Menu Close

‘Sembilan bulan dan masih gagal’: apa yang salah dalam penanggulangan COVID-19 di Indonesia dan apa yang harus dilakukan

Seorang laki-laki tua yang tidak memakai masker melintasi sebuah mural yang menganjurkan pemakaian masker di Jakarta. Pekan lalu, Indonesia mencetak rekor kasus COVID-19 dalam sehari 6.267 kasus. ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat/aww.

Artikel ini adalah bagian dari seri ‘Sembilan Bulan Pandemi COVID-19 di Indonesia’

Setelah sembilan bulan berjuang melawan pandemi COVID-19, upaya penanggulangan di Indonesia - negara dengan penduduk terpadat di Asia Tenggara - belum menunjukkan tanda-tanda keberhasilan.

Setelah kasus COVID-19 pertama diumumkan pada Maret 2020, situasi pandemi di Indonesia terus memburuk.

Jumlah kasus harian mengalami peningkatan dan Indonesia terus mencatatkan rekor-rekor baru terlepas dari upaya penanggulangan yang telah dilakukan oleh pemerintah mulai dari pembatasan sosial sampai pada pelaksanaan parsial lockdown di beberapa wilayah di Indonesia.

Minggu lalu, Indonesia kembali mencatat rekor jumlah kasus harian yaitu 6.267 kasus. Rekor tersebut hanya berselang lima hari dari rekor sebelumnya, 5.534 kasus.

Saat ini, total kasus COVID-19 di Indonesia sudah mencapai 534.266 orang, dan tersebar di lebih dari 95% kabupaten/kota di Indonesia. Angka tersebut diprediksi masih lebih rendah dibandingkan dengan situasi riil di lapangan karena terbatasnya jumlah tes. Namun demikian, jumlah kasus di Indonesia adalah yang tertinggi di Asia Tenggara.

Angka kematian akibat COVID-19 di Indonesia telah mencapai 3,1%, jauh lebih tinggi dibandingkan dengan angka kematian dunia yang 2,4%.

Kami mengkaji tiga kelemahan utama dalam upaya penanggulangan COVID-19 di Indonesia dalam rentang sembilan bulan terakhir, dan merekomendasikan langkah-langkah yang dapat dilakukan.

1. Respons yang lambat

Respons yang cepat, khususnya pada fase awal pandemi, telah terbukti efektif di berbagai negara.

Respons cepat yang dilakukan oleh pemerintah Cina, Mongolia, Selandia Baru, dan Uruguay pada fase awal pandemi telah berhasil menekan laju penularan COVID-19. Langkah-langkah yang mereka ambil termasuk membatasi penerbangan internasional, menutup fasilitas umum, mengisolasi kasus positif, penelusuran kontak dan tes, serta kampanye besar-besaran penggunaan masker dan praktik cuci tangan.

Upaya penanggulangan dari negara-negara tersebut menunjukkan bahwa respons yang cepat dapat melandaikan kurva pandemi dan mencegah peningkatan kasus secara eksponensial. Hal ini memungkinkan pemerintah untuk menyiapkan sistem kesehatan untuk mengatasi lonjakan kasus pada hari-hari berikutnya.

Indonesia gagal dalam melakukan upaya penanggulangan cepat pada fase-fase awal pandemi. Pada saat berbagai negara telah menerapkan penutupan wilayah dan pembatasan sosial sejak awal pandemi, pemerintah Indonesia memilih untuk mengabaikan ancaman COVID-19. Pemerintah Indonesia lebih mengutamakan langkah-langkah penyelamatan ekonomi.

Selanjutnya, ketika banyak negara tengah bersiap secara hati-hati untuk kembali membuka diri dari fase lockdown, pemerintah Indonesia justru secara prematur membuka ekonomi melalui implementasi kenormalan baru.

Namun demikian, ekonomi Indonesia tetap terpukul keras. Sejalan dengan perkembangan ekonomi dunia, pandemi COVID-19 mengguncang keras ekonomi Indonesia.

Sedikitnya 6,4 juta penduduk Indonesia telah kehilangan pekerjaan akibat COVID-19 sampai dengan Oktober 2020. Hasil survei terbaru yang melibatkan 5.000 pencari kerja menemukan bahwa 35% pekerja dipecat dan 19% dirumahkan sementara akibat COVID-19.

Indonesia tengah memasuki resesi. Sedikitnya terdapat 1,64 juta penduduk miskin baru akibat COVID-19 pada akhir Juli 2020, dan jumlah ini diprediksi akan mencapai 8,5 juta pada akhir 2020.

2. Strategi mobilisasi sumber daya kesehatan yang tidak efektif

Pandemi COVID-19 telah meningkatkan kebutuhan terhadap layanan kesehatan perseorangan dan upaya kesehatan masyarakat. Banyak negara, terutama negara-negara berpenghasilan rendah dan sedang, mengalami kesulitan untuk memenuhi kebutuhan tersebut dengan keterbatasan sumber daya kesehatan.

Kondisi geografis Indonesia sebagai negara kepulauan, ditambah dengan ketimpangan akses layanan kesehatan antara wilayah timur dan barat Indonesia, sangat menyulitkan upaya alokasi dan distribusi sumber daya kesehatan.

Selama periode pandemi, alat pelindung diri bagi tenaga kesehatan di wilayah timur Indonesia tidak dapat disediakan secara tepat waktu dalam jumlah yang memadai. Kondisi ini menempatkan tenaga kesehatan sebagai kelompok yang rentan untuk tertular COVID-19.

Ketimpangan serupa juga terjadi dalam hal kapasitas tes. Walaupun secara nasional jumlah tes mingguan telah mengalami peningkatan yaitu 0,903 per 1000 penduduk (hanya sedikit lebih rendah dibandingkan dengan rekomendasi Badan Kesehatan Dunia atau WHO yaitu 1,0 per 1000 penduduk), ketimpangan antara Pulau Jawa dan luar Jawa sangat terlihat.

Sampai November 2020, Jakarta, Banten dan Jawa Tengah telah berhasil mengetes sebanyak 6,9, 1,5 dan 1,4 per 1000 penduduk. Namun, ada 16 provinsi di luar Jawa yang sangat kesulitan untuk memenuhi target sesuai rekomendasi dari WHO (1,0 per 1000 penduduk).

Upaya strategis untuk meningkatkan cakupan penelusuran kontak dan tes sangat diperlukan, baik di fasilitas layanan primer, klinik dan rumah sakit. Tes harus diprioritaskan untuk kepentingan pelacakan kasus. Tanpa fasilitas pelacakan digital yang andal dan yang dimanfaatkan secara luas oleh masyarakat, model pelacakan berbasis komunitas - melalui pemberdayaan relawan COVID-19 dan warga yang dipimpin oleh puskesmas, dapat menjadi solusi untuk meningkatkan cakupan pelacakan dan tes.

3. Terbatasnya partisipasi masyarakat

Peran komunitas sangat vital dalam penanggulangan kebencanaan termasuk pandemi COVID-19 bagi Indonesia dengan struktur masyarakat yang kolektif.

Sampai saat ini, pemerintah Indonesia telah gagal dalam mengkomunikasikan risiko dan langkah pencegahan secara efektif. Yang muncul justru tidak konsistensinya pemerintah dalam menerapkan kebijakan baik di tingkat pusat ataupun daerah. Misalkan, terkait dengan lemahnya implementasi kebijakan pembatasan sosial berskala besar.

Pemerintah perlu secara aktif melibatkan masyarakat. Sistem komunitas dapat membantu pemerintah dalam mengidentifikasi kebutuhan khusus dari masyarakat lokal dan kelompok-kelompok rentan. Kelompok rentan seperti keluarga miskin atau masyarakat yang tinggal di pemukiman kumuh ibu kota, membutuhkan dukungan khusus yang tepat sasaran.

Kelompok-kelompok tersebut harus dijangkau secara efektif oleh program bantuan sosial dari pemerintah. Mereka adalah lapisan masyarakat yang tidak saja lebih rentan untuk tertular virus, namun juga cenderung untuk tidak mematuhi protokol kesehatan karena alasan ekonomi.

Sistem komunitas berperan penting untuk menjembatani antara kepentingan pemerintah dan kebutuhan kelompok rentan. Sistem komunitas dapat mempromosikan upaya penanggulangan COVID-19 yang dicanangkan oleh pemerintah, membantu proses distribusi bantuan sosial, serta menerapkan model pengawasan berbasis masyarakat untuk menekan risiko transmisi lokal.

Integrasi antara sistem kesehatan masyarakat dengan penguatan partisipasi masyarakat dapat membantu kelompok rentan untuk melindungi kesehatan mereka. Misalkan saja, proses pendampingan keluarga miskin terkait pemenuhan kebutuhan pokok selama masa isolasi melalui program bantuan sosial dari lembaga swadaya masyarakat ataupun dukungan pemerintah, dan menjamin bahwa bantuan dapat dinikmati langsung oleh masyarakat miskin.

Pemerintah dapat mengadopsi model dukungan sosial berbasis masyarakat untuk mengidentifikasi dengan tepat kebutuhan khusus kelompok-kelompok rentan. Pemerintah dapat memanfaatkan sistem tersebut untuk proses penyaluran bantuan sosial sehingga menjadi lebih tepat sasaran. Jangka panjang, adopsi sistem tersebut dapat mendorong kohesi sosial, mengurangi fragmentasi sosial dan menguatkan jaringan sosial untuk mengerahkan masyarakat apabila terjadi bencana atau kondisi gawat darurat pada masa datang.

Sangat penting bagi kita untuk kembali pada hal yang mendasar yaitu penerapan secara berkelanjutan penggunaan masker dan praktik cuci tangan yang baik oleh seluruh warga Indonesia. Pemerintah membutuhkan dukungan dari segala lapisan masyarakat untuk menjamin bahwa seluruh warga negara Indonesia mematuhi upaya pencegahan tersebut.

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,100 academics and researchers from 4,941 institutions.

Register now