Menu Close
Matematika adalah bahasanya alam semesta. Shutterstock

Tanpa matematika, kita tidak bisa memahami alam semesta

Hampir 400 tahun yang lalu, ilmuwan Galileo pernah berkata: “Filsafat ditulis dalam buku besar ini, alam semesta … [Tapi buku ini] ditulis dalam bahasa matematika.” Galileo lebih dari seorang astronom biasa, dan tulisan yang memuat pernyataan ini dianggap sebagai tulisan pertama yang membahas tentang metode ilmiah.

Kita tidak tahu siapa yang pertama kali mulai menerapkan matematika untuk studi ilmiah, tetapi masuk akal bahwa Orang Babilonia, yang menggunakannya untuk menemukan pola yang menjelaskan terjadinya gerhana, selama hampir 3.000 tahun yang lalu. Tapi penemuan kalkulus dan juga Fisika Newton membutuhkan 2.500 tahun untuk bisa menjelaskan polanya.

Science Magazine melihat tablet tanah liat orang Babilonia yang berisi rumus matematika yang merupakan pendahulu kalkulus.

Sejak itu, mungkin setiap penemuan ilmiah besar telah menggunakan matematika untuk menjelaskan sesuatu, karena matematika jauh lebih kuat daripada bahasa manusia lainnya. Tidak mengherankan jika hal ini membuat banyak orang mengklaim bahwa matematika itu sangat penting: bahwa alam semesta diciptakan oleh ahli matematika

Jadi bisakah kita membayangkan alam semesta di mana matematika tidak bekerja?

Bahasa matematika

Hipotesis Sapir-Whorf menegaskan bahwa Anda tidak dapat mendiskusikan suatu konsep kecuali Anda memiliki bahasa untuk bisa menggambarkannya.

Dalam ilmu apapun, dan fisika pada khususnya, kita perlu menjelaskan konsep yang tidak dipetakan dengan baik ke dalam bahasa manusia. Seseorang dapat menggambarkan elektron, tetapi saat kita mulai mengajukan pertanyaan seperti “Apa warnanya?” kita mulai menyadari kekurangan dari bahasa Inggris.

Warna suatu benda bergantung pada panjang gelombang cahaya yang dipantulkan olehnya, sehingga elektron tidak memiliki warna tertentu, atau meliputi semua warna lebih tepatnya. Pertanyaan itu sendiri tidak ada artinya. Tapi pertanyaan “Bagaimana sebuah elektron berperilaku?” dan jawabannya, pada prinsipnya, adalah sederhana. Pada tahun 1928, Paul A.M. Dirac menuliskan persamaan yang menggambarkan perilaku elektron yang hampir sempurna pada semua keadaan. Ini tidak berarti sederhana ketika kita melihat detailnya.

Sebagai contoh, elektron berperilaku sebagai magnet kecil. Besarannya bisa dihitung, tapi perhitungannya sangat rumit. Menjelaskan aurora, misalnya, mengharuskan kita untuk memahami mekanika orbital (yang menjelaskan tentang perilaku elektron), medan magnet, dan fisika atom, tetapi pada intinya, ini hanyalah matematika.

Tetapi ketika kita menyadari bahwa komitmen manusia terhadap pemikiran logis dan matematis jauh lebih dalam. Keputusan untuk menyalip mobil yang bergerak lambat tidak berdasarkan persamaan gerak, tetapi kita tentu melakukannya secara implisit. Tesla dengan autopilot benar-benar akan menyelesaikannya secara eksplisit.

view from the cockpit of a tesla with another car ahead and the driver working on their devices
Saat menyalip mobil, Tesla akan secara eksplisit menghitung apa yang diproses oleh pengemudi manusia secara implisit. (Shutterstock)

Memprediksi kekacauan

Jadi kita benar-benar tidak perlu heran bahwa matematika bukan hanya menjadi bahasa untuk menggambarkan dunia luar, tetapi dalam banyak hal menjadi satu-satu alat untuk menjelaskan banyak fenomena. Tetapi hanya karena sesuatu dapat dijelaskan secara matematis tidak berarti hal itu dapat diprediksi.

Salah satu penemuan yang luar biasa selama 50 tahun terakhir adalah penemuan “sistem kacau (chaotic systems).” Ini bisa menjadi sistem matematika sederhana yang tidak dapat diselesaikan. Ternyata banyak sistem yang kacau dalam pengertian ini. Jejak badai di Karibia secara dangkal mirip dengan trek gerhana, tetapi kami tidak dapat memprediksinya secara tepat dengan menggunakan kekuatan komputer modern.

Namun, kami memahami alasannya: persamaan yang menggambarkan cuaca secara intrinsik sudah kacau, sehingga kami dapat membuat prediksi yang akurat dalam jangka pendek, (sekitar 24 jam), tetapi ini menjadi semakin tidak dapat diandalkan dari hari ke hari. Demikian pula, mekanika kuantum memberikan teori di mana kita tahu persis prediksi apa yang tidak dapat dibuat dengan tepat. Seseorang dapat menghitung sifat-sifat elektron dengan sangat akurat, tetapi kita tidak dapat memprediksi apa yang akan dilakukan oleh individu.

Badai jelas merupakan peristiwa yang tidak rutin terjadi, dan kita tidak dapat memprediksi kapan badai akan terjadi sebelumnya. Tetapi fakta bahwa kita tidak dapat memprediksi suatu peristiwa secara tepat tidak berarti bahwa kita tidak dapat menggambarkannya ketika itu terjadi. Kami bahkan dapat menangani peristiwa yang terjadi satu kali: yaitu peristiwa Big Bang dan kami memiliki teori yang sangat tepat tentang itu.

Merancang sistem sosial

Sejumlah besar fenomena sosial, dari pasar saham hingga terjadinya revolusi tidak memiliki sistem prediksi yang baik dan berdasar matematika, tetapi kita tetap dapat menggambarkan apa yang telah terjadi dan sampai batas tertentu membangun sistem model.

Lalu bagaimana dengan hubungan pribadi? Cinta mungkin buta, tetapi hubungan pasti dapat diprediksi. Sebagian besar dari kita memilih pasangan di dalam kelas sosial dan kelompok bahasa yang sama, jadi sama sekali tidak ada keraguan bahwa itu benar dalam arti statistik. Tapi itu juga benar dalam arti lokal. Sejumlah situs kencan menghasilkan uang dengan algoritme yang setidaknya berusaha mencocokkan Anda dengan pasangan ideal Anda.

Dalam pembicaraan TED, futuris Amy Webb menunjukkan bahwa matematika benar-benar bekerja dalam algoritme kencan.

Sebuah alam semesta yang tidak dapat dijelaskan secara matematis artinya secara fundamental tidak rasional dan bukan hanya tidak dapat diprediksi. Hanya karena sebuah teori tidak masuk akal bukan berarti kita tidak bisa mendeskripsikannya secara matematis.

Tapi saya tidak berpikir kita hidup di alam semesta yang bekerja seperti itu, dan saya kira kita tidak bisa membayangkan alam semesta tanpa matematika.


Arina Apsarini dari Binus University menerjemahkan artikel ini dari bahasa Inggris.

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,100 academics and researchers from 4,941 institutions.

Register now