Munculnya satu kasus polio yang menyerang anak berusia 7 tahun di Kabupaten Pidie, Aceh, pada awal November 2022 membuat publik terhenyak. Sebab, sudah hampir satu dekade penyakit tersebut jarang terdengar. Terlebih pada 2014 Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah menyatakan Indonesia sudah bebas polio.
Kementerian Kesehatan menetapkan status kejadian luar biasa (KLB) polio dan menggencarkan kembali imunisasi polio di beberapa kabupaten di Provinsi Aceh. Menteri Kesehatan menargetkan vaksinasi polio di Pidie pada anak-anak selesai dalam sepekan lagi.
Temuan kasus polio ini menunjukkan sistem surveilans kesehatan masyarakat yang kurang berjalan. Padahal, sejatinya polio termasuk penyakit yang dapat dicegah dengan mudah melalui imunisasi (PD3I).
Masalah lainnya adalah cakupan imunisasi dasar, termasuk imunisasi polio, di Aceh termasuk yang terendah dan cenderung turun.
Pola penularan dan dampak
Poliomielitis atau dikenal sebagai polio merupakan penyakit yang disebabkan oleh enterovirus, salah satu genus virus yang menyebabkan penyakit pada manusia dan hewan.
Virus polio sangat menular dan umumnya menyerang sistem saraf pada anak-anak berusia lima tahun ke bawah. Media penularan virus adalah mulut atau hidung. Umumnya virus ini disebarkan melalui makanan (penularan secara oral) atau air minum yang terkontaminasi oleh kotoran penderita polio (penularan melalui feses penderita).
Faktor kesehatan lingkungan seperti sanitasi yang buruk dan buang air besar (BAB) di sembarang tempat turut berkontribusi terhadap penyebaran virus polio.
Dalam kasus di Aceh, Menteri Kesehatan menyatakan kasus polio diduga berasal dari virus yang telah dilemahkan dalam vaksin polio dari tubuh anak yang buang air besar di sungai.
Infeksi virus polio berakibat fatal serta dapat menurunkan kualitas hidup seseorang akibat kelumpuhan permanen dan bahkan berujung kematian.
Dalam konteks kebijakan dan program kesehatan, upaya pencegahan polio yang tidak memadai dapat membebani pembiayaan kesehatan suatu negara.
Imunisasi: faktor kunci pencegahan polio
Sejak 1988, WHO menginisiasi pemberantasan polio global di seluruh dunia. Program tersebut berhasil menurunkan lebih dari 99% kasus polio.
Akan tetapi, terdapat tiga negara: Afganistan, Pakistan, dan Nigeria yang masih berstatus endemis untuk penularan polio liar.
Di Indonesia, imunisasi polio sebenarnya sudah menjadi bagian dari program imunisasi dasar sejak 1982.
Sayangnya, program tersebut belum berjalan secara efektif dan belum mampu memutus penyebaran virus polio liar. Kemudian, sejak 1995 pemerintah mencanangkan kegiatan imunisasi tambahan melalui Pekan Imunisasi Nasional (PIN) Polio.
Imunisasi menjadi cara efektif untuk pencegahan infeksi polio. Pemberian vaksin polio dilakukan dengan cara ditetes ke mulut sebanyak 4 kali, yaitu pada saat bayi baru lahir dan ketika bayi berusia 2, 3 serta 4 bulan. Pencegahan diperkuat dengan imunisasi dua dosis polio suntik sebelum anak berusia 1 tahun.
Munculnya kembali kasus polio yang terjadi di Aceh diperkuat dengan temuan cakupan vaksinasi yang ternyata selama ini belum optimal. Sebelum kasus polio di Aceh muncul, KLB polio pernah terjadi di Yahukimo, Papua, pada 2018.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), cakupan imunisasi dasar di Provinsi Aceh menjadi salah satu yang terendah. Bahkan, cakupan di provinsi tersebut menurun dari tahun-tahun, 23,9% pada 2017 merosot menjadi 17,32% pada 2019.
Data Profil Kesehatan 2021 juga menunjukkan Provinsi Aceh, Papua Barat, dan Papua merupakan tiga provinsi dengan cakupan terendah imunisasi polio di Indonesia.
Read more: Bagaimana caranya agar Indonesia bisa mempertahankan status bebas polio?
Melemahnya layanan kesehatan rutin saat pandemi
Kondisi pandemi semakin membuat cakupan imunisasi terlihat memilukan. Pasalnya, prioritas program dan kegiatan difokuskan pada penanganan COVID-19.
Data Kementerian Kesehatan menunjukkan bahwa cakupan imunisasi dasar pada 2020 turun drastis. Kementerian menargetkan 92% anak-anak memperoleh imunisasi dasar pada 2020, tapi realitanya hanya 84%.
Penyebabnya adalah pembatasan mobilitas penduduk untuk memutus rantai penularan COVID-19. Puskesmas lebih memprioritaskan upaya penanganan COVID-19 sehingga layanan kesehatan rutin lainnya agak dikesampingkan. Begitu halnya dengan kegiatan posyandu sempat terhenti.
Hal tersebut berdampak pada melemahnya surveilans kesehatan masyarakat, yakni proses pengumpulan, pengolahan, analisis dan interpretasi data dan kasus dan permasalahan kesehatan secara sistemik dan terus menerus serta penyebaran informasi. Padahal, surveilans dapat menjadi ujung tombak dalam penanganan sebuah wabah.
Misinformasi dan mispersepsi terkait vaksinasi
Salah satu faktor masih rendahnya cakupan imunisasi berkaitan dengan pengetahuan, sikap, dan perilaku masyarakat. Tidak dapat dimungkiri, rendahnya cakupan imunisasi juga sangat dipengaruhi oleh maraknya misinformasi di masyarakat yang mengakibatkan timbulnya penolakan terhadap imunisasi.
Riset kami di tim kesehatan Pusat Riset Kependudukan LIPI pada 2017 mengenai cakupan imunisasi dasar di Kota Medan mengonfirmasi hal itu.
Sebanyak 5,3% dari 400 ibu dengan anak berusia di bawah 2 tahun yang menjadi responden dalam penelitian tersebut menolak untuk imunisasi anaknya. Alasan mereka beragam: kekhawatiran akan kejadian ikutan pasca imunisasi (KIPI), seperti demam, dan anggapan anak sudah memiliki antibodi alami untuk menangkal penyakit infeksi, seperti cacar dan campak.
Menariknya, gerakan antivaksin sudah berlangsung sejak lama salah satunya dipengaruhi oleh pandangan tokoh agama atau kepercayaan yang dianut di suatu wilayah.
Persepsi yang salah mengenai vaksin juga ditemukan dalam studi di Nigeria yang menyebutkan penolakan vaksin karena dianggap sebagai teori konspirasi untuk mengontrol jumlah dari etnis atau kelompok tertentu.
Pentingnya sinergi lintas sektor
Munculnya kembali kasus polio di Indonesia menunjukkan bahwa status “bebas polio” harus dipertahankan dengan upaya yang terus-menerus (berkelanjutan).
Melemahnya capaian imunisasi kesehatan dasar selama pandemi menunjukkan pentingnya inovasi pelaksanaan kegiatan, misalnya melalui kunjungan ke rumah-rumah secara berkala.
Hal ini penting untuk memastikan sistem surveilans kesehatan masyarakat berjalan optimal. Harapannya, kita bisa mendeteksi kasus-kasus baru secara dini, sekaligus meredam penularannya.
Tantangan edukasi di tengah arus informasi yang masif membuat upaya ini tidak hanya menjadi tanggung jawab sektor kesehatan, tapi juga membutuhkan peran aktif komunitas, tokoh formal dan informal (termasuk tokoh agama, tokoh adat), akademisi, serta media.
Kita perlu komitmen bersama untuk memutus rantai penularan sehingga status “bebas polio” tetap dapat dipertahankan.