Menu Close
Kapal selam HMAS Otama milik angkatan laut Australia. (Sumber: Andrew/Flickr)

Selain menambah ketegangan, Pakta AUKUS bisa perburuk risiko pencemaran laut dari kapal selam nuklir

Pakta kerja sama bidang keamanan di kawasan Indo-Pasifik oleh Australia, Inggris, dan Amerika Serikat (AUKUS) yang diteken pada September 2021 memberikan akses kepada Australia untuk membangun, mengembangkan, dan mengoperasionalkan kapal selam bertenaga nuklir.

Perjanjian ini bertujuan untuk menghadang laju hegemoni Cina di kawasan Indo-Pasifik, termasuk di Laut Cina Selatan (LCS) yang menjadi kawasan sengketa dengan negara-begara ASEAN.

Akses kapal selam nuklir pada Australia menimbulkan pertentangan pendapat di antara negara-negara ASEAN. Filipina, Vietnam, dan Singapura cenderung mendukung keberadaan Pakta AUKUS karena diharapkan dapat menyeimbangkan kekuatan di kawasan LCS.

Di sisi lain, Indonesia dan Malaysia merasa keberatan karena AUKUS berisiko menimbulkan instabilitas keamanan yang mengarah pada konflik senjata nuklir.

Cina, melalui pernyataan bersama dengan Rusia, pun menyampaikan keberatannya dengan alasan AUKUS dapat mengganggu pembangunan berkelanjutan akibat risiko konflik senjata nuklir.

Namun dalih ini juga dipertanyakan mengingat sejak 2007, Beijing menempatkan kapal selam nuklirnya di Longposan, Hainan, yang secara geografis langsung mengarah pada LCS dan ASEAN. Negeri Panda dikabarkan memiliki enam kapal selam nuklir Jin-Class tipe 094. Dua di antaranya baru diserah-terimakan ke Angkatan Laut Tentara Pembebasan Rakyat (PLA-N) Cina pada 2020.

Posisi markas angkatan laut Cina di Laut Cina Selatan.

Pernyataan Cina turut mencuatkan risiko persoalan lingkungan akibat konflik nuklir di kawasan LCS. Meski demikian, sejauh ini belum ada perhatian yang serius dari AUKUS, Cina, maupun negara-negara ASEAN seputar risiko tersebut.

Ancaman kerusakan lingkungan

Sebelum adanya perjanjian AUKUS, kawasan ASEAN sebenarnya cukup banyak dilintasi kapal perang. Data Departemen Kelautan Malaysia mencatat ada sekitar 100 kapal militer asing yang melalui Selat Malaka (perbatasan Indonesia-Malaysia). Bisa jadi di antaranya terdapat kapal selam bertenaga nuklir.

Foto kapal selam USS Connecticut di Pelabuhan Yokosuka, Jepang. (Sumber: USS NAVY)

Lalu-lalang kapal selam bertenaga nuklir di kawasan ASEAN juga sempat dikejutkan dengan kabar kapal selam AS, USS Connecticut, yang menabrak gunung bawah laut di perairan LCS.

Insiden tersebut tidak menimbulkan kerusakan serius, tapi harus menjadi lecut bagi negara-negara kawasan ASEAN untuk memprioritaskan isu keamanan lingkungan, terutama dari kapal selam nuklir.

Pencemaran akibat kapal selam nuklir pun pernah terjadi akibat tenggelamnya kapal selam nuklir Rusia, Kosomolets, di laut Norwegia pada 1989. Hingga sekarang, pencemaran akibat kebocoran bahan radioaktif dari reaktor nuklir kapal selam tersebut masih berlangsung.

Risiko kebocoran harus menjadi isu prioritas yang dibicarakan. Sebab, laut di kawasan ASEAN, khususnya LCS, menjadi lokasi dari sekitar 10-15% pasokan perikanan dunia. Kawasan ini juga menyimpan 3.365 jenis ikan yang menjadi penopang kehidupan sekitar 3,9 juta penduduk kawasan pesisir.

Tuna, spesies primadona sektor perikanan di kawasan Laut Cina Selatan. (Sumber:Kate/Unsplash)

Selain urusan perikanan, LCS juga merupakan wilayah gugusan karang yang menjadi ruang hidup bagi 571 spesies biota maritim. Potensi biodiversitas ini terbesar di dunia dan menjadi tempat penyimpanan karbon yang besar guna menahan laju emisi gas rumah kaca.

Tiga bahaya kapal selam nuklir terhadap lingkungan

Kapal selam nuklir memiliki tiga risiko yang mengancam kelestarian lingkungan, yaitu teknis, strategis, dan alam.

Risiko teknis muncul karena kurangnya perawatan dan lemahnya struktur reaktor dalam kapal selam. Hal ini akan berujung pada potensi Loss of Coolant Accident (LOCA) sehingga bahan bakar nuklir mengalami pemanasan berlebihan (overheat) dan meleleh sehingga reaktor gagal berfungsi. Ini dapat menyebabkan kebocoran radiasi. LOCA cukup umum dijumpai pada kapal selam nuklir dari era Soviet.

Sedangkan risiko strategis terkait dengan kapasitas kapal selam untuk membawa bahan-bahan peledak seperti torpedo, roket, dan rudal balistik (berhulu ledak nuklir maupun non-nuklir). Hal tersebut dapat menyebarkan kontaminasi radioaktif di laut jika kapal selam nuklir tersebut hancur karena menjadi sasaran tembak pihak lawan.

Adapun risiko ini diperkuat hasil analisis ilmuwan nuklir dari Princeton University, Zia Mian, yang terbit pada 2019. Zia mencatat ada sekitar 1.448 kapal selam tenggelam akibat konflik selama 1774-1985.

Terakhir adalah risiko alamiah yang timbul karena kawasan dasar laut di wilayah ASEAN belum terpetakan secara komprehensif. Ini terjadi saat USS Connecticut yang menabrak gunung bawah laut.

Risiko alamiah lainnya berasal dari potensi tsunami yang cukup besar di LCS karena lokasinya di wilayah cincin api.

Langkah yang dapat dilakukan

Pertemuan Komite ASEAN dengan Deputy Secretary of State Amerika Serikat, Wendy Sherman, di Washington pada Desember 2021. (Sumber: Freddie Everett/US State Department)

Negara-negara ASEAN perlu memikirkan serius pada perlindungan lingkungan di kawasan tersebut. Salah satu cara dengan merintis kesepakatan Kawasan Bebas Nuklir ASEAN Southeast Asian Nuclear Free Zone (SEANNFZ).

Para perumus dapat mencontoh regulasi serupa yang berlaku di Selandia Baru melalui New-Zealand Nuclear Free Zone Act tahun 1987 (NZNFZA 1987) yang ‘membatasi’ pergerakan kapal selam nuklir di wilayah perairan pedalaman, dan laut teritorialnya.

Inisiasi regulasi ini sekaligus menjadi revisi atas kesepakatan Southeast Asian Nuclear-Weapon Free Zone (SEANWFZ) yang diteken pada 1995. Sebab, instrumen hukum ini tidak bisa dikenakan pada kapal selam nuklir lantaran tidak tergolong senjata nuklir. Apalagi, Australia bukan tergolong negara pemilik senjata nuklir, dan juga tidak ‘diundang’ sebagai negara penandatangan kesepakatan SEANWFZ.

Upaya lainnya adalah komunikasi serius dengan dunia internasional untuk merumuskan kembali batasan-batasan yang sudah termuat dalam hukum laut. Misalnya, Konvensi Hukum Laut Internasional (The United Convention on the Law of the Sea 1982 atau UNCLOS) mengecualikan yurisdiksi perlindungan dan pelestarian lingkungan laut oleh negara pantai terhadap kapal-kapal militer, termasuk kapal selam nuklir, berdasarkan Pasal 236 UNCLOS.

Batasan lainnya adalah Pasal 45 UNCLOS yang menyatakan negara pantai tidak bisa menghalangi atau menangguhkan hak lintas damai di kawasan selat yang digunakan sebagai jalur navigasi perairan internasional.

Selain inisiatif di atas, negara-negara ASEAN juga harus membangun komunikasi politik yang intensif untuk mencegah tindakan-tindakan yang dapat mengarah pada bencana nuklir di laut.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 183,100 academics and researchers from 4,950 institutions.

Register now