Menu Close

Siapa itu Allah? Memahami Allah dalam Islam

siapa itu Allah
Umat muslim sering menyebut nama Allah di dalam segala aktivitas dan tempat peribadahan mereka. Siapa itu Allah?

Pernyataan kesaksian ketika seseorang masuk Islam atau syahadat memuat perkataan, “Tidak ada tuhan selain Allah”.

Umat Islam percaya bahwa Allah menciptakan dunia dalam enam hari dan mengutus para nabi seperti Nuh, Ibrahim, Musa, Daud, Isa, dan terakhir Muhammad, yang menyerukan kepada manusia untuk menyembah hanya kepada-Nya dan menolak penyembahan berhala dan lebih dari satu Tuhan.

Kata Islam, yang berarti berserah diri, pada awalnya bukanlah nama agama yang didirikan oleh Muhammad. Ini merujuk pada agama asli seluruh umat manusia dan bahkan alam semesta–yang seperti kita, diciptakan untuk mengabdi kepada Allah.

Para nabi dan para pengikutnya semuanya adalah Muslim (orang yang tunduk kepada Allah), meskipun umat Islam cenderung mencampuradukkan makna umum dan khusus dari kata Islam dan Muslim.

Beberapa nabi menerima kitab suci dari Allah, terutama Taurat untuk Musa, Zabur untuk Daud, dan Injil untuk Isa. Namun, pesan dan kitab-kitab mereka dalam perkembangannya menjadi rusak atau hilang.

Ajaibnya, Al-Quran (yang berarti bacaan) yang diwahyukan kepada Muhammad sebagai firman Allah - tidak akan mengalami nasib seperti itu, sehingga tidak perlu lagi nabi atau wahyu.

Mengenal nama-nama Allah

Al-Quran menyebut Allah sebagai Tuhan semesta alam. Tidak seperti Yahweh dalam Alkitab (terkadang disalahartikan sebagai Yehuwa), Allah tidak memiliki nama pribadi.

Sementara, ada 99 nama Tuhan (asmaul husna) yang dimaksud sebenarnya adalah julukan.

Nama-nama tersebut termasuk Sang Pencipta (Al-Khaliqu), Yang Maha Merajai/Memerintah (Al-Maliku), Yang Maha Perkasa (Al-Azizu), dan Yang Maha Melihat (Al-Bashîru). Dua gelar penting Allah muncul dalam sebuah frasa yang biasanya mengawali teks: Bismillah, Ar-Rahman, Ar-Rahim (Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang).

Allah juga adalah Penguasa Hari Pembalasan (Maliki yaum al-din), ketika orang-orang baik, terutama orang beriman akan mendapatkan ganjaran surga, dan orang-orang jahat, terutama orang-orang kafir akan dikirim ke api neraka.

Muslim mengklaim menolak gambaran antropomorfis (seperti manusia) tentang Allah, tapi Al-Quran menggambarkan Dia seolah-olah berbicara, duduk di singgasana, dan memiliki wajah, mata, dan tangan.

Tidak ada yang bisa terjadi kecuali disebabkan atau setidaknya diizinkan oleh Allah. Jadi, ketika merencanakan apapun, umat Islam biasanya mengatakan Insya Allah.

Jika segala sesuatu berjalan dengan baik, seseorang akan mengatakan ma sya Allah (jika Allah mengizinkan), tapi dalam keadaan apa pun, seseorang dapat mengatakan al-hamdu li-llah (segala puji bagi Allah). Dalam doa-doa mereka dan pada kesempatan lain (termasuk pertempuran dan protes di jalanan), umat Islam menyatakan bahwa Allah lebih besar dari apapun (Allahu akbar).

Allah dan tuhan dalam Alkitab

Allah biasanya diartikan sebagai “tuhan” (al-ilah) dalam bahasa Arab dan mungkin serumpun dengan kata Alaha dalam bahasa Aram. Semua Muslim dan sebagian besar orang Kristen mengakui bahwa mereka percaya kepada tuhan yang sama meskipun pemahaman mereka berbeda.

Orang Kristen yang berbahasa Arab menyebut Tuhan sebagai Allah. Alkitab Gideon, yang mengutip Yohanes 3:16 dalam berbagai bahasa, menegaskan bahwa Allah mengutus anaknya ke dunia.

Berbicara kepada orang Kristen dan Yahudi, Al-Quran menyatakan, “Tuhan kami dan Tuhanmu adalah satu” (29:46). Nama Allah dan Ar-Rahman jelas digunakan oleh orang-orang Yahudi dan Kristen pra-Islam untuk Tuhan. Al-Quran (5:17-18) bahkan mengkritik orang-orang Kristen karena menyamakan Allah dengan Kristus. Orang-orang Yahudi maupun Kristen menyebut diri mereka sebagai anak-anak Allah.

Allah bukanlah trinitas yang terdiri dari tiga pribadi dan tidak pula memiliki anak yang berinkarnasi (menjadi manusia). Oleh karena itu, beberapa orang Kristen menyangkal bahwa Allah adalah tuhan yang mereka akui. Namun, mereka tampaknya yakin bahwa orang Yahudi menyembah Tuhan yang sama meskipun mereka juga menolak trinitas dan inkarnasi.

Mengatakan bahwa Tuhan dalam Al-Quran dan Tuhan dalam Alkitab adalah Tuhan yang berbeda. Ini sama halnya dengan mengatakan bahwa Yesus dalam Perjanjian Baru dan Yesus (Isa) dalam Al-Quran (yang tidak suci dan tidak disalibkan) adalah pribadi-pribadi bersejarah yang berbeda. Beberapa orang akan menjawab bahwa meskipun ada perbedaan penafsiran tentang Yesus yang satu, Tuhan dan Allah memiliki asal-usul yang berbeda.

Asal-usul agama dengan banyak Tuhan

Sesungguhnya, Allah telah dikenal oleh penganut politeisme (agama dengan banyak Tuhan) sebelum turunnya wahyu Al-Quran. Ayah Muhammad sendiri, yang meninggal sebelum Nabi lahir, dipanggil Abdullah (hamba Tuhan).

Namun argumen bahwa Allah tidak mungkin menjadi Tuhan karena pada awalnya dia adalah bagian dari satu sistem agama politeisme mengabaikan asal-usul monoteisme Yahudi (dan turunannya dalam agama Kristen dan Islam).

Para penulis Alkitab menyamakan dewa tinggi Kanaan, El, dengan Tuhan mereka sendiri, meski pada awalnya El memimpin sebuah panteon (dewa-dewa) yang besar. Bentuk jamaknya, ‘elohim’, yang terkait erat dengan El lebih sering digunakan dalam Alkitab. Keduanya berakar dari rumpun bahasa Semitik yang maknanya mirip dengan Allah.

El dan elohim, theos dalam Perjanjian Baru (yang berarti teologi), deus dalam bahasa Latin (yang berarti deisme), dan god dalam bahasa Jerman pra-Kristen, semuanya dapat merujuk kepada Tuhan Yudeo-Kristen dan makhluk-makhluk gaib lainnya.

Jadi, pemahaman Yahudi, Kristen, dan Islam tentang ketuhanan sebenarnya berasal dari konteks politeistik. Namun, sama seperti Yahudi dan Kristen tradisional, umat Islam percaya bahwa agama manusia pertama, Adam dan Hawa, adalah monoteistik. Karena agama ini telah berubah menjadi agama dengan banyak Tuhan, Allah mengutus para nabi yang mengajarkan bahwa hanya ada satu Tuhan.

Gagasan dalam Islam bahwa Ibrahim sebagai orang yang kembali menemukan monoteisme dan menolak penyembahan berhala mirip dengan gagasan “Abraham” dari agama Yahudi. Oleh karena itu, Muhammad berusaha untuk mengembalikan monoteisme Abraham yang otentik, yang bahkan orang Yahudi dan Kristen pun diduga telah menyimpang.

Tuhan sebagai konstruksi manusia

Sekalipun Abraham pernah hidup, yang hal ini masih diragukan, dia mungkin berada pada awal milenium kedua sebelum Masehi. Akan tetapi, para sejarawan dan arkeolog yang kritis berpendapat bahwa monoteisme baru berkembang pada masa Pembuangan bangsa Israel ke Babel (Babilonia) - pada lebih dari seribu tahun kemudian.

Alasan mengapa ada konsepsi yang berbeda tentang Tuhan dan dewa-dewa tentu saja bukan karena manusia telah menyimpang dari wahyu yang asli.

Keyakinan-keyakinan ini adalah konstruksi dan rekonstruksi manusia yang mencerminkan rasionalisasi, harapan, ketakutan, dan aspirasi kita sendiri.

Hal tersebut tercermin dari upaya-upaya dari kelompok-kelompok tertentu untuk mempertahankan identitas mereka, atau bahkan menegaskan hegemoni mereka terhadap kelompok lain dengan alasan bahwa mereka telah dipilih secara unik oleh Tuhan dengan wahyu yang otentik.

Tampaknya itulah alasan mengapa beberapa orang Kristen menyangkal bahwa Allah hanyalah nama lain dari Tuhan. Hal ini juga menjelaskan upaya-upaya umat Muslim di Malaysia untuk mencegah umat Kristen menyebut Tuhan sebagai Allah karena takut bahwa melegitimasi pemahaman Kristen tentang Allah akan mengancam dominasi Islam di negara mereka.


Demetrius Adyatma Pangestu dari Universitas Bina Nusantara menerjemahkan artikel ini dari bahasa Inggris.

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,500 academics and researchers from 4,943 institutions.

Register now