Menu Close
Warga binaan pemasyarakatan di dalam kawasan Lapas Kerobokan di Badung, Bali. Fikri Yusuf/Antara Foto

Tidak semua pidana harus dipenjara: perlunya pedoman pemidanaan untuk tangani over kapasitas lapas dan rutan

Sampai saat ini, masalah kelebihan penghuni (overcrowding) di lembaga pemasyarakatan (lapas) dan rumah tahanan (rutan) terus terjadi.

Berdasarkan Sistem Database Pemasyarakatan (SDP) Publik Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjenpas) Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia pada 23 Agustus 2023, overcrowding di lapas dan rutan telah mencapai masing-masing 201% dan 210%. Angka ini belum termasuk di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) dan Lapas Perempuan.

Salah satu upaya yang telah dilakukan pemerintah untuk mengatasi persoalan ini adalah menambah jenis pidana pokok–kerja sosial dan pengawasan–dalam UU No. 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Aturan baru ini juga mengatur bahwa hakim sedapat mungkin tidak menjatuhkan pidana penjara, walaupun hanya untuk tindak pidana yang ancamannya tidak lebih dari lima tahun.

Sayangnya, KUHP baru luput mengevaluasi berbagai jenis tindak pidana dan ancaman hukumannya. Oleh karena itu, perbuatan yang mungkin seharusnya dihapuskan atau dievaluasi ancaman pidananya tidak terjadi secara menyeluruh.

Jelas saja upaya mengatasi overcrowding berjalan sangat lamban, atau nihil sama sekali. Sebab, penyebab utamanya sebenarnya adalah politik pemidanaan. Ini terwujud dalam banyaknya perbuatan yang dijadikan sebagai tindak pidana.

Makin banyak jenis tindak pidana

Studi tentang overcrowding lapas dan rutan di Indonesia menyebutkan ada banyak penyebab terjadinya overkapasitas.

Namun, dari semua penyebab, yang cukup signifikan berkontribusi adalah politik pemidanaan dan kebijakan pidana Indonesia yang mengedepankan pemenjaraan untuk memberi efek jera. Fenomena ini dikenal sebagai overkriminalisasi, yaitu ketika ada terlalu banyak tindak pidana yang diciptakan oleh negara yang berujung pada tingginya angka penghukuman.

Di Indonesia, suatu studi tentang potret kriminalisasi pascareformasi sampai 2014 menjabarkan terdapat 1.601 tindak pidana yang 716 di antaranya merupakan tindak pidana baru. Sebanyak 649 dari 716 tindak pidana baru itu diancam dengan hukuman penjara yang berdiri sendiri atau digabungkan dengan denda.

Setelahnya, tidak ditemukan studi lanjutan mengenai jumlah tindak pidana yang ada di Indonesia sampai saat ini. Namun, setelah KUHP baru disahkan, hampir semua perbuatan yang dikategorikan sebagai pelanggaran dalam KUHP lama, dimasukkan dalam KUHP baru dengan ancaman pidana penjara paling lama enam bulan atau denda. Akhirnya, banyak ancaman hukuman dari perbuatan tersebut menjadi lebih berat dalam KUHP baru dibanding KUHP lama.

Contohnya adalah Pasal 497 KUHP lama atau 315 KUHP baru tentang menyalakan api di tempat tertentu yang dapat menyebabkan kebakaran serta menerbangkan balon udara yang digantungi bahan yang mudah terbakar. Dalam KUHP lama, ancaman hukumannya adalah denda maksimal Rp375 (dalam Peraturan Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2012 dikali 1.000 sehingga menjadi RP 375 ribu). Di KUHP baru, perbuatan tersebut diancam dengan penjara paling lama enam bulan atau denda paling banyak kategori II (Rp10 juta).

Hal lainnya adalah tingkat keseriusan suatu tindak pidana di luar KUHP. Sebuah studi memperlihatkan masalah ini. Dalam studi ini, tindak pidana memusnahkan arsip yang tidak memiliki nilai guna dan telah habis retensinya diancam dengan pidana penjara maksimal 10 tahun dan denda maksimal Rp500 juta (Pasal 86 UU 43/2009 tentang Kearsipan). Ancaman penjaranya sama dengan penganiayaan berat yang mengakibatkan kematian (Pasal 354 KUHP lama/468 KUHP baru).

Padahal, tindak pidana tentang arsip merupakan pelanggaran administrasi yang tidak selalu menimbulkan kerugian besar. Ini berbeda dengan tindak pidana penganiayaan yang memang jelas kejahatan. Hal ini menunjukkan bahwa penentuan ancaman pidana yang mencerminkan keseriusan tindak pidana menjadi tidak jelas.

Sayangnya, KUHP baru tidak memperbaiki permasalahan ini. Yang terjadi adalah pemerintah memasukkan pasal-pasal tertentu di beberapa undang-undang lain ke dalam KUHP baru. Misalnya, Pasal 455 KUHP baru menggantikan Pasal 2 UU Nomor 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO).

Di sini, kita dapat menarik kesimpulan bahwa overcrowding yang terjadi selama ini merupakan ujung dari pilihan negara dalam mengontrol kehidupan sosial masyarakat melalui hukum pidana.

Memang, hakim dalam pengadilan bisa saja menjatuhkan hukuman paling ringan atau hukuman selain penjara tapi tidak boleh keluar dari bentuk ancaman yang telah tertulis dalam pasal tersebut, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang.

Perlunya pedoman legislasi pidana

KUHP baru sebenarnya bisa menjadi langkah maju untuk perbaikan hukum pidana ke depan. Namun, negara juga sebaiknya membatasi penggunaan hukum pidana dan menjadikannya jalan terakhir dalam upaya penyelesaian masalah hukum.

Ini bisa dilakukan dengan, misalnya, membuat pedoman legislasi pidana yang memuat kriteria penentuan satu tindak pidana dan ancaman hukumannya.

Dalam pedoman itu, perlu ditegaskan bahwa prinsip dasar kriminalisasi adalah perbuatan tersebut memang berbahaya dan merupakan kesalahan yang harus dipertanggungjawabkan, serta hukuman yang digunakan haruslah proporsional.

Pedoman tersebut juga harus memuat pertanyaan yang perlu terjawab dalam membuat satu tindak pidana baru: apakah terdapat kepentingan yang substansial dari negara? Apakah dengan menjadikan suatu perbuatan sebagai tindak pidana memberikan dampak langsung terhadap kepentingan tersebut? Apakah tidak ada alternatif lain selain menjadikannya pelanggaran pidana?

Kita bisa menggunakan tindak pidana dalam Pasal 237 huruf c KUHP baru sebagai contoh. Bunyi pasalnya adalah “Dipidana dengan pidana denda paling banyak kategori II, Setiap Orang yang menggunakan lambang negara untuk keperluan selain yang diatur dalam ketentuan Undang-Undang.”

Sebelumnya, ketentuan ini diatur dalam Pasal 57 huruf d UU Nomor 24 tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan. Pada 2012, telah terdapat Putusan Mahkamah Konstitusi No. 4/PUU-X/2012 yang menyatakan ketentuan tersebut sudah tidak berlaku.

Namun, dalam naskah akademik KUHP baru pun tidak ditemukan penjelasan utuh tentang mengapa ketentuan ini kembali diatur, apa kepentingan substansial dari negara? Apakah pengaturan ini relevan dengan kepentingan tersebut?

Selanjutnya, dalam menentukan ancaman hukuman dari tindak pidana yang dibuat dapat merujuk pada teori proporsionalitas ordinal yang, dalam penerapannya, perlu menentukan skala keseriusan dari tindak pidana.

Menurut saya, untuk menyusun pedoman legislasi pidana, hal pertama yang perlu pemerintah lakukan adalah mengklasifikasikan kembali tindak pidana paling berat sampai yang paling ringan. Ini sekaligus menguji kembali apakah semua tindak pidana tersebut memang pantas untuk dikriminalisasi dan apakah ancaman hukumannya proporsional?

Ke depan, penyusunan perundang-undangan yang memuat tindak pidana perlu didasarkan pada pedoman yang memberikan pertanyaan mendasar atas latar belakang dari dibuatnya tindak pidana tersebut.

Cara ini bisa meminimalisasi pembuatan tindak pidana baru yang tidak mempertimbangkan prinsip dasar dari hukum pidana sebagai upaya terkahir, dan penentuan ancaman pidana yang melangkahi KUHP.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,600 academics and researchers from 4,945 institutions.

Register now