Menu Close
Uji materi adalah pengujian UU yang berkenaan dengan materi muatan dalam ayat, pasal, dan/atau bagian UU yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945. Davizro Photography/Shutterstock.

Upaya hukum yang bisa dilakukan untuk memperjuangkan hak guru dan dosen

Guru dan dosen di Indonesia menghadapi banyak masalah dalam hal kesejahteraan seperti status pegawai yang tidak tetap dan upah yang tidak layak. Guru honorer di Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta, misalnya, ada yang hanya dibayar Rp 300.000 per bulan pada tahun 2022.

Tidak beda jauh, hasil survei yang dilakukan oleh dosen ilmu manajemen Universitas Indonesia (UI), Kanti Pertiwi, menunjukkan bahwa mayoritas gaji dosen berada di kisaran Rp 2 juta hingga Rp 5 juta per bulan. Jumlah ini, Kanti menambahkan, tidaklah layak karena tidak cukup untuk mereka yang sedang membangun rumah tangga, memiliki cicilan atau membiayai sekolah anak.

Adanya anggaran pendidikan nasional 20% atau sebesar Rp. 612,2 triliun untuk tahun 2023 harusnya bisa menjawab masalah ini.

Namun, karena porsi anggaran pendidikan terbesar dialokasikan melalui Tranfer ke Daerah dan Dana Desa (TKDD), yaitu dana dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) yang kemudian dialokasikan dan disalurkan ke daerah untuk dikelola oleh pemerintah daerah, porsi untuk perbaikan kesejahteraan guru menjadi tidak efektif.

Masalah ini membutuhkan solusi berlapis. Salah satu yang dapat diupayakan adalah dengan langkah hukum, terutama ketika undang-undang yang ada justru menjadi akar persoalan kompleksitas hubungan kerja guru dan dosen.


Read more: Berniat jadi guru atau dosen? Ini 2 masalah hubungan kerja guru dan dosen yang perlu diketahui


Uji materi sebagai solusi

Langkah hukum yang dapat diambil adalah dengan mengajukan uji materi Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Pengajuan ini dilakukan oleh pihak yang menganggap haknya dirugikan oleh berlakunya peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang, yaitu: perorangan warga negara Indonesia; masyarakat hukum adat, serta badan hukum publik atau privat.

Uji materi adalah proses pengujian peraturan perundang-undangan yang lebih rendah terhadap peraturan perundang-undangan lebih tinggi yang dilakukan oleh lembaga peradilan. Dalam hal ini, uji materi hanya perlu ditargetkan pada pasal-pasal yang bermasalah saja, bukan terhadap keseluruhan Undang-undang. Permohonan uji materi juga akan lebih efektif jika diajukan oleh guru dan dosen, baik yang berkumpul melalui serikat maupun individual, yang hak konstitusionalnya dirugikan secara nyata akibat pemberlakuan pasal-pasal tertentu dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005.

Ketika Mahkamah Konstitusi (MK), sebagai lembaga peradilan tertinggi di negara ini, menyetujui, maka MK akan menguji dua hal. Pertama, apakah UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen sudah sejalan dengan Undang-Undang Dasar 1945. Kedua, apakah pemberlakuan pasal-pasal tertentu dalam Undang-undang tersebut merugikan hak konstitusional guru dan dosen, terutama hak atas “pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan” (Pasal 27 Ayat (2) UUD 1945) dan hak untuk “bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja” (Pasal 28 D Ayat (2) UUD 1945).

Pasal mana yang bisa diuji?

Dalam konteks hubungan kerja guru dan dosen, uji materi bisa dilakukan pada pasal-pasal terkait pengangkatan dan pasal-pasal yang terkait gaji.

1. Pasal terkait pengangkatan dan penempatan

Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005 menyebutkan bahwa pengangkatan dan penempatan pendidik pada sekolah pertinggian negeri diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah (lihat Pasal 25 Ayat (2) untuk guru, dan Pasal 63 Ayat (2) untuk dosen). Sedangkan pengangkatan dan penempatan sekolah dan perguruan tinggi swasta dilakukan berdasarkan perjanjian kerja atau kesepakatan kerja dengan pemberi kerja (lihat Pasal 25 Ayat (3) untuk guru, dan Pasal 63 Ayat (3) untuk dosen).

Dua pasal ini bisa diuji karena tidak memberikan perlindungan secara tegas kepada guru dan dosen dari kelalaian, kekeliruan, atau bahkan kesengajaan maladministrasi sekolah atau perguruan tinggi yang menyebabkan masalah status hubungan kerja.

Dalam kasus status dosen ‘tidak tetap’ Perguruan Tinggi Swasta (PTS) yang dipekerjakan tanpa Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT), Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005 tidak menjamin perubahan status mereka menjadi dosen tetap karena aturan turunan Undang-undang Guru dan Dosen yang mengatur syarat administratif yang semestinya diurus oleh pemberi kerja seperti Nomor Induk Dosen Nasional (NIDN). Padahal, berdasarkan ketentuan Undang-undang Ketenagakerjaan, status ini dapat beralih menjadi ‘tetap’.

Hal ini tentunya merugikan guru dan dosen karena konstitusi telah menjamin hak setiap orang untuk mendapat “perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja”, sesuai Pasal 28 D Ayat (2) UUD 1945 yang dalam hal ini berarti memiliki kesempatan untuk mengubah status pekerjaan.

Pasal-pasal yang mengatur pengangkatan dan penempatan pendidik dalam undang-undang tersebut semestinya diperjelas sebagai berikut:

1) Kebutuhan administratif terkait pengangkatan guru tetap dan dosen tetap seperti pembuatan kontrak dan surat keputusan pengangkatan menjadi tanggung jawab satuan pendidikan selaku pemberi kerja; dan

2) Kelalaian, kekeliruan, atau kesengajaan dalam memenuhi syarat-syarat tidak dapat menghalangi guru dan dosen untuk mendapatkan jaminan atas keberlangsungan pekerjaan dalam wujud status guru dan dosen tetap.

2. Pasal terkait ketentuan penggajian

Uji materi terhadap ketentuan penggajian dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen dapat ditujukan pada Pasal 15 dan Pasal 52 yang mengatur bahwa “Guru atau Dosen yang diangkat oleh pemerintah atau pemerintah daerah diberi ‘gaji’ sesuai dengan peraturan perundang-undangan”; dan “Guru atau Dosen yang diangkat oleh satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat diberi ‘gaji’ berdasarkan perjanjian kerja atau kesepakatan kerja bersama”.

Kedua pasal ini cenderung menyerahkan praktik pengupahan secara bebas pada perjanjian kerja yang dibuat oleh satuan pendidikan dan aturan kepegawaian Aparatur Sipil Negara (ASN) yang dibuat oleh pemerintah, sehingga melahirkan praktik pengupahan yang tidak mengikuti kebijakan Upah Minimum Regional (UMR).

Bahkan, dalam suatu kasus di pengadilan, ketika guru sekolah swasta memperjuangkan haknya untuk memperoleh upah sesuai dengan kebijakan UMR yang diatur dalam regulasi ketenagakerjaan, pihak sekolah justru menyanggah kewajibannya dengan argumen “guru tidak sama dengan buruh, sehingga tidak tunduk kepada Undang-undang Tenaga Kerja”.

Padahal, Indonesia telah mengadopsi kebijakan Upah Minimum Regional (UMR) sejak era Orde Baru dan terus dikembangkan melalui berbagai regulasi Ketenagakerjaan seperti Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 dan Peraturan Pemerintah terkait Pengupahan.

Ketentuan Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005 yang tidak tegas mengatur agar gaji guru dan dosen harus di atas upah minimum tersebut, berdampak pada pemberian gaji yang tidak dapat memenuhi hak atas “penghidupan yang layak bagi kemanusiaan” (Pasal 27 Ayat (2) UUD 1945).

Seharusnya, kata ‘gaji’ pada pasal-pasal tersebut dipertegas menjadi “nilai gaji pokok dan/atau tunjangan tetap guru dan dosen tidak boleh lebih rendah dari nilai upah minimum yang berlaku di lokasi guru dan dosen bekerja”.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,600 academics and researchers from 4,945 institutions.

Register now