Menu Close
Penyadap getah damar dari Desa Pahmongan, Kabupaten Pesisir Barat, Lampung. (Ulet Ifansasti/CIFOR), CC BY-NC-ND

Sejauh mana Perpres Perhutanan Sosial baru ampuh mengatasi masalah pengelolaan hutan Indonesia?

Pemerintah masih memiliki pekerjaan rumah untuk menambah jangkauan program perhutanan sosial hingga 7,38 juta hektare (ha) hingga tujuh tahun mendatang.

Targetnya, perhutanan sosial dapat mencapai 12 juta ha pada 2030. Sementara, per Mei 2023, baru ada sekitar 5,5 juta ha kawasan hutan negara yang dialokasikan untuk perhutanan sosial.

Perhutanan sosial adalah program pemberian izin pengelolaan hutan negara kepada warga setempat, termasuk masyarakat adat. Bentuknya bisa melalui hutan desa, hutan kemasyarakatan, hutan tanaman rakyat, hutan adat, dan kemitraan kehutanan. Sejauh ini program tersebut telah melibatkan sekitar 1,2 juta kepala keluarga.

Pemenuhan target amat penting karena perhutanan sosial terbukti manjur melestarikan ekosistem hutan (ataupun memulihkan ekosistem yang rusak) sebagai ‘paru-paru’ suatu wilayah. Pengelolaan hutan negara oleh warga juga mampu menurunkan angka kemiskinan di pedesaan. Harapannya, pembangunan berkelanjutan yang sesungguhnya dapat dirintis dari desa.

Untuk memenuhi target ini, Presiden Joko Widodo menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 28 Tahun 2023 tentang Perencanaan Terpadu Percepatan Pengelolaan Perhutanan Sosial.

Dalam Pasal 6 Perpres, pemerintah menetapkan berbagai strategi percepatan perhutanan sosial. Mulai dari penentuan skala prioritas dalam pemberian akses legal, penanganan konflik tenurial (batas tanah) dalam kawasan hutan, dan penguatan mekanisme hingga percepatan pemberian persetujuan pengelolaan hutan.

Namun, sejauh mana Perpres ini ampuh mengatasi berbagai masalah perhutanan sosial di lapangan?

Peran pusat dan daerah menjadi soal

Pelaksanaan perhutanan sosial memerlukan kolaborasi antarkementerian, lembaga, pemerintah daerah, maupun lembaga swadaya masyarakat, serta pihak lainnya yang terkait.

Warga Desa Cahaya Alam di Semende, Sumatra Selatan, berkumpul untuk membentuk Kelompok Usaha Perhutanan Sosial. (Hutan Kita Institute)

Publikasi Budi dan kolega dari IPB University di Jurnal Manajemen Hutan Tropika tahun 2021 berjudul Implementation Gap of Social Forestry Policy: The Case of HKm (Hutan Kemasyarakatan) Beringin Jaya and HTR (Hutan Tanaman Rakyat) Hajran menemukan kesenjangan antara kebijakan dan penerapan kebijakan perhutanan sosial.

Riset studi kasus perhutanan sosial di Jambi dan Lampung ini mencatat kesenjangan terjadi karena peran pemerintah dan pemerintah daerah secara langsung masih sangat kecil. Program perhutanan sosial justru terwujud akibat proses fasilitasi oleh lembaga swadaya masyarakat.

Kewenangan pemerintah dan pemerintah daerah yang diatur dalam berbagai aturan untuk memfasilitasi masyarakat, dalam praktiknya di kasus ini, belum dapat dilaksanakan secara memadai. Hal ini juga akibat sistem politik serta sentralisasi yang berjalan dengan kewenangan yang belum selaras antara pemerintah dan pemerintah daerah.

Kesenjangan tersebut sangat disayangkan karena ragam dan kapasitas jaringan yang dimiliki masyarakat sangat berbeda. Pemerintah, dalam program ini, semestinya dapat membantu masyarakat untuk menguatkan organisasi serta usaha melalui pemberdayaan.

Keberadaan Perpres haruslah bisa meredam kesenjangan tersebut.

Per Desember 2022 sudah terdapat 9.985 kelompok usaha perhutanan sosial. Seluruh kelompok peserta terbagi ke dalam usaha wanatani (35%), hasil hutan bukan kayu (14%), ekowisata (10%), kopi (10%). Sementara, sisa kelompok usaha lainnya (30%) tersebar ke usaha madu, buah-buahan, silvopastura (wanagembala), aren, rotan bambu, hingga silvofishery (perikanan di mangrove).

Namun, jumlah yang sudah mandiri atau mendekati mandiri tak sampai 1.000 kelompok. Masih banyak (sekitar 90%) kelompok yang membutuhkan pendampingan, terutama dari aparat pemerintah pusat dan daerah.

Untuk itu, secara umum, program perhutanan sosial memerlukan koordinasi dan sinergi antarpemerintah untuk memastikan setiap kelompok mendapatkan pendampingan memadai. Mereka harus bekerja dengan motivasi profesionalisme yang tinggi serta diskresi kebijakan apabila diperlukan.

Adapun profesionalisme yang dimaksud tidak melulu berarti semua kegiatan harus mematuhi aturan. Sebaliknya, apabila regulasi justru lemah karena tak sejalan dengan kondisi di lapangan, adanya kepentingan politik, atau ketidakcukupan syarat-syarat di masyarakat pengelola hutan, aparat pemerintah perlu menyiapkan jalan keluarnya.


Read more: Kerusakan hutan akibat sawit bisa dipulihkan melalui praktik "jangka benah", apa itu?


Pada intinya, walaupun kondisi tidak cukup kondusif, masyarakat perlu mendapatkan ruang untuk dapat “menyiasati” berbagai kondisi dan faktor yang kurang mendukung. Harapannya, perhutanan sosial dapat benar-benar sesuai tujuannya yaitu menyejahterakan masyarakat.

Setelah kebijakan diskresi berjalan, seiring perubahan kondisi dan waktu, prosedur normal itu dapat ditempuh. Kita dapat mengambil contoh kasus rehabilitasi hutan di Way Seputih Way Sekampung, Lampung. Kawasan hutan di daerah ini diduduki sepenuhnya oleh masyarakat.

Pada tahap awal, Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Hutan Lindung belum mempersoalkan legalitas masyarakat yang memanfaatkan kawasan hutan negara. Namun, setelah mendapatkan manfaat dari hasil rehabilitasi hutan, masyarakat sendiri langsung mengajukan permohonan perhutanan sosial sebagai tanda pengakuan mereka terhadap hutan negara.

Memperkuat aparat melalui aturan baru

Perpres Percepatan Perhutanan Sosial memandatkan penyediaan 25 ribu pendamping perhutanan sosial oleh pemerintah hingga 2030.

Muktar, salah satu warga penjaga hutan di Aceh. (Abbie Trayler-Smith/Department for International Development UK)

Amanat ini patut diapresiasi. Namun, menurut saya, pemerintah masih bisa menambah pendamping lebih banyak lagi. Salah satu alternatif tercepat yang bisa dilakukan adalah penguatan kapasitas Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) yang jumlahnya mencapai 549 unit se-Indonesia.

KPH adalah organisasi yang berwenang melakukan pengelolaan hutan mulai dari perencanaan, pemanfaatan, hingga penyuluhan dan penelitian. Karena itulah posisi KPH sangat vital lembaga negara yang paling dekat dengan masyarakat dalam melaksanakan kebijakan perhutanan sosial.

KPH dapat melakukan berbagai program penguatan kapasitas masyarakat. Misalnya, penguatan kapasitas juga mencakup tahap prapersetujuan (bisa dimulai sejak perencanaan) dan pascapersetujuan perhutanan sosial. Penguatan kapasitas untuk akses sumber daya yang dimiliki pihak lain juga bisa dilakukan untuk mengoptimalkan pemanfaatan hutan yang dikelola masyarakat.


Read more: Upaya melegalkan hutan adat Papua: antara semangat masyarakat dan hambatan regulasi


Perhutanan sosial juga menuntut kebijakan pemerintah pusat dan daerah yang lebih luwes. Harapannya, kebijakan dapat sejalan dengan kondisi yang dihadapi di lapangan.

Keluwesan ini penting karena peraturan-perundangan belum tentu sempurna, terutama bila dikaitkan dengan kondisi dan persoalan di lapangan yang beragam. Karena itulah dalam pelaksanaannya tidak dapat kaku layaknya pedoman administrasi.

Untuk melaksanakan amanat Perpres, pemerintah perlu menyediakan kebijakan teknis yang fleksibel tapi mampu mencegah manipulasi administrasi. Barangkali hal ini menjadi salah satu faktor pendukung keberhasilan percepatan perhutanan sosial.

Selain kebijakan, salah satu kunci keberhasilannya terletak pada bagaimana perencanaan operasional antarlembaga disusun dan dijalankan. Amanat seperti pembentukan kelompok kerja lintas kementerian dan lembaga mesti diterapkan secara maksimal untuk berkoordinasi, menyelaraskan, dan memadukan program-program.

Hal ini juga termasuk memastikan untuk strategi apa yang perlu ditempuh agar target perhutanan sosial pada 2030 dapat tercapai.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,800 academics and researchers from 4,948 institutions.

Register now