Menu Close

Seperti para pendiri Budi Utomo, para dokter menyerukan persatuan - kini melawan COVID-19

Antara/Fauzan/hp

Kegagalan Indonesia menahan COVID-19 dan sekarang menjadi salah satu episentrum pandemi berdampak besar pada tenaga medis Indonesia. Lebih dari 600 dokter telah meninggal. Lebih dari 500 perawat, 300 bidan, dan puluhan apoteker, dokter gigi, dan pekerja laboratorium meninggal. Petugas kesehatan bekerja berjam-jam sambil kurang tidur dan kelelahan.

Di tengah tantangan yang semakin berat ini, para guru besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia bulan lalu menyerukan seluruh tenaga kesehatan, pemerintah dan masyarakat umum untuk bersatu padu melawan COVID-19.

Sebagai sejarawan sains, saya mempelajari sejarah kedokteran di Hindia Belanda. Seruan para guru besar itu mengingatkan saya pada bahasa yang digunakan oleh para dokter dan mahasiswa kedokteran Indonesia pada masa penjajahan.

Dedikasi dokter dan tenaga kesehatan lainnya saat ini untuk melawan COVID-19 dan melindungi kesehatan bangsa serupa dengan komitmen dokter dan mahasiswa kedokteran Indonesia di zaman kolonial.

Melawan COVID-19 melawan segala rintangan

Sistem kesehatan Indonesia kewalahan dan di banyak tempat hampir kolaps. Persediaan oksigen dan alat pelindung diri terbatas. Sudah beberapa lama, dokter ko-as dan yang baru lulus direkrut untuk bekerja di garis depan, awalnya tanpa bayaran.

Banyak orang yang isolasi mandiri di rumah tidak mendapat perawatan medis. Beberapa mati dalam kesendirian.

Sekarang, kita semua akrab dengan gambar-gambar yang muncul hampir setiap hari di surat kabar: banyak kuburan baru dibuka dengan cepat untuk menguburkan para korban, rumah sakit yang penuh membuka tenda untuk menyediakan lebih banyak tempat tidur, dan pekerja kesehatan yang terlalu banyak bekerja, kelelahan. Jumlah tragedi individu tidak ada habisnya. Hampir setiap saat ada informasi kematian di media sosial.

Tenda darurat untuk perawatan pasien COVID-19 di Rumah Sakit QIM di Batang, Jawa Tengah. ANTARA FOTO/Harviyan Perdana Putra/hp

Di tengah segala rintangan, dokter dan mahasiswa kedokteran Indonesia menunjukkan komitmen dan dedikasinya terhadap kesehatan bangsa.

Mereka melakukan ini meski persediaan alat pelindung, obat-obatan, dan peralatan medis dari pemerintah tidak mencukupi.

Mereka juga harus menjalankan tugas di tengah pusaran rumor dan hoaks yang menimbulkan ketakutan, kecemasan, ketidakpercayaan, dan kecurigaan publik. Beberapa unggahan media sosial mengklaim bahwa orang terinfeksi COVID-19 di rumah sakit. Petugas kesehatan kerap diusir dari desa. Orang-orang takut anggota keluarga mereka yang sakit dibawa pergi dan mereka tidak akan diizinkan melakukan ritual keagamaan ketika mereka meninggal.

Dokter Indonesia tidak selalu dihargai. Orang yang punya uang lebih lebih suka mencari perawatan medis di Singapura atau Malaysia. Masyarakat Indonesia sering mengeluhkan mahalnya biaya perawatan medis, mahalnya biaya dokter di praktik swasta, dan kurangnya rasa hormat yang mereka terima di rumah sakit umum.

Namun melalui dedikasi dan komitmen mereka, para dokter Indonesia saat ini menunjukkan dedikasi yang sama yang memotivasi rekan-rekan mereka pada masa kolonial.

Konon kebangkitan nasional Indonesia dimulai dengan berdirinya perkumpulan pemuda Budi Utomo pada 20 Mei 1908. Sejak itu, para dokter dan mahasiswa kedokteran ikut serta dalam gerakan kebangsaan Indonesia, sering menduduki posisi kepemimpinan. Mereka memainkan peran penting dalam mewujudkan kemerdekaan.

Warisan dokter Indonesia

Dalam buku saya Merawat Bangsa: Sejarah Pergerakan Para Dokter Indonesia, saya berpendapat bahwa dokter dan mahasiswa kedokteran Indonesia memiliki motivasi untuk merawat bangsa, terlepas dari dedikasi mereka untuk merawat pasien mereka.

Pendiri Budi Utomo percaya bahwa perawatan medis akan mengarah pada perbaikan, seperti halnya pendidikan dan peningkatan standar hidup. Mereka mendesak pelajar Indonesia dan orang Indonesia terpelajar (yang saat itu sangat sedikit) untuk bersatu terlepas dari perbedaan etnis untuk meningkatkan hajat hidup masyarakat Indonesia.

Beberapa dokter dan mahasiswa kedokteran Indonesia bergabung dengan gerakan kebangsaan Indonesia antara tahun 1908 dan 1942. Gerakan ini memiliki berbagai tujuan, dari memberikan bantuan bencana, mendirikan sekolah dan klinik hingga membentuk partai politik dan memperjuangkan kemerdekaan. Para peserta gerakan nasionalis Indonesia menyadari bahwa mereka perlu bersatu untuk mencapainya.

Semua harus terlibat

Menurut data Organisasi Kesehatan Dunia, Indonesia hanya memiliki 4,65 dokter per 10.000 orang. Sebagai perbandingan, di Australia angka ini 37,6.

Namun seperti yang disampaikan Ova Emilia, Dekan Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan Universitas Gadjah Mada, minimnya jumlah dokter bukanlah masalah utama yang harus diatasi dalam memenangkan perang melawan COVID-19.

Krisis seperti pandemi COVID-19 perlu dilawan dengan pendekatan yang tegas dan kooperatif yang melibatkan pemerintah (daerah dan pusat), lembaga pendidikan, infrastruktur, logistik, dan masyarakat lokal. Sektor politik, ekonomi dan budaya semua harus terlibat.

Saat ini, para dokter terkemuka Indonesia mengajak seluruh masyarakat Indonesia untuk menjadi bagian dari gerakan universal. Pada masa darurat COVID ini, kesehatan harus menjadi prioritas nasional.

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,500 academics and researchers from 4,943 institutions.

Register now