Menu Close
Penggunaan hidroksiklorokuin untuk mengobati pasien COVID-19 belum didukung oleh bukti ilmiah yang kokoh. Manjurul Haque/Shuttestock

Trump dan Jokowi promosikan klorokuin untuk melawan COVID-19, tapi bukti ilmiah keampuhan obat sangat meragukan

Walau Presiden Amerika Serikat Donald Trump dan Presiden Indonesia Joko Widodo telah menunjukkan minatnya menggunakan hidroksiklorokuin (HCQ) dan klorokuin (CQ) untuk mengobati pasien COVID-19 di negaranya masing-masing, sebenarnya sampai kini belum ada bukti saintifik yang kredibel bahwa obat antimalaria itu bisa menyembuhkan orang yang terinfeksi virus corona.

Karena itu, langkah Jokowi pada pertengahan Maret lalu memesan tiga juta klorokuin dan penggunaan sumber daya dan anggaran untuk mengobati pasien COVID-19 dengan obat tersebut tidak memiliki landasan ilmiah yang kokoh. Alih-alih bisa menyembuhkan, jika penggunaannya tidak diawasi ketat oleh tenaga medis justru berpotensi membahayakan pasien COVID-19.

Secara global, Otoritas Obat dan Makanan (FDA) Amerika Serikat memang telah mengeluarkan izin penggunaan darurat hidroksiklorokuin dan klorokuin untuk COVID-19, tapi belakangan keputusan ini menuai kritikan dari para ahli farmasi di negara tersebut.

Alasan kritik mereka sangat mendasar: informasi keampuhan HCQ/CQ untuk COVID-19 berasal dari penelitian-penelitian yang sangat terbatas dan bahkan diragukan kualitas ilmiahnya.

Potensi penggunaan klorokuin untuk pasien COVID-19 pertama kali disuarakan oleh pemerintah Cina lewat konferensi pers pada 17 Februari 2020. Namun demikian, mereka tidak pernah mempublikasikan data ilmiah atas klaim ini.

Riset awal terbatas bukan pada manusia

Pada 4 Februari Institut Virologi Wuhan Cina melaporkan penelitian eksperimental in-vitro untuk klorokuin dan kemudian hidroksiklorokuin pada 18 Maret. Penelitian in-vitro merupakan riset eksperimental untuk melihat dosis obat yang dibutuhkan guna membunuh virus, dengan melibatkan sel inang yang telah terinfeksi. Riset ini dilakukan di laboratorium tanpa melibatkan pasien COVID-19 yang sesungguhnya.

Kedua riset Institut Virologi Wuhan Cina tersebut menunjukkan dua jenis obat itu mampu membunuh virus SARS-CoV-2 dalam dosis rendah.

Walau pada tahap awal menunjukkan potensinya, riset in-vitro ini memiliki desain eksperimen yang sangat terbatas sehingga tidak dapat langsung diaplikasikan pada manusia. Keterbatasan utamanya terletak pada metodenya yang tidak menggunakan pasien COVID-19, sehingga tidak dapat menentukan respons dari sistem biologi manusia yang sangat kompleks, apakah responnya menguntungkan bagi efek terapi atau justru menimbulkan keracunan.

Selain itu, penelitian ini juga tidak dapat menentukan dosis yang diperlukan untuk mencapai kadar obat dalam darah pasien yang memadai untuk efek terapi.

Oleh karena itu, diperlukan penelitian-penelitian lanjutan yang melibatkan pasien.

Uji klinik pertama pada manusia di Prancis: lemah metodologi

Hingga saat ini hanya ada satu penelitian dari Prancis yang melaporkan keampuhan hidroksiklorokuin bagi pasien COVID-19. Penelitian ini terbit pada 20 Maret 2020 di International Journal of Anti-Microbial Agents.

Dalam penelitian ini, Didier Raoult dan timnya dari University of Marseille mencoba penggunaan hidroksiklorokuin terhadap 36 pasien positif COVID-19.

Pasien-pasien ini dibagi kepada dua kelompok, yaitu kelompok A yang menerima 200mg hidroksiklorokuin tiga kali sehari sebanyak 20 pasien dan kelompok B yang menerima perawatan biasa tanpa HCQ sebanyak 16 pasien sisanya. Enam di antara pasien kelompok A juga diberi anti-bakteri, Azithromycin, disamping HCQ.

Pada hari keenam, semua pasien menjalani tes RT-PCR. Hasilnya menunjukkan lebih banyak pasien kelompok A yang hasil tesnya negatif, dibanding pasien kelompok B.

Di samping itu, semua pasien yang menerima kombinasi Azithromycin dan HCQ hasil tesnya negatif. Raoult mengklaim bahwa hal ini menunjukkan keampuhan HCQ bagi pasien COVID-19, terutama jika diberikan secara kombinasi dengan Azithromycin.

Bias penelitian: 4 cacat serius

Belakangan, peneliti-peneliti di dunia bersuara, dan umumnya mereka meragukan kualitas penelitian yang dipimpin oleh Raoult ini.

Lima hari setelah artikel itu terbit, Kerstin Frie dan Kome Gbinigie dari The Centre for Evidence-Based Medicine Oxford University memberikan rangkuman yang menyeluruh mengenai respons para saintis ini. Berikut ini catatan kritik dari kedua peneliti:

Pertama, jumlah partisipan sebenarnya dari kelompok A adalah 26 pasien, tapi 6 pasien harus dikeluarkan di tengah riset karena perawatannya berhenti. Mereka dikeluarkan karena masuk unit perawatan intensif (ICU), meninggal, atau mengalami efek samping. Data dari keenam pasien ini sama sekali tidak dimasukkan dalam analisis.

Hal ini memungkinkan terjadinya bias sebab ada sebagian dari data pasien yang sedari awal dimasukkan dalam riset tapi tidak dianalisis untuk mengambil kesimpulan akhir.

Kedua, dengan jumlah pasien hanya 36, studi ini terbilang lemah. Raoult dan timnya sendiri mengkalkulasi bahwa setidaknya diperlukan 48 pasien agar analisis statistik yang dilakukan memiliki tingkat kepercayaan yang memadai. Ini artinya, terdapat risiko bahwa riset ini memberikan hasil positif palsu, yakni efek terapinya terlalu menonjol karena rendahnya jumlah pasien.

Ketiga, salah satu pasien yang dites negatif RT-PCR pada hari ke-6 ternyata kembali positif pada hari ke-8. Ini menunjukkan kelemahan lain, yakni tidak ada data kondisi pasien untuk jangka menengah dan jangka panjang setelah pemberian HCQ.

Keempat, desain eksperimen yang dipilih bukan desain eksperimen uji klinik yang terbaik untuk menentukan kemanjuran dan keamanan suatu obat.

Desain uji klinik terbaik

Desain terbaik adalah “randomized-controlled trial”. Dengan desain ini pasien-pasien COVID-19 dibagi secara acak (random) dalam kelompok penerima HCQ/CQ dan kelompok bukan penerima HCQ/CQ.

Pembagian acak ini sangat penting untuk meminimalkan bias pengelompokan, misalnya sengaja atau tidak sengaja, pasien-pasien dengan gejala lebih ringan masuk dalam kelompok penerima HCQ/CQ sehingga hasil akhirnya menunjukkan lebih banyak pasien pada kelompok ini yang sembuh.

Raoult membagi pasien-pasiennya ke dalam kelompok A dan B, tanpa melakukan randomisasi (pengacakan), sehingga tidak bebas dari kemungkinan bias pengelompokan.

Studi observasi pasien di Amerika Serikat

Baru-baru ini dilaporkan sebuah studi observasi yang menganalisis hasil pengobatan 1.376 pasien COVID-19 di Amerika Serikat dengan membandingkan antara pasien yang diberi HCQ (811 pasien) dan pasien yang tidak diberi HCQ (565 pasien).

Hasilnya tidak konklusif. Para penelitinya mengakui bahwa hasil studi ini tidak dapat digunakan untuk menentukan kemanjuran dan keamanan HCQ. Selain itu, mereka juga tidak merekomendasikan penggunaan HCQ selain untuk keperluan penelitian uji klinik.

Dalam hal ini, mereka mengatakan bahwa uji klinik randomized controlled trial diperlukan untuk memutuskan boleh atau tidaknya HCQ digunakan pada pasien COVID-19.

Efek samping

Selain persoalan di atas, HCQ/CQ juga memiliki efek samping yang tidak ringan seperti kerusakan pada retina (mata) dan gangguan otot jantung.

Selain itu, sebagian pasien COVID-19 mengalami penurunan fungsi hati dan ginjal sebagai bagian dari perjalanan penyakitnya. Dampaknya, kemampuan hati dan ginjal memproses serta membuang HCQ/CQ dari tubuh menjadi sangat terbatas dan ancaman keracunan menjadi besar.

Semua ini menunjukkan bahwa penggunaan HCQ/CQ untuk pasien-pasien COVID-19 belum memiliki landasan ilmiah yang kuat. Sementara potensi terapinya masih diragukan karena kelemahan desain eksperimennya, potensi keracunannya jelas membayangi pasien-pasien yang akan menerima rawatan dengan HCQ/CQ.

Data The Cochrane Collaboration menunjukkan saat ini sedang dilakukan 240 uji klinik penggunaan HCQ/CQ untuk COVID-19 di seluruh dunia. Dari jumlah itu, 198 di antaranya menggunakan metode “randomized controlled trial” yang diharapkan mampu memberi kesimpulan yang kuat akan potensi kemanjuran dan keamanan HCQ/CQ. Kita berharap para peneliti ini dapat segera mempublikasikan hasil penelitiannya.

Bagi pemerintah Indonesia, dengan jumlah kasus positif COVID-19 lebih dari 15.400 per 13 Mei , sebenarnya memiliki peluang besar untuk juga studi “randomized controlled trial” sendiri sebelum diputuskan penggunaan HCQ/CQ untuk pasien COVID-19.

Studi ini perlu dilakukan banyak lembaga riset dengan melibatkan universitas dan desain riset yang memenuhi standar ilmiah. Riset dibutuhkan untuk memastikan bahwa penggunaan HCQ/CQ untuk pasien COVID-19 memiliki landasan ilmiah yang kukuh dan informasi yang akurat mengenai potensi kemanjurannya dan kemungkinan efek-efek sampingnya.

Juga untuk memastikan bahwa penggunaan anggaran dan sumber daya untuk pengadaan HCQ/CQ serta untuk perawatan para pasien COVID-19 secara umum memiliki landasan yang kukuh.

Jangan sampai terulang “tragedi” seorang presiden mempromosikan suatu “resep medis” secara terbuka untuk ribuan hingga jutaan pasien penyakit menular yang ganas seperti COVID-19, tanpa dilandasi bukti ilmiah yang kredibel. Itulah yang terjadi di Indonesia dan Amerika Serikat sekitar satu setengah bulan lalu.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,500 academics and researchers from 4,943 institutions.

Register now