Setelah sengketa bertahun-tahun lamanya, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), di bawah Susi Pudjiastuti, akhirnya mengeluarkan Keputusan Menteri yang menetapkan Teluk Benoa di provinsi Bali sebagai kawasan konservasi maritim pada Oktober lalu.
Penunjukan ini membuat Teluk Benoa tidak hanya dimanfaatkan sebagai kawasan ekonomi, tapi sebagai kawasan perlindungan. Keputusan ini disambut baik oleh para pecinta lingkungan dan juga pemuka adat di Bali yang menyatakan bahwa Teluk Benoa merupakan daerah sakral bagi umat Hindu di pulau tersebut.
Tapi tidak lama setelah mengeluarkan keputusan ini, Susi menyatakan dirinya untuk tidak bergabung dalam kabinet ini. Ini memberikan pertanyaan besar tentang bagaimana implementasi keputusan ini nantinya
Dalam perkembangan terakhir, Menteri Kelautan dan Perikanan yang baru, Edhy Prabowo, baru mengatakan masih akan mempelajari peraturan terkait Teluk Benoa dari menteri sebelumnya.
Arti keputusan itu
Keputusan Menteri Susi sebenarnya menegakkan Undang-Undang (UU) No. 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil membagi kawasan konservasi perairan ke dalam empat bentuk, yaitu kawasan konservasi perairan, kawasan konservasi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, kawasan konservasi maritim, dan sempadan pantai.
Kawasan konservasi artinya kawasan perlindungan terhadap ekosistem dan sumberdaya hayati yang terkandung di dalamnya. Dalam kawasan konservasi, pemanfaatan sumber daya harus memenuhi kaidah-kaidah perlindungan yang berbasis daya dukung, sehingga dapat dijamin keberlanjutannya.
Tahun 2011, Teluk Benoa sudah mendapatkan status sebagai kawasan konservasi perairan, yang tidak membolehkan adanya pembangunan di luar dari fungsinya, di bawah pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Namun, dalam perkembangannya, SBY mengeluarkan peraturan yang mengubah sebagian kawasan Teluk Benoa menjadi kawasan strategis nasional untuk mempercepat pembangunan.
Dengan aturan tersebut, SBY membangun jalan tol Bali Mandara, jalan tol sepanjang 12,7 kilometer di atas sekitar 1.373 hektare kawasan Teluk Benoa, yang menghubungkan Bandara Ngurah Rai dan Nusa Dua.
Dengan keberadaan proyek itu, kawasan Teluk Benoa tidak lagi memenuhi persyaratan sebagai kawasan konservasi perairan.
Keputusan Menteri Susi membalikkan status Teluk Benoa menjadi daerah perlindungan kawasan maritim dengan seluas 1.243,41 hektare yang meliputi zona inti sebanyak 15 titik koordinat masing-masing dengan radius kurang lebih 50 sentimeter dan zona pemanfaatan terbatas.
Dari segi hukum, keputusan Susi tidak bisa membatalkan peraturan presiden yang secara hierarki berada di atas keputusan menteri.
Tapi, kita tidak perlu terjebak pada aturan hukum, karena faktanya peraturan terbaru yang dikeluarkan Susi menetapkan Teluk Benoa sebagai Kawasan Konservasi Maritim.
Menurut saya, cara terbaik adalah mengajak para pemangku kepentingan dari Teluk Benoa, baik di pusat (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Perhubungan, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, dan Kementerian Pariwisata) dan pemerintah daerah dan masyarakat serta tokoh adat untuk mendapatkan masukan bagaimana mengelola Teluk Benoa secara terpadu dan berkelanjutan berbasis konservasi.
Apa yang bisa dilakukan
Untuk Teluk Benoa, yang menjadi inti dari kawasan konservasi maritim adalah ekosistem mangrove seluas sekitar 1.100 hektare pada tahun 2017.
Zona inti dari kawasan konservasi adalah area yang masih memiliki kondisi biota alam dan fisik dalam keadaan baik dan tidak ada kegiatan manusia, serta menjadi pendukung kehidupan bagi ekosistem.
Selain zona inti, pada prinsipnya, kawasan konservasi terbagi menjadi beberapa sub-zona, yaitu zona penyangga yang mengelilingi zona inti (tugas utamanya adalah melindungi zona inti), zona pemanfaatan terbatas (misalnya, untuk penelitian), dan zona perikanan berkelanjutan.
Teluk Benoa hanya dibagi ke dalam dua zona, yaitu zona inti dan zona pemanfaatan terbatas.
Dengan demikian, zona pemanfaatan terbatas harus dikelola secara efektif dan efisien agar tidak menyebabkan degradasi pada ekosistem mangrove yang menjadi zona inti Teluk Benoa.
Misalnya, harus ada upaya agar ekosistem mangrove Teluk Benoa mendapatkan flushing (atau pembasahan tanaman dari air laut) dari air laut pada waktu pasang karena tanaman mangrove harus selalu basah setiap waktu.
Upaya penting lainnya adalah mengurangi limbah dan sampah yang berasal daratan, yang biasanya datang dari pukat yang dipasang oleh manusia hingga pembukaan lahan tanpa izin.
Mangrove memiliki peran penting bagi lingkungan dan juga manusia. Pertama, sebagai pelindung garis pantai, terutama dari abrasi dan erosi. Kedua, berfungsi sebagai filter limbah, baik cair dan padat. Ketiga, ekosistem mangrove menjadi habitat untuk memijah (mengembangbiakkan), berkembang, serta cari makan untuk biota laut (misalnya kepiting).
Dan, keempat, mangrove mempunyai kemampuan menyerap karbon sampai lima kali lebih besar ketimbang hutan di daratan sehingga krusial dalam perubahan iklim.
Potensi mangrove lainnya yang masih belum tereksplorasi antara lain untuk ekowisata, kosmetika, hingga untuk industri farmasi.
Keputusan Susi belum detail tentang bagaimana cara melindungi zona inti. Namun, apabila semua pemangku kepentingan sudah sepenuhnya sepakat tentang peruntukan Teluk Benoa sebagai kawasan konservasi maritim, maka langkah berikutnya adalah menyusun rencana pengelolaan beserta penetapan sub-zona.
Pengelolaan mangrove yang terintegrasi
Penetapan kawasan konservasi maritim tidak hanya sekadar berhenti pada keluarnya peraturan, namun harus ada rencana tata kelola yang terintegasi.
Artinya, pengelolaan mangrove yang baik dan terintegrasi tidak hanya dibebankan kepada pemerintah pusat atau pemerintah daerah, melainkan peran dari seluruh sektor, mulai swasta, masyarakat sipil hingga pemuka agama.
Apabila ekosistem mangrove bisa berkelanjutan, maka bisa memberikan manfaat bagi zona lainnya. Contohnya, zona perikanan. Para nelayan justru bisa mendapatkan ikan yang lebih karena ekosistem mangrove yang sehat.
Artikel ini diperbarui dengan tambahan informasi pengungkapan dari penulis.