Menu Close

Siapkah Indonesia jadi negara maju pada 2045? Sumber daya manusia terbukti masih jadi sandungan

Indonesia Negara Maju 2045.
Misi Indonesia jadi negara maju pada 2045 perlu didukung sumber daya manusia yang mumpuni. Tatohra/shutterstock

Berbagai riset internasional meramalkan bahwa dalam dua dekade ke depan, Indonesia akan tumbuh menjadi negara maju. Indonesia diprediksi memiliki jumlah populasi kurang lebih 324 juta penduduk dengan basis konsumsi yang besar–sebuah pasar yang potensial.

Akan tetapi, agar ambisi menjadi negara maju ini tercapai, realitas yang ada pun mesti mendukung. Pemerintah menyebut bahwa produk domestik bruto (PDB) Indonesia, misalnya, harus mencapai US$9,1 triliun (Rp 136,6 triliun) yang turut diimbangi kenaikan pendapatan per kapita. Artinya, Indonesia harus bisa menjaga pertumbuhan ekonominya di kisaran 6% sampai tahun 2045.

Untuk mendukung hal ini, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional Republik Indonesia/BAPPENAS telah melakukan diagnosis pertumbuhan pada tahun 2018. Sayangnya, hasil temuannya menunjukkan adanya permasalahan produktivitas yang mengakibatkan transisi sektor tidak berjalan dengan baik.

Menurut laporan tersebut, salah satu penentu pertumbuhan yang bisa menjadi penghambat utama (binding constraint) kemajuan Indonesia adalah sumber daya manusia.

Siapkah populasi Indonesia mengerek pertumbuhan?

Pada dasarnya, suatu negara tergolong maju ketika ia memiliki pendapatan per kapita yang tinggi, ekspor yang beragam, dan integrasi ke dalam sistem keuangan global. Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index/HDI) yang baik – mencakup pendidikan, literasi, dan kesehatan – juga kerap menjadi perhitungan.

Semua ini membutuhkan perhatian khusus pada pemerataan ekonomi dan sumber daya manusia yang piawai. Saat ini, misalnya, pendapatan per kapita bersih Indonesia–total pendapatan setahun dibagi jumlah populasi yang menggambarkan standar hidup masyarakat–telah menyentuh kisaran US$12,700 (Rp 193,41 juta). Meski ini telah melewati standar negara berpendapatan tinggi berdasarkan klasifikasi Bank Dunia, Indonesia masih bertengger di urutan keenam negara dengan ketimpangan pendapatan terbesar.

Ekspor Indonesia pun masih terkonsentrasi pada sumber daya alam, yang tentunya membutuhkan peningkatan keahlian untuk bisa melakukan diversifikasi ke sektor yang membutuhkan teknologi yang lebih kompleks. Dengan Indeks Pembangunan Manusia Indonesia yang masih berada di peringkat 130, ini bukan hal mudah.

Penelitian menemukan empat sinyal yang menunjukkan bahwa sumber daya manusia yang tersedia di suatu negara bisa menjadi penghambat pertumbuhan ekonomi nasional ke depannya.

Pertama, pendapatan pekerja yang tidak optimum, sehingga diperlukan investasi lebih besar untuk menciptakan wirausaha yang berkualitas. Kedua, perlu investasi swasta yang besar dalam mendukung pertumbuhan modal manusia. Ketiga, para pelaku ekonomi berusaha mencari solusi atau jalan pintas terhadap kurangnya keterampilan. Keempat, tidak banyak industri yang berfokus pada modal manusia, atau kontribusinya ke ekspor kurang.

Untuk melihat empat diagnosis dan sinyal ini, kita tidak bisa langsung serta merta menjiplak konsep tersebut.

Namun, kita bisa melihat masih besarnya dominasi sektor informal yang umumnya minim keterampilan dalam perekonomian Indonesia. Kecilnya upah dalam sektor informal ini membuat adanya keterbatasan dalam populasi untuk bisa menaikkan kualitas pendidikan dan keterampilan mereka.

Selain itu, untuk mengukur capaian pembelajaran, kebijakan yang ada kerap kali berubah sehingga kontinuitas program kurang terlihat. Penggantian Ujian Nasional menjadi Asesmen Kompetensi Nasional yang tujuannya menghilangkan disparitas, menunjukkan capaian literasi dan numerasi yang rendah. Indonesia memiliki rata-rata literasi 371 dibandingkan rata-rata negara OECD sebesar 487, menempatkan Indonesia nomor enam terendah nilai skornya.

Dengan disparitas yang tinggi juga–termasuk termarjinalkannya pekerja perempuan–salah satu permasalahan yang muncul adalah minimnya pekerja berketerampilan tinggi (high-skilled worker) untuk barang yang memiliki nilai ekspor yang tinggi. Kebanyakan dari pekerja terjebak di kelas menengah potensial, tanpa menunjukkan pertumbuhan menjadi kelas menengah dengan pendapatan yang tinggi.

Harus belajar apa?

Hasil temuan riset Sustainable Growth Lab yang dipaparkan dalam acara Policy Festival 2023, Think Policy Indonesia menemukan bahwa learning-adjusted years of schooling (LAYS, waktu belajar sebenarnya dari pendidikan) pelajar di Indonesia berbanding terbalik dengan dengan persentase anggaran pendidikan di daerah.

LAYS menyandingkan antara waktu menempuh pendidikan dengan kualitas pendidikan yang diterima, dengan menggunakan skor Ujian Tulis Berbasis Komputer sebagai ringkasan capaian pendidikan para siswa.

Temuan riset ini menunjukkan bahwa kualitas pengeluaran anggaran tingkat provinsi tidak membuat para siswa mendapatkan kualitas pendidikan yang setara meskipun mereka belajar di sekolah dengan jangka waktu yang sama.

Jika Indonesia ingin menjadi negara maju, pengeluaran anggaran harus disesuaikan dengan kebutuhan. Aplikasi Rencana Kegiatan dan Anggaran Sekolah (Aplikasi RKAS) yang dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) untuk memfasilitasi dan mengelola penganggaran sekolah sebetulnya bisa menjembatani hal ini, dengan catatan terintergrasi dengan baik dengan data-data pendidikan yang ada dan perlu diperluas dengan merangkul lebih banyak tipe sekolah termasuk madarasah.

Visi Indonesia 2045 juga tak bisa sekadar diserahkan ke level nasional, harus ada pelibatan daerah dan kabupaten untuk melaksanakan implementasi. Memang, neraca pendidikan daerah menunjukkan bahwa kabupaten sebagai pemegang kuasa anggaran.

Pada tahun 2023 saja, anggaran nasional pendidikan akan mencapai yang tertinggi Rp 612,2 triliun dengan 50% ditransfer ke daerah. Akan tetapi, efektivitas anggaran difokuskan pada pembelajaran berkualitas bukan kepada partisipasi pendidikan saja.

Sejak 2021, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan baru menggalakan program tracer study, yang bertujuan melacak lulusan perguruan tinggi hingga ke dunia kerja, walaupun sebenarnya sistem tersebut ada sejak satu dekade sebelumnya. Program tersebut harus bisa menjadi cara mengevaluasi pendudukan tinggi di Indonesia dan membantu mengembangkan model pembangunan manusia yang bermutu.

Selain itu, keterlibatan Kementerian Tenaga Kerja (Kemenaker) menjadi penting untuk mendukung terciptanya tenaga kerja berkualitas. Pertumbuhan ekonomi yang baik harus pertama-tama karena kualitas tenaga kerja. Program-program yang ada harus difokuskan kepada upskilling dan reskilling sehingga bisa melipatgandakan potensi tenaga kerja nasional.

Akhirnya, dalam musim pemilu yang sebentar lagi akan datang, seharusnya setiap calon bisa merumuskan batasan atau hambatan sumber daya manusia dalam mendorong pertumbuhan. Tanpa itu, niscaya pertumbuhan ekonomi akan terjadi tanpa penguatan kapasitas manusianya. Sehingga, kita tidak siap untuk menjadi negara maju dan menjadi penonton di kawasan.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,600 academics and researchers from 4,945 institutions.

Register now