Menu Close

Tumbuh kembang anak usia dini sangat memengaruhi capaian pendidikan: 3 aspek yang perlu Indonesia perhatikan

(ANTARA FOTO/Atika Fauziyyah)

Selama dua dekade terakhir, sistem pendidikan di Indonesia mengalami perubahan progresif dari segi anggaran hingga kurikulum. Namun, ini tidak serta merta diikuti dengan peningkatan capaian belajar siswa.

Skor murid Indonesia dalam tes global Programme for International Students Assessment (PISA) yang mengukur capaian belajar di usia 15 tahun, misalnya, cukup rendah dari 2009-2018. Indonesia hampir selalu menduduki 10 peringkat terbawah dengan skor di bawah rerata 79 negara peserta.

Penelitian kami dengan Tanoto Foundation tahun ini menunjukkan bahwa intervensi yang lebih baik pada anak usia dini (0-6 tahun) bisa jadi solusi untuk mendukung upaya peningkatan capaian pendidikan.

Studi kami menekankan perlunya perbaikan pada setidaknya tiga aspek: sistem Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), pemenuhan asupan gizi anak, hingga pola pengasuhan anak (parenting) oleh orang tua.

Hal ini selaras dengan riset yang mengatakan bahwa sekitar 85% proses pembentukan kognisi dan otak anak terjadi hingga usia 6 tahun.

Kualitas hidup anak pada usia dini memiliki dampak yang signifikan pada perkembangan kognitif mereka saat tumbuh dewasa, dan pada akhirnya memengaruhi capaian pendidikan pada jenjang berikutnya di sekolah dasar (SD) hingga sekolah menengah (SMP-SMA).

1. Perbaikan pada sistem PAUD

Di Indonesia, PAUD dirancang untuk anak usia 0-6 tahun. Bentuknya bisa berupa pendidikan formal (seperti Taman Kanak-Kanak), pendidikan non-formal (seperti Kelompok Bermain (KB) atau Taman Penitipan Anak (TPA)), dan pendidikan informal yang diselenggarakan keluarga atau lingkungan sekitar.

Studi yang diinisiasi oleh Bank Dunia selama 2009-2016 menunjukkan bahwa PAUD berkontribusi pada capaian belajar kelompok anak usia 0-6 tahun, dan bahkan hingga masa awal SD yakni 6-9 tahun.

Studi tersebut juga menunjukkan bahwa anak yang mengakses PAUD mengembangkan kemampuan berbahasa dan kemampuan sosial mereka lebih awal.

Sayangnya, sistem PAUD di Indonesia masih belum optimal – dari segi akses, kualitas, pendanaan, hingga sumber daya yang tersedia di berbagai institusi.


Read more: KB, vaksinasi, dan SD Inpres telah bantu Indonesia kurangi kemiskinan selama 75 tahun, tapi tantangan ke depan masih banyak


Saat ini, terdapat ketimpangan jumlah PAUD di berbagai wilayah. Dari total sekitar 205.000 PAUD di Indonesia, sebanyak sekitar 38.000 berada di Jawa Timur, sedangkan hanya terdapat 939 dan 629 berada di Papua dan Kalimantan Utara.

Kualitas PAUD di Indonesia pun masih perlu banyak perbaikan.

Hanya terdapat 32% tenaga pengajar PAUD yang memiliki gelar sarjana pendidikan, sementara 68% lainnya merupakan lulusan SMA.

Sekitar 80% PAUD di Indonesia juga tidak memegang akreditasi dari Badan Akreditasi Nasional (BAN). Padahal, ini penting untuk menjamin mutu dari pendidikan anak usia dini.

Mayoritas PAUD yang belum terakreditasi ini berupa layanan non-formal, dan biasanya beroperasi di rumah warga, garasi, maupun posyandu.

Selain itu, dari total anggaran pendidikan nasional (tahun ini sekitar Rp 550 triliun, hanya 1,33% dialokasikan untuk PAUD. Dana Anak-Anak Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNICEF) merekomendasikan setidaknya 10% anggaran pendidikan setiap negara dialokasikan untuk PAUD.

Banyak PAUD, misalnya di provinsi Nusa Tenggara Timur, juga terletak cukup jauh dari tempat tinggal penduduk.

Berbagai hal di atas membuat orangtua cenderung memilih anak tetap tinggal di rumah tanpa merasa perlu mengakses PAUD. Akhirnya, mereka melewatkan periode emas dalam tumbuh kembang anak.

2. Pentingnya asupan gizi anak

Rangkaian riset tahun 2016 yang diterbitkan jurnal terkemuka The Lancet mengatakan bahwa aspek lain yang harus diperhatikan untuk memaksimalkan tumbuh kembang anak pada usia 0-3 tahun adalah kesehatan dan gizi.

Kumpulan studi tersebut juga mengungkapkan bahwa pemenuhan gizi yang baik meningkatkan kesejahteraan anak saat dewasa – termasuk pendapatan dan capaian belajar.

Salah satu indikator capaian Indonesia dalam asupan gizi anak bisa dilihat dari angka stunting (tubuh pendek akibat kekurangan gizi).

Laporan Nutrisi Global (GNR) pada tahun 2018 menunjukkan adanya penurunan angka stunting pada balita di Indonesia. Angkanya turun dari 42% pada tahun 2000, menjadi 27.67% pada tahun 2019.


Read more: Strategi menurunkan angka stunting di Indonesia: memetakan status gizi balita hingga tingkat desa


Meski laporan tersebut menunjukkan progres di tingkat nasional, hal ini tidak terjadi secara seragam di tingkat daerah.

Berdasarkan data tahun 2019 dari Kementerian Kesehatan (Kemenkes), misalnya, provinsi seperti Bali dapat menekan proporsi stunting hingga 14,42%, sementara di Nusa Tenggara Timur angkanya menyentuh 43,82%.

Studi yang dilakukan lembaga riset SMERU di Kabupaten Rokan Hulu, Riau, menunjukkan bahwa penuntasan stunting didorong berbagai faktor di tingkat daerah – dari akses ke air bersih dan sanitasi, suplai pangan, akses transportasi, hingga komitmen pemerintah desa.

Memperhatikan masalah gizi ini adalah langkah penting untuk mendukung peningkatan capaian pendidikan di Indonesia.

Sebuah riset di Etiopia mengungkapkan bahwa capaian pendidikan yang rendah secara statistik banyak terjadi pada anak-anak yang mengalami masalah gizi buruk dibandingkan pada anak-anak yang asupan gizinya baik.

3. Gaya pengasuhan (parenting) berperan besar

Rangkaian riset The Lancet di atas juga menekankan bahwa tumbuh kembang dan kemampuan kognitif anak dapat semakin optimal jika diperkuat dengan gaya pengasuhan yang baik dari orang tua.

Ini berarti menjamin lingkungan yang stabil bagi anak, melindungi mereka dari ancaman, serta memastikan relasi dengan orang di sekitar yang penuh dengan kasih sayang.

Berdasarkan studi tahun 2018 dari Bank Dunia, gaya pengasuhan baik beserta pemberian bantuan uang tunai (cash transfer) – terutama pada keluarga kurang mampu – membantu memesatkan perkembangan kognitif, linguistik, dan sosio-emosional anak di Kolumbia, Meksiko, Nigeria, dan Peru.

Saat ini, berbagai instansi pemerintah maupun lembaga non-pemerintah (NGO) berupaya mengembangkan berbagai program untuk meningkatkan kualitas pengasuhan dari orang tua di Indonesia.


Read more: Antara pola asuh otoritatif dan otoriter: mana yang lebih baik untuk anak Indonesia?


Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA), misalnya, memperkenalkan Peta Jalan Pengasuhan Anak yang berisi panduan menerapkan gaya pengasuhan yang baik bagi anak di berbagai lingkungan, termasuk keluarga. Tanoto Foundation juga memiliki jaringan Rumah Anak SIGAP yang menawarkan edukasi kepada masyarakat terkait pengasuhan dan pembelajaran anak.

Sayangnya, masih terdapat tantangan dalam implementasinya di Indonesia.

Kajian lain dari Bank Dunia menunjukkan bahwa berbagai program terkait pola pengasuhan anak sering mengalami kendala dalam komunikasi dengan target orang tua. Banyak orang tua sering melewatkan informasi krusial di tahap usia tertentu pada masa perkembangan anak.

Baik pemerintah maupun non-pemerintah yang menyelenggarakan program harus berkoordinasi dengan lebih baik terkait keterampilan yang ingin dibangun pada orang tua, serta cara sosialisasinya supaya lebih mudah diadopsi.

Butuh kerjasama lintas bidang dan sektor

Intervensi anak usia dini adalah upaya yang kompleks, bersifat lintas disiplin, dan memerlukan dukungan lintas sektor – dari pendidikan hingga kesehatan.

Studi yang kami lakukan, misalnya, menegaskan pentingnya pemerintah menjamin kerjasama antar kementerian dan dinas, serta ketersediaan dana yang optimal untuk menyusun kebijakan yang menyasar pemenuhan asupan gizi dan pendidikan anak pada usia dini.

Riset kami juga menekankan pentingnya data mengenai kemajuan belajar anak (seperti PISA) yang diinisiasi oleh pemerintah di tingkat nasional maupun daerah.

Harapannya, hal ini bisa membantu pemetaan yang lebih akurat bagi pembuatan kebijakan, program, dan pengembangan riset terkait pendidikan anak.

Hal-hal di atas adalah pekerjaan bersama yang menantang, namun intervensi pada anak usia dini yang lebih optimal akan memberi dampak yang signifikan bagi peningkatan capaian belajar siswa di Indonesia.


Artikel ini terbit melalui dukungan dari Tanoto Foundation. Monica Agnes Sylvia, Innovation Analyst di Tanoto Foundation dan juga Belynda McNaughton, konsultan pendidikan independen, berkontribusi dalam penulisan artikel ini.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,400 academics and researchers from 4,942 institutions.

Register now