Menu Close

Standar ganda Barat lagi-lagi tampak jelas dalam konflik Israel-Hamas

A woman at a demonstration holds a scarf in the colours of the Palestinian flag with the word Palestine on it.
Sejumlah orang menghadiri aksi “Palestine Lives,” di Bogota, Kolombia pada 17 Oktober 2023, untuk menunjukkan dukungan kepada warga Palestina dalam perang Israel-Hamas terkini. (AP Photo/Ivan Valencia)

Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden adalah salah satu dari sekian pemimpin Barat yang telah mengunjungi Tel Aviv, selama masa perang Israel-Hamas yang kini masih berlangsung, untuk menunjukkan dukungannya pada Israel.

Sebagai pendukung utama Israel, AS telah mengirim dua kapal induk ke wilayah tersebut dan mengindikasikan bahwa mereka dapat mengerahkan 2.000 tentara AS ke Israel untuk membantu.

Biden sebenarnya juga dijadwalkan untuk bertemu dengan para pemimpin Palestina dan negara-negara Arab di Amman, ibukota Yordania. Namun Yordania membatalkan pertemuan tersebut setelah Israel melakukan serangan udara pada 17 Oktober yang menewaskan sekitar 500 orang di sebuah rumah sakit di Gaza.

Pada hari-hari setelah Hamas melancarkan “Operasi Badai Al-Aqsa” terhadap Israel, pemerintah Eropa dan Amerika Utara (dengan beberapa pengecualian) dengan cepat memberikan pesan dukungan untuk Israel.

Pesan-pesan tersebut mengandung setidaknya empat elemen yang saling berhubungan:

  • Israel adalah korban serangan teroris yang tidak beralasan;

  • Israel memiliki hak untuk membela diri;

  • Barat sepenuhnya mendukung Israel dalam melawan kekerasan biadab dan sembrono yang dilakukan oleh Hamas-yang kerap dianggap mewakili Palestina;

  • Hamas harus disalahkan (baik sebagian atau keseluruhan) atas semua kematian warga sipil di kedua belah pihak karena mereka yang memulai perang ini dan “memaksa” Israel menyerang, sementara mereka “bersembunyi” di balik warga sipil.

Palestina disingkirkan

Ada beberapa hal penting dalam pesan tersebut, tetapi saya ingin fokus pada dua hal yang menyoroti standar ganda Barat.

Pertama adalah meningkatnya rasisme anti-Palestina di Barat, yang ciri khasnya sangat terlihat dari adanya pembungkaman terhadap kritik-kritik Palestina terhadap Zionisme dan Israel.

Ini adalah sebuah dinamika yang berakar dari Nakba (bahasa Arab yang artinya bencana) dan upaya menghapus suara, sejarah, keberadaan, aspirasi, dan identitas Palestina dari wacana publik.


Read more: Tantura: New documentary sparks debate about Israel and the Palestinian Nakba


Seorang perempuan berhijab menangis sambil menggendong seorang anak kecil di sebuah rumah sakit.
Rakyat sipil Palestina yang terluka di rumah sakit Al-Shifa, setelah serangan udara Israel di Kota Gaza pada 17 Oktober 2023. (AP Photo/Abed Khaled)

Lembaga-lembaga politik, media, dan institusi pendidikan di Barat secara terstruktur mengesampingkan dan membungkam orang-orang Palestina dan para pendukungnya. Ini bukan hanya masalah di kalangan sayap kanan atau bahkan sentris, tetapi terjadi di seluruh spektrum politik. Politik sayap kiri, termasuk ruang-ruang progresif, yang mengaku antirasis sering kali ikut memusuhi suara-suara Palestina.

Di Kanada, Walikota Toronto Olivia Chow mengeluarkan pernyataan progresif, dengan menyebutkan bahwa aksi unjuk rasa untuk mendukung warga Palestina sama saja dengan dukungan terhadap kekerasan dan ancaman bagi keselamatan dan keamanan warga Yahudi. Pernyataan itu masih ada di akun X-nya.

Inilah salah satu narasi anti-Palestina yang telah merasuk ke Barat selama bertahun-tahun: menganggap bahwa semua dukungan untuk Palestina adalah kekerasan dan didorong oleh kebencian antisemit (anti-Yahudi) yang ditujukan pada semua orang Yahudi. Oleh karena itu, atas nama antirasisme, orang-orang Palestina dan para pendukungnya kerap dikecam dan bahkan dikriminalisasi.

Reaksi yang berbeda terhadap kematian warga sipil

Kedua, standar ganda Barat juga terlihat dari reaksi mereka terhadap pembunuhan warga sipil Israel dan reaksi–atau ketiadaan reaksi–terhadap pembunuhan warga sipil Palestina. Banyak pihak yang menyoroti kemunafikan Barat dengan membandingkannya dengan bagaimana Barat bersikap dalam perang Rusia-Ukraina.

Seorang perempuan memegang plakat bertuliskan: Warga Yahudi mengatakan hentikan genosida terhadap warga Palestina
Seorang anggota South Florida Jewish Voice for Peace memegang sebuah papan dalam sebuah aksi unjuk rasa yang menyerukan gencatan senjata di Gaza, di luar kantor Senator Rick Scott di Miami, pada tanggal 17 Oktober 2023 di Coral Gables, Florida, AS. (AP Photo/Rebecca Blackwell)

Kita perlu melihat perbedaan bagaimana para pemerintah Barat menanggapi pembunuhan warga sipil Israel versus pembunuhan warga sipil Palestina.

Terhadap Israel dan korban-korban di negara itu, lembaga-lembaga politik, militer, ekonomi, budaya dan sosial di AS telah dimobilisasi secara penuh untuk memberikan dukungan.

Namun dukungan serupa sama sekali tidak ada untuk rakyat Palestina. Tidak ada evakuasi bagi warga Palestina. Kapal induk tidak dikirim untuk memberikan dukungan militer. Mayoritas wacana politik dan budaya tidak memanusiakan kehidupan Palestina dan tidak berduka atas kematian warga Palestina.

Bantuan bantuan untuk Palestina ditahan dan digunakan sebagai alat tawar-menawar. Dukungan ekonomi tidak datang. Lembaga-lembaga tidak mengirimkan pesan-pesan dukungan kepada Palestina.

Dalam beberapa hal, sikap diam ini tidak mengejutkan. Tidak ada seorang pun yang menyatakan dukungan terhadap Israel berisiko kehilangan mata pencaharian mereka. Sebaliknya, banyak orang yang menyuarakan solidaritas terhadap Palestina telah kehilangan pekerjaan, ditegur, diskors dan mengalami doksing.

Kepentingan pribadi Barat

Negara bukanlah entitas moral, tetapi perlu bertindak untuk kepentingan pribadinya. Dalam hal ini, kebebasan dan pembebasan Palestina tidak sejalan dengan kepentingan Barat yang dipimpin AS.

Oleh karena itu, lembaga-lembaga Barat kerap mengulang-ulang pernyataan yang poinnya lemah, yaitu bahwa “terorisme” adalah penyebab dari semua kekerasan. Poin pembicaraan ini digunakan untuk memberi Israel lampu hijau untuk melakukan kekerasan tanpa batas terhadap warga Palestina di Jalur Gaza, Tepi Barat, dan Yerusalem.

Kebisuan negara-negara Barat terhadap kekerasan yang menimpa warga sipil di Palestina dan kelompok-kelompok lain di seluruh dunia menjadikan gagasan “Barat menentang kekerasan terhadap warga sipil” tidak masuk akal.

Selama beberapa dekade, warga Palestina telah diusir dari tanah mereka sendiri, dibunuh dan dilukai dengan jumlah yang sangat besar, termasuk melalui pembantaian massal. Sudah banyak pula dokumentasi tentang kasus kekerasan seksual yang serta penyiksaan di penjara-penjara Israel. Ini hanya sebagian kecil dari kekerasan yang terus menerus dialami oleh warga Palestina–dan telah mereka alami sejak sebelum Hamas terbentuk.

Palestina terus mengalami apa yang disebut oleh cendekiawan Palestina, Nahla Abdo dan Nur Masalha, sebagai Nakba dan genosida berlanjut. Namun, ketika rakyat Palestina menderita, seperti yang mereka alami di Gaza sekarang, yang disebut oleh sejarawan dan pakar genosida Israel, Raz Segal, sebagai “kasus genosida yang sudah ada dalam buku teks,” pemerintah-pemerintah Barat tetap bungkam.

Barat tidak mengecam ketika Israel memerintahkan lebih dari satu juta orang Palestina untuk meninggalkan rumah mereka dalam waktu 24 jam. Pada bulan Februari, para pemukim Israel mengamuk selama berjam-jam di kota Huwara, Palestina, setelah dua orang pemukim ditembak oleh seorang warga Palestina. Kecaman Barat terhadap amukan tersebut pun tidak terdengar, bahkan memang tidak ada.

Ratusan akademisi dan pakar hukum internasional, studi konflik, dan studi genosida kini mengingatkan bahwa pasukan Israel tengah melakukan genosida terhadap warga Palestina di Jalur Gaza.

Kisah-kisah tentang kehidupan warga Palestina yang berakhir dengan jatuhnya bom secara tiba-tiba tidak pernah diceritakan. Suara-suara Palestina tentang penjajahan yang mereka derita selalu dikesampingkan. Aspirasi Palestina untuk pembebasan dan dekolonisasi ditolak.

Reaksi Barat tidak hanya munafik, tetapi juga menunjukkan bagaimana keberpihakan pemerintah Barat terhadap masalah Palestina. Barat adalah partisipan aktif dalam penghapusan Palestina, dan ketika momen-momen kekerasan yang meningkat seperti ini terjadi, sikap Barat yang sebenarnya dapat jelas terlihat oleh semua orang.

Namun, kekuatan rakyat di seluruh dunia, termasuk di AS, masih memberikan alasan bagi kita untuk berharap. Kini, semakin banyak orang di Barat yang merasa jijik dan malu dengan penghancuran Palestina dan pembunuhan warga sipil Palestina.

Semakin banyak orang yang bergabung dalam aksi protes dan menyerukan agar pengepungan terhadap Gaza dicabut untuk selamanya. Masih lebih banyak lagi kekuatan rakyat yang dibutuhkan untuk menuntut pemerintah melakukan segala yang mereka bisa untuk menyelesaikan masalah ini. Jalan menuju perdamaian dan keadilan hanya bisa dimulai ketika rakyat Palestina bebas.

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,600 academics and researchers from 4,945 institutions.

Register now