Menu Close

Tiga pelajaran dari Aksi Kamisan dalam membangun gerakan sosial

Maria Catarina Sumarsih, ditemani Usman Hamid (kiri) dan Yati Andriyani (kanan) tengah menuju tempat Aksi Kamisan.
Kita bisa belajar dari Aksi Kamisan yang telah berlangsung 13 tahun. Wikimedia, CC BY

Aksi Kamisan telah berlangsung selama 13 tahun. Dalam kurun waktu tersebut, aksi damai ini telah melewati dua rezim pemerintahan di Indonesia, era presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Joko “Jokowi” Widodo.

Sesuai namanya, aksi ini dilakukan setiap hari Kamis oleh korban pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di Indonesia.

Aksi ini dimulai pertama kali pada 18 Januari 2007 sebagai bentuk aksi dari para korban dan keluarga Tragedi 1965, Semanggi I, Semanggi II, Trisakti, Tragedi 13-15 Mei 1998, Talangsari, Tanjung Priok, dan korban pelanggaran HAM lainnya

Lebih dari 643 aksi di depan Istana Negara dan 594 surat telah dikirim kepada kedua pemerintahan tersebut.

Sejauh ini, hasil dari desakan mereka hanyalah undangan pertemuan tertutup antara keluarga korban pelanggaran HAM dengan Jokowi pada 31 Mei 2018.

Aksi Kamisan memberikan beberapa pelajaran penting dalam merintis gerakan sosial di Indonesia.

Kami meneliti Aksi Kamisan di delapan kota (Padang dan Bukittinggi di Sumatra Barat; Karawang, Bogor, dan Bandung di Jawa Barat; Samarinda di Kalimantan Timur; Yogyakarta; dan Surakarta di Jawa Tengah) pada September-Desember 2019 dengan mewawancarai pendiri dan koordinator Aksi Kamisan.

Kami mengidentifikasi tiga pelajaran penting untuk membangun gerakan sosial di Indonesia.


Read more: Cara-cara mengatasi ancaman terhadap gerakan mahasiswa


1. Konsistensi aksi

Pelajaran pertama dari Aksi Kamisan adalah membangun konsistensi gerakan sosial.

Konsistensi diperlukan karena gerakan sosial kerap membutuhkan waktu panjang untuk mewujudkan agendanya.

Misalnya, akar gerakan sipil di Amerika Serikat (AS) telah bermula sejak 1940-an, namun perjuangan menegakkan hak sipil baru terwujud pada tahun 1968.

Contoh lainnya adalah gerakan lesbian, gay, bisexual, transgender, and queer (LGBTQ) di Taiwan yang sudah berlangsung sejak 1990-an dan baru berhasil mendorong legalisasi pernikahan sesama jenis pada tahun 2019.

Peserta sebuah Aksi Kamisan pada 2015.
Peserta sebuah Aksi Kamisan pada 2015. Wikimedia, CC BY

Konsistensi gerakan dapat bermula dari hal sederhana seperti berdiri di depan Istana Negara setiap hari Kamis dan menyuarakan tuntutan.

Konsistensi dapat menarik perhatian baik dari pemerintah maupun orang-orang lain yang bersimpati dan berpotensi memberi dukungan di masa depan.

Berdasarkan data yang dihimpun oleh aktivis Aksi Kamisan sejak November 2019 hingga Juli 2020 lalu, Aksi Kamisan di Jakarta berhasil menginspirasi 39 titik aksi di 23 provinsi di Indonesia dan di satu negara bagian di Australia.

Mereka menuntut penyelesaian pelanggaran HAM di depan simbol-simbol kekuasaan di daerahnya masing-masing.

Aksi Kamisan tidak lagi hanya aksi diam di depan Istana Negara di Jakarta, tetapi juga di depan Gedung Sate di Bandung; di depan Monumen Tugu di Yogyakarta; di depan Kantor Gubernur Kalimantan Timur di Samarinda; dan titik-titik aksi lainnya.

Namun konsistensi tidak selalu membawa kesuksesan.

Selama 13 tahun menuntut dua rezim, Aksi Kamisan belum mampu menuntut negara untuk mengadili para pelanggar HAM.

Hal ini tentu saja lumrah karena kesuksesan gerakan sosial tidak selalu bergantung kepada konsistensi aksi melainkan juga faktor lain seperti eratnya jaringan dengan partai politik; konflik internal gerakan; taktik di masa lalu; dan kemampuan memakai sumber daya secara strategis.


Read more: Gerakan sosial berbasis media baru bisa redup tapi tak pernah mati: riset dari Ambon


2. Kampus sebagai situs gerakan

Pelajaran kedua adalah kampus dapat menjadi institusi penting untuk memulai sebuah gerakan sosial.

Kampus merupakan lahan subur persemaian gerakan sosial karena kampus memungkinkan interaksi yang intens antar mahasiswa untuk merumuskan sebuah aksi kolektif.

Mahasiswa pun memiliki banyak waktu luang untuk mendiskusikan berbagai macam isu sosial politik.

Selain itu, jumlah mereka yang banyak dan terkonsentrasi juga merupakan amunisi untuk meramu aksi protes dalam skala besar.

Penelitian kami mengungkap bahwa kemunculan Aksi Kamisan di daerah selain Jakarta, seperti di Karawang, Surakarta, dan Bukittinggi selalu bermula dari aktivis-aktivis kampus yang memiliki kepedulian terhadap isu-isu HAM nasional dan lokal.

Mereka misalnya berasal dari organisasi pers mahasiswa maupun organisasi mahasiswa ekstra kampus seperti Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), dan Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI).

Pengalaman para aktivis di organisasi ini memberikan modal awal untuk memulai Aksi Kamisan di kota mereka.

Yang perlu diingat adalah kampus merupakan arena kontestasi bermacam kekuatan politik.

Karena itu, menjadikan kampus sebagai basis membangun gerakan tidaklah mudah karena aktivis pun harus bersaing dengan kekuatan politik lain yang juga melihat mahasiswa sebagai calon peserta gerakan.

Kampus tidak pernah steril dari pertarungan politik.

Aksi Kamisan di Bandung, Jawa Barat, pada 2017.
Aksi Kamisan di Bandung, Jawa Barat, pada 2017. Lab Nusantara/Flickr, CC BY

Read more: Memahami universitas sebagai ajang pertempuran ideologi politik


3. Keberagaman komunitas

Pelajaran ketiga dari Aksi Kamisan adalah beragamnya komunitas yang mereka miliki.

Aksi Kamisan tidak hanya bertumpu pada aktivis kampus.

Di Karawang, Aksi Kamisan melibatkan komunitas penggiat perpustakaan jalanan dan kelompok disabilitas.

Di Bandung, aksi ini turut melibatkan suporter sepakbola dan pelajar sekolah menengah atas. Di Surakarta, komunitas suporter sepakbola dan komunitas buruh ikut terlibat.

Beragamnya jaringan komunitas Aksi Kamisan juga diikuti dengan ragam strategi untuk menarik perhatian publik.

Misalnya, kegiatan seperti pentas musik, forum diskusi, mencoba kopi, bahkan pangkas rambut gratis kerap dilakukan untuk menarik minat partisipan baru di kota-kota seperti Yogyakarta dan Samarinda.

Selama masa pandemi, Aksi Kamisan juga menginisiasi aksi protes secara daring melalui tagar #KamisanOnline.

Di tengah terbatasnya ruang gerak masyarakat sipil dalam melakukan mobilisasi massa secara fisik, #KamisanOnline membuktikan kemampuan adaptasi untuk tetap menyuarakan tuntutan dengan wahana yang berbeda dari aksi rutin yang selama ini dijalani.

Beragamnya komunitas yang berpartisipasi dalam Aksi Kamisan dapat mempermudah Aksi Kamisan untuk tujuan seperti regenerasi gerakan.

Namun, keberagaman komunitas juga merupakan kelemahan karena menjadikan Aksi Kamisan sulit memiliki basis massa yang tetap.

Hal ini membutuhkan keterampilan pengelolaan isu dan jaringan untuk menghindari gesekan di dalam gerakan.

Dari tiga temuan kami di atas, Aksi Kamisan mengajarkan bahwa konsistensi, kampus, dan keberagaman komunitas dapat menjadi modal awal merintis gerakan sosial.

Namun demikian, eksperimen seperti memperbesar jumlah peserta aksi, dan membangun ikatan yang lebih dalam dan erat dengan komunitas di dalam kampus dan komunitas lainnya sangat diperlukan untuk memperbesar daya dobrak Aksi Kamisan atau gerakan-gerakan sosial lain di Indonesia.


_Artikel ini ditulis bersama An Nisa Astuti dan Carolus Bregas Pranoto dari Koalisi (Kolektif Kajian Aksi dan Mobilisasi, @kolektifkoalisi) sebuah perkumpulan yang fokus pada riset gerakan sosial di Indonesia.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,400 academics and researchers from 4,942 institutions.

Register now