Menu Close
Seorang petugas membersihkan tempat tidur di ruang isolasi bagi pasien COVID-19 di Surabaya, Jawa Timur. ANTARA FOTO/Moch Asim/aww.

Tiga alasan mengapa data COVID-19 di Indonesia tak dapat dipercaya dan bagaimana mengatasinya

Lebih dari setahun dalam bekapan pandemi, Indonesia memiliki angka kasus COVID-19 terbanyak dan tingkat kematian tertinggi di Asia Tenggara. Dibalik angka dan statistik tersebut, Indonesia masih berupaya untuk mengelola data COVID-19 yang bersumber lebih dari 10,000 fasilitas kesehatan baik layanan primer dan rumah sakit ditambah beberapa rumah sakit darurat dan shelter COVID-19.

Laporan media terakhir mengungkap bahwa kasus COVID-19 di Indonesia lebih banyak jumlahnya di banding data resmi dari pemerintah. Laporan tersebut menunjukkan bahwa 15% orang Indonesia sudah terinfeksi COVID-19, lebih tinggi dari hanya 0.4% dari data yang ditunjukkan pemerintah.

Pada awal-awal pandemi, Presiden Joko Widodo mengakui pemerintahannya memutuskan tidak membuka seluruh data untuk menghindari kepanikan yang berlebihan. Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan juga mengakui ketidakcocokan data kesehatan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.

Riset terbaru kami menunjukkan bahwa kompleksnya manajemen data COVID-19 Indonesia telah menyebabkan masalah tersebut.

Belajar dari Yogyakarta

Pada Oktober dan November 2020, tim kami melakukan penelitian bagaimana fasilitas layanan kesehatan merekam dan mengelola laporan data COVID-19 di Yogyakarta. Provinsi ini memiliki penduduk sekitar 3,6 juta.

Presiden Jokowi Widodo menyaksikan petugas kesehatan menyuntik vaksin COVID-19 pada seorang penduduk di Yogyakarta. ANTARA FOTO/Andreas Fitri Atmoko/wsj

Yogyakarta merupakan provinsi kecil dengan empat kabupaten dan satu kota namun memiliki berbagai sistem informasi kesehatan pengelolaan data COVID-19, serupa dengan provinsi lainnya. Dengan menganalisis bagaimana kerja sistem pengumpulan data di Yogyakarta, kami berharap dapat memberikan kontribusi bagi penguatan sistem informasi COVID-19 di provinsi lain Indonesia.

Kami berbicara dengan pejabat dari berbagai institusi di Yogyakarta, seperti Dinas Kesehatan, Dinas Informasi dan Komunikasi di level provinsi, kabupaten, dan kota. Kami juga menggali pandangan dari layanan kesehatan, masyarakat, dan pengembang aplikasi.

Berdasarkan wawancara tersebut, riset kami menyorot tiga masalah yang berkontribusi pada kompleksitas manajemen data COVID-19 di provinsi ini.

1. Sistem aplikasi terpisah-pisah

Temuan di Yogyakarta menunjukkan adanya beberapa sistem yang dipakai untuk manajemen data terkait COVID-19, baik yang disediakan oleh kabupaten/kota, provinsi, dan nasional.

Hal ini merupakan dampak dari kebijakan desentralisasi yang memungkinkan masing-masing daerah membuat sistem lokal untuk memantau kasus-kasus terkait penyakit ini.

Sistem desentralisasi ini bertujuan untuk mempercepat respons pemerintah lokal. Desentralisasi mengizinkan pemerintah daerah untuk bertindak secara cepat, ketimbang menunggu kebijakan dari pemerintah pusat.

Namun, kebijakan ini menyebabkan arus informasi dan data dari pemerintah daerah ke pusat memakan banyak waktu sehingga data tersebut tidak benar-benar terintegrasi.

2. Duplikasi entri data

Ketiadaan sebuah sistem terintegrasi yang mencakup level nasional dan lokal telah menghalangi daerah untuk menyediakan satu set data yang valid.

Kami menemukan sembilan contoh aplikasi pengumpulan dan analisis data COVID-19 antara otoritas kabupaten, provinsi dan pusat serta fasilitas layanan kesehatan. Ini mencakup deteksi kasus, pelacakan kontak, konfirmasi laboratorium, pemeriksaan mandiri, logistik dan sumber daya perawatan kesehatan.

Secara umum, fasilitas kesehatan memiliki sistem informasi internal di masing-masing rumah sakit atau puskesmas lokal.

Pada level kabupaten, pemerintah daerah telah membuat sebuah aplikasi COVID-19 lokal. Gugus Tugas Pengendalian COVID-19 di level provinsi juga mengembangkan sebuah aplikasi untuk mengintegrasikan data dari kabupaten-kabupaten yang disebut Sistem Monitoring COVID-19.

Di level nasional, sistem pengumpulan data berfokus pada dua tugas utama: mengumpulkan hasil tes COVID-19 dan menyediakan data terbaru terkait sumber daya manusia, logistik dan ketersediaan tempat tidur di rumah sakit.

Sayangnya, pada level daerah dan nasional, berbagai aplikasi ini tidak terintegrasi. Ini berarti staf layanan kesehatan harus memasukkan data yang sama beberapa kali di aplikasi yang berbeda, sehingga meningkatkan beban kerja dan kemungkinan membuat kesalahan.

Petugas laboratorium menangani sampel tes COVID-19 di Tasikmalaya, Jawa Barat. ANTARA FOTO/Adeng Bustomi/wsj.

3. Kekurangan sumber daya manusia

Melakukan semua kegiatan penanggulangan COVID-19 membebani fasilitas kesehatan. Mereka juga mengalami kekurangan sumber daya manusia dalam hal pencatatan dan pemantauan data.

Petugas kesehatan tetap perlu memberikan pelayanan kepada pasien. Jadi, mereka memasukkan data setelah jam layanan, sehingga data tidak lengkap dan pengiriman data tertunda. Hal ini menyebabkan perbedaan antara data dalam sistem dan laporan manual.

Misalnya, laboratorium memberikan data, seperti hasil tes COVID-19, ke fasilitas kesehatan dalam berbagai format dan metode, seperti PDF, file Excel, surel, dan Google Drive.

Petugas kesehatan kemudian perlu menggabungkan data ini dalam satu format di kantor provinsi sebelum mengirimkannya ke pemerintah kabupaten dan pusat.

Selain itu, karena masalah aksesibilitas dengan aplikasi dan kebutuhan mendesak untuk melaporkan data dengan cepat, kami menemukan petugas kesehatan dan pejabat menggunakan saluran komunikasi informal seperti WhatsApp untuk memberikan pembaruan tentang jumlah tes, kasus baru, dan kematian setiap hari.

Ini sekali lagi meningkatkan kemungkinan membuat kesalahan. Ini juga memunculkan masalah privasi data untuk informasi medis pasien.

Lalu apa solusinya?

Pemerintah Indonesia telah menerbitkan instruksi presiden untuk mengintegrasikan banyak sumber data untuk meningkatkan kebijakan dan pengambilan keputusan.

Tapi regulasi ini masih kurang diimplementasikan.

Untuk menghadapi suatu pandemi, pemerintah seharusnya mempersiapkan sebuah sistem yang ringkas dan jelas untuk mengatur arus data dari pemerintah daerah ke pusat. Pemerintah seharusnya mengelola kembali jumlah besar data dari aplikasi manajemen data dan sistem informasi untuk membuat mereka lebih efektif.

Semua entri data dari pemerintah daerah harus sesuai dengan data COVID-19 nasional dan standar meta-data. Artinya, data dari daerah dapat dikirim langsung dari aplikasi lokal yang saat ini digunakan ke aplikasi pusat melalui integrasi data. Ini juga berarti sistem harus memfasilitasi komunikasi antara berbagai sistem dan layanan yang ada.

Dengan demikian instansi pusat dan instansi daerah dapat dengan mudah mengakses dan berbagi data.

Kami merekomendasikan pemerintah Indonesia untuk menggunakan prinsip-prinsip Arsitektur Organisasi dari Kerangka Kerja Arsitektur Grup Terbuka untuk mengimplementasikan konsep cetak biru yang mendefinisikan struktur dan operasi organisasi untuk menyelaraskan dengan tindakan berbeda dalam merespons COVID-19.

Pekerja kesehatan menyiapkan vaksin AstraZeneca di Sidoarjo, Jawa Timur. ANTARA FOTO/Umarul Faruq/rwa.

Cetak biru itu harusnya berfokus pada mengatasi berbagai tantangan seperti proses vaksinasi dan pengurangan pembatasan pada aktivitas sosial.

Berdasarkan pertimbangan dan beberapa referensi, peneliti mengadopsi kerangka kerja OpenHIE, sebuah kerangka kerja terbuka, mudah disesuaikan dan gratis untuk meningkatkan sistem informasi kesehatan.

OpenHIE cocok untuk pendekatan dari bawah ke atas (bottom-up) berbasis komunitas untuk membangun sistem informasi kesehatan. Ini juga berpotensi efektif untuk membantu mengurangi masalah yang terkait dengan pengumpulan data COVID-19.

Leli Rahmawati dan Lia Achmad terlibat dalam penelitian ini sebagai asisten peneliti

Riset ini didanai oleh pemerintah Australia melalui program PAIR program dari Australia-Indonesia Centre.

Australia Indonesia Centre mendukung The Conversation Indonesia dalam penerbitan artikel ini.

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,300 academics and researchers from 4,941 institutions.

Register now