Menu Close

UMKM selama ini menjadi bantalan krisis. Apa dampak resesi kali ini pada UMKM dan bagaimana melindunginya?

Digitalisasi UMKM
Pameran UMKM Merah Putih menampilkan ribuan produk dan berlangsung secara luring pada 28 - 30 November serta daring hingga 31 Desember 2022. Ini merupakan dukungan pada upaya pemerintah dalam mendorong digitalisasi UMKM. ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay/nym

Data Moneter Internasional (IMF) memprediksi bahwa ekonomi global akan menghadapi resesi pada tahun 2023. Tantangan dari resesi ini bisa menyebabkan kenaikan harga-harga dan mempengaruhi beberapa sektor.

Salah satu sektor yang terbesar dalam perekonomian Indonesia adalah usaha mikro kecil dan menengah (UMKM). Data menunjukkan bahwa kontribusi UMKM terhadap pendapatan domestik bruto (PDB) Indonesia mencapai 60.5%. Bahkan, dalam laporan Asian Development Bank (ADB), UMKM pada akhir 2018 berkontribusi terhadap sekitar 97% lapangan pekerjaan di masyarakat atau setara 117 juta pekerja yang ada.

Memang, dalam konteks krisis, UMKM telah teruji pada krisis moneter 1998 dan krisis keuangan global 2008. Riset menunjukkan bahwa UMKM bisa menjadi buffer shock (peredam guncangan) di tengah kondisi makroekonomi yang buruk. UMKM bisa melakukan ekspansi sesuai dengan kebutuhan permintaan masyarakat, atau memotong produksi ketika kondisi ekonomi semakin memburuk.

Namun, UMKM sangat sensitif jika terkena krisis yang menyangkut kenaikan harga dan juga pembatasan mobilitas (PPKM) yang berlaku. Riset menunjukkan bahwa sejumlah UMKM tutup akibat kebijakan pemerintah menerapkan pembatasan selama COVID-19.

Kami akan membahas bagaimana resesi yang berpotensi terjadi tahun depan akan berdampak pada UMKM, seperti apa kebijakan pemerintah dalam melindungi UMKM saat ini, dan bagaimana perlindungan dan penguatan sektor tersebut seharusnya dijalankan.

Kondisi UMKM Indonesia

Terdapat tiga dampak resesi yang dapat memukul UMKM.

Pertama, kenaikan bahan baku impor akan mempengaruhi running cost (biaya operasi sehari-hari) UMKM. Kenaikan suku bunga Bank Sentral Amerika membuat likuiditas dolar Amerika Serikat kembali ke negara asal sehingga dapat menurunkan nilai tukar rupiah. UMKM yang bahan bakunya impor dapat tertekan dengan biaya yang mengalami lonjakan yang besar jika nilai tukar dolar terhadap rupiah menguat.

Kedua, kebijakan Bank Indonesia untuk menjaga inflasi dan mata uang dengan menaikkan suku bunga menaikkan biaya UMKM untuk mengambil kredit UMKM.

Salah satu permasalahan mendasar dan patut dibenahi dalam konteks UMKM adalah produktivitas tenaga kerja. Di ASEAN, produktivitas UMKM Indonesia termasuk yang paling rendah. Data menunjukkan bahwa produktivitas Indonesia berkisar antara US$500 (Rp 7,86 juta) per kapita. Jauh lebih kecil dibandingkan Singapura yang mencapai US$6000 US per kapita atau Thailand yang mencapai US$4800.

Alasan yang mendasarinya adalah aturan ketenagakerjaan yang menyulitkan UMKM untuk berubah dari sektor informal ke sektor formal, diatur dalam UU No. 20 tahun 2008 tentang kriteria UMKM.

Hal ini menyulitkan UMKM untuk mengakses kredit perbankan karena harus menggunakan jaminan. Akibatnya, UMKM sulit mendapatkan pembiayaan untuk melakukan ekspansi bisnis dan berpengaruh kepada saldo usaha mereka.

Ketiga, UMKM yang mendukung sektor manufaktur susah mendapat pesanan jika krisis berlanjut dan jika terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK) secara massal yang belakangan mulai terjadi.

Selain itu, di tengah kondisi yang tidak bergairah, UMKM juga bisa mengalami kebingungan untuk ekspansi bisnis jika tidak ada alternatif kredit. UMKM yang merupakan tulang punggung perekonomian bisa ambruk jika masyarakat tidak mempunyai pendapatan untuk menggerakan ekonomi lewat konsumsi.

Evaluasi kebijakan pemerintah: apa yang perlu dilakukan?

Sejak COVID-19 memukul Indonesia hingga saat ini, Kementerian Koperasi dan UKM setidaknya memiliki program bersama jajaran pemerintah pusat lainnya.

Pemerintah memperkenalkan dua program pembiayaan sebagai bantuan, yaitu Bantuan Presiden Produktif untuk Usaha Mikro dan Program Stimulus Ekonomi kepada UMKM. Semua usaha mikro dapat mengakses program pertama jika belum memperoleh pinjaman. Sedangkan program kedua, yang cakupannya juga menjangkau usaha kecil dan menengah, memiliki persyaratan lebih banyak, seperti terdaftar sebagai wajib pajak dan memiliki utang yang lancar.

Namun, perlu dicatat bahwa di tengah potensi memburuknya kondisi perekonomian tahun depan, UMKM membutuhkan kelonggaran dalam akses kredit. Selain itu, pemerintah perlu memastikan agar uang yang diberikan memiliki hasil evaluasi yang baik untuk pengembangan produktivitas.

Selain program pembiayaan, terdapat enam program prioritas seperti pendataan lengkap UMKM, pengelolaan UMKM terpadu, pengembangan kewirausahaan nasional, pengembangan PLUT (Pusat Layanan Usaha Terpadu), pengentasakan kemiskinan ekstrem, dan Koperasi Modern.

Di antara program tersebut, pendataan lengkap UMKM merupakan salah salah satu program yang krusial untuk menciptakan kebijakan koperasi dan UMKM berbasis riset. Sebab, kebijakan penggunaan data yang sesuai dengan observasi lapangan tidak terlepas dari program prioritas untuk mengembangan UMKM terpadu dan PLUT.

Apa itu PLUT? PLUT merupakan pusat inovasi di daerah sehingga menunjang UMKM. Harapannya, PLUT bisa menjadi one stop service untuk pengembangan UMKM, mulai dari menyediakan pelatihan hingga konsultasi bagi UMKM yang baru muncul.

Pendataan akan membuat PLUT dapat berjalan optimal dan tepat sasaran. Pemerintah berharap agar PLUT bisa merangsang pertumbuhan UMKM atau meningkatkan kewirausahaan nasional, sekaligus meningkatkan kualitas UMKM yang sudah ada. Sampai hari ini, masih terdapat 74 PLUT di seluruh Indonesia.

Masalahnya, PLUT membutuhkan tenaga pendamping dan semua pengembangannya diserahkan oleh pemerintah daerah. Ini membuat komitmen pemerintah daerah menjadi sangat penting.

Dalam pengembangan PLUT, sudah seyogianya keterlibatan pemerintah pusat tetap dijaga. Alasannya, tidak semua pemerintah daerah berdedikasi menganggarkan PLUT sebagai prioritas. Ini terutama terkait peran pengawasan dan evaluasi program yang gencar agar PLUT bisa menjadi pusat inovasi dan memfasilitasi proses berkembangnya UMKM agar dalam jangka panjang bisa naik kelas.

Apa yang perlu dipersiapkan untuk meningkatkan ketahanan UMKM?

Agar krisis tahun 2023 tidak mempunyai efek yang mendalam bagi UMKM, setidaknya terdapat tiga hal yang diperlukan.

Pertama, program digitalisasi yang semakin masif. Pemilik UMKM yang terhubung dengan layanan e-commerce bisa memberikan nilai tambah produk. Sehingga, jika terjadi penurunan jumlah konsumen, UMKM terkait bisa mencari target pasar yang lain.

Kedua, pembiayaan yang murah. Tanpa pembiayaan yang terjangkau, UMKM akan sulit meningkatkan produktivitas dan melakukan ekspansi usaha. Bank milik negara seharusnya bisa bekerjasama untuk memastikan kredit didapatkan dengan suku bunga yang terjangkau.

Ketiga, walaupun sudah ada pembiayaan, UMKM memerlukan pendampingan. Optimalisasi PLUT tidak akan efektif jika pendamping tidak mengetahui kondisi lapangan yang ada. Sektor swasta sudah seharusnya dilibatkan agar sinergi UMKM sebagai pendukung bisa terjadi.

Tanpa itu semua, UMKM hanya memiliki pasar yang lebih kecil, tanpa berkesempatan untuk naik kelas. Harapannya, di masa depan UMKM bisa semakin modern dan berkualitas.

Suryaputra Wijaksana, ekonom dan analis kebijakan dari sebuah bank nasional, berkontribusi pada penulisan artikel ini

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,000 academics and researchers from 4,940 institutions.

Register now