dengan adanya penganuliran peran masyarakat adat terhadap pembangunan di Papua yang masih kerap terjadi.

Kedua, pembangunan dengan skema afirmasi dalam bidang pemerintahan bagi OAP yang telah ditetapkan pemerintah belum disertai dengan skema pemberdayaan yang memadai.

Skema afirmasi dalam pemerintahan daerah di Papua tanpa pembangunan SDM birokrat yang memadai justru menyebabkan inefisiensi dan inefektivitas kinerja pemerintah. Sebab, SDM birokrat yang tidak dibekali kecakapan dalam menjalankan roda pemerintahan akan semakin meningkatkan rasa ketidakpercayaan masyarakat terhadap kehadiran negara di Papua.

Bersamaan dengan hal tersebut, negara berkewajiban untuk melakukan investasi sosial melalui pengembangan SDM OAP yang kontekstual. Ini bisa dimulai dari sekolah dengan kurikulum khusus, memperluas cakupan beasiswa afirmasi, diklat ASN khusus OAP, hingga jaminan kesehatan dan ketenagakerjaan. Langkah ini bertujuan untuk mengakselerasi kualitas pembangunan SDM sekaligus memastikan bahwa setiap talenta OAP berkesempatan mencapai mobilitas sosial.

Dua masalah di atas sejatinya berasal dari akar permasalahan yang sama, yaitu minimnya upaya pengakuan negara terhadap masyarakat asli Papua. Pengakuan yang dimaksud tidak hanya sekadar konsep mengenai pengakuan OAP yang dituangkan dalam kebijakan otonomi khusus yang telah diterapkan sejak tahun 2001.

Negara perlu mengintegrasikan kekhususan dan partisipasi nyata dari OAP dalam proses pembangunan Papua. Hal tersebut bisa ditempuh dengan cara mempertanyakan kembali efektifitas upaya modernisasi melalui pembangunan yang selama ini telah dilakukan negara.

Rekomendasi

Alih-alih modernisasi yang dipaksakan, perwujudan keadilan sosial di tanah Papua dapat dilakukan lewat investasi sosial yang bersifat partisipatif, kontekstual, dan berkelanjutan. Kami menawarkan dua rekomendasi.

Rekomendasi pertama adalah negara perlu mengakui kekhususan OAP dengan cara memahami dinamika dan konteks lokal. Pelibatan masyarakat Papua secara aktif, sekaligus mempertimbangkan representasi yang hadir saat perumusan maupun implementasi kebijakan, menjadi syarat utama dalam pembentukan kebijakan.

Rekomendasi kedua adalah mengembangkan SDM di Papua dengan tujuan memastikan hadirnya keadilan sosial. Negara perlu memikirkan ulang intervensi kebijakan dalam peningkatan kapasitas SDM melalui investasi sosial di bidang pendidikan, kesehatan, dan ketenagakerjaan yang partisipatif dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat lokal.

Kami setuju bahwa pembangunan fisik adalah langkah penting, tetapi pembangunan SDM jauh lebih dibutuhkan bagi OAP. Pembangunan fisik akan tetap menciptakan ruang ketidakadilan bahkan telah menjadi masalah ketika dipaksakan oleh negara atas nama modernisasi.

Dengan demikian, pemerintah perlu lebih dulu mengakui kekhususan Papua dan membuka partisipasi riil bagi OAP dalam proses pembangunan SDM. Melalui perspektif keadilan sosial, kami berharap terwujudnya Papua yang lebih damai, adil, dan bermartabat.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,600 academics and researchers from 4,945 institutions.

Register now