Menu Close

Setelah memiliki bayi, bisakah kita tetap berteman dengan orang yang belum punya anak?

A mother holds a sleeping baby.
Helena Lopes/Pexels

Ketika sudah mempunyai bayi, apakah ini berarti kita tidak bisa lagi berteman dengan teman yang tidak memiliki anak?

Dalam artikel terkenal di majalah New Yorker edisi September, jurnalis Allison Davis menulis tentang retaknya persahabatan setelah ada bayi sebagai “pergeseran tektonik yang berjalan lambat, yang awalnya tidak ada pihak yang memperhatikan (terutama orang tua)”.

Hal ini menciptakan kita vs. mereka. Di satu sisi: People With Kids (PWIKS: letih, teralihkan, membosankan, kaku, kotor; tidak bisa bicara tentang film, hanya tentang betapa mereka berharap punya waktu untuk menontonnya). Dan di sisi lain: People Without Kids (PWOKS: hanya peduli dirinya sendiri, penuntut, pencari perhatian, pemarah terhadap ketidaknyamanan hidup padahal hidupnya sendiri baik-baik saja).

Davis juga mengacu pada penelitian di Belanda tahun 2017 yang menemukan penurunan kontak dengan teman setelah memiliki anak. Penurunan ini semakin besar ketika orang tua mempunyai anak pada masa awal kehidupannya.

TikTok juga penuh dengan cerita serupa, yang menggambarkan anak-anak sebagai hal yang mengakhiri persahabatan.

Mengapa demikian? Adakah cara untuk melindungi kita dan sahabat kita dari hal ini?

Bayi adalah perubahan besar

Memiliki bayi adalah tahapan kehidupan baru yang tiada duanya. Kehamilan tidak hanya disertai dengan peningkatan hormon baru, tetapi menjadi orang tua juga membawa ketidakpastian yang besar.

Ketika kita berada dalam keadaan seperti itu, kita sering mencari jangkar – untuk membantu menciptakan rasa kendali. Sehingga orang tua baru sering merujuk ke orang tua lain yang memiliki bayi dengan usia serupa.

Hal ini dapat dengan cepat menciptakan perasaan in-group/out-group. Teman-teman tanpa bayi dapat segera merasa menjadi bukan bagian dari kelompok (out-group). Mereka tidak punya cerita untuk dibagikan tentang bagaimana bayi tidur, buang air besar, atau makan. Kurangnya pengalaman yang sama untuk dibagi ini dapat berdampak pada persahabatan.

Selain itu, orang tua sering kali tidak punya apa-apa lagi untuk diberikan setelah seharian mengasuh anak. Mereka juga tidak mampu melakukan beberapa hal yang biasa mereka lakukan sebelumnya, seperti keluar rumah hingga larut malam atau bersosialisasi tanpa anak-anak mereka.

Mampir tiba-tiba tanpa rencana juga tidak dimungkinkan lagi karena bayi mungkin sedang tidur dan kunjungan yang tidak direncanakan dapat mengganggu rutinitasnya.

Akibatnya, teman tanpa anak bisa merasa diabaikan tanpa memahami sepenuhnya bahwa ini bukan tentang mereka.

A woman lies on a bed, holding a sleeping newborn.
Orang tua baru umumnya merasa kelelahan dan tidak bisa sering keluar rumah seperti dulu. RDNE Stock Project/Pexels

Mungkin ada hal-hal sensitif yang baru

Seperti yang Davis tulis di artikelnya, teman yang tidak memiliki anak juga bisa mengalami kesedihan jika mengalami ketidaksuburan. Dalam keadaan seperti ini, akan sangat sulit untuk berada di dekat wanita yang sedang hamil, atau dengan seorang anak.

Urusan memiliki anak, serta stres dan ketidakpastian yang menyertainya, juga dapat menyebabkan orang tua baru tidak selalu mengetahui apa yang mereka butuhkan sehingga tidak bisa (atau tidak mau) memintanya. Sebaliknya mereka cenderung mencari kenyamanan dan kepastian dari orang tua lain.

Jadi ekspektasi dalam sebuah persahabatan bisa berubah – tapi hal ini mungkin tidak selalu dikomunikasikan dengan jelas.


Read more: Bluey casts a tender light on being childless not by choice. Here's what women told me about living with involuntary childlessness


Bagaimana cara mempertahankan teman lama?

Jika persahabatan lama masih layak dipertahankan, apa yang dapat dilakukan orang tua baru untuk membantu melindungi hubungan ini dari kedatangan bayi?

Pertama-tama cobalah untuk mengobrol dengan sahabatmu sebelum bayinya lahir – berkomitmenlah untuk membicarakan perubahan yang mungkin terjadi dalam persahabatan. Bicarakan kekhawatiranmu dan bagaimana kamu dan sahabatmu dapat melakukan pendekatan yang berbeda setelah ada bayi meskipun hal itu masih mungkin berubah.

Two women sit on a bench at a bar, drinking and laughing.
Memiliki bayi berarti lebih susah untuk untuk saling bertemu dan berbagi kabar seperti dulu. Elevate/Pexels

Saat bayi lahir, sampaikan sejelas mungkin apa yang kamu butuhkan dan apa yang akan kamu lakukan (misalnya, “Maaf, aku tidak bisa makan malam, aku benar-benar kelelahan, tetapi aku ingin segera bertemu denganmu.”).

Teruslah mencoba untuk berinteraksi dengan temanmu sesuai dengan keinginannya (setidaknya kadang-kadang). Kamu mungkin sedang mengalami peristiwa besar dalam hidup, namun kehidupan temanmu juga masih berlangsung, jadi tanyakan tentang pekerjaannya, permasalahannya, dan keluarganya.

Untuk teman yang tidak memiliki anak, tawarkan sesuatu yang membuat hidup orang tua baru lebih mudah atau menyenangkan seperti mengantarkan makanan, atau meninggalkan perbekalan di depan pintu. Tunjukkan bahwa kamu paham hidup mereka telah berubah. Periksa kapan waktu terbaik untuk menawarkan bantuan, kirim pesan tanpa mengharapkan balasan cepat. Ketika anak-anak sudah besar, tawarkan untuk mengasuh atau menjaga mereka sebentar.

Berusahalah juga untuk menunjukkan bahwa kamu tertarik pada bayi tersebut - belilah hadiah, tanyakan bagaimana kabar bayinya.

Kuncinya adalah kedua sisi perlu mengakui bahwa akan ada atau telah terjadi perubahan – dan bahwa segala sesuatunya mungkin sulit dan menantang.

Namun, jika kamu saling berbicara dan terus berusaha memahami kebutuhan masing-masing, kalian berdua akan tetap memiliki peran dalam kehidupan satu sama lain sebagai sahabat.


Read more: Friday essay: how philosophy can help us become better friends


This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,600 academics and researchers from 4,945 institutions.

Register now