Menu Close

UU Kesehatan baru: pemangkasan ‘mandatory spending’ justru potensial turunkan Angka Harapan Hidup?

Ketua DPR Puan Maharani (kedua kanan) menerima dokumen pandangan pemerintah dari Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin (kiri) saat pengesahan UU Kesehatan di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, 11 Juli 2023. ANTARA FOTO/Galih Pradipta/foc

Salah satu keputusan kontroversial dari Undang-Undang (UU) Kesehatan yang baru adalah parlemen dan pemerintah sepakat menghapus kewajiban belanja kesehatan minimal (mandatory health spending) sebesar 5% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan 10 % dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) untuk kesehatan.

Aturan ini sebelumnya diberlakukan karena mandat UU Kesehatan tahun 2009.

Menteri Kesehatan menghapus belanja wajib minimal ini karena menganggap alokasi anggaran tersebut tidak menjamin peningkatan derajat kesehatan penduduk. Menteri Budi Sadikin membandingkan angka harapan hidup (AHH) penduduk Amerika Serikat (AS) tidak lebih tinggi dibanding Jepang, Korea Selatan, Singapura, dan Kuba, walau belanja kesehatan per kapita AS paling tinggi dibanding negara-negara tersebut.

Cara pandang Menteri Kesehatan, yang hanya fokus pada pengaruh belanja kesehatan per kapita terhadap usia harapan hidup, sebenarnya kurang akurat. Sebab, angka harapan hidup, menurut sejumlah riset, dipengaruhi banyak faktor: sosiodemografik, makroekonomi, dan sumber daya kesehatan di suatu negara.

Karena itu, mereduksi usia harapan hidup hanya semata-mata dipengaruhi faktor belanja kesehatan sungguh mengaburkan akar masalah usia harapan hidup kurang panjang.

Usia harapan hidup dan anggaran belanja

Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan angka harapan hidup (AHH) penduduk Indonesia berada pada rentang 63,7-76,9 tahun pada 2022.

Rentang harapan ini bergantung pada jenis kelamin dan provinsinya. AHH terendah dimiliki laki-laki di Sulawesi Barat (63,7 tahun), sedang tertinggi dimiliki oleh perempuan di Daerah Istimewa Yogyakarta (76,9 tahun).

Menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO), AHH Indonesia adalah 71,3 tahun, lebih rendah dibanding rata-rata AHH global yang mencapai 73 tahun.

Lima negara yang mempunyai AHH paling tinggi adalah Jepang (84,3 tahun), Swiss (83,5 tahun), Korea Selatan (83,3 tahun), Spanyol (83,2 tahun), dan Singapura (83,2 tahun).

AHH adalah “perkiraan rata-rata lamanya hidup sejak lahir yang akan dicapai oleh penduduk”. AHH merupakan salah satu indikator atau penilaian derajat kesehatan dan perkembangan sosial suatu negara. Semakin tinggi AHH suatu wilayah maupun negara, menandakan semakin baik pula derajat kesehatan masyarakat di dalamnya.

Adapun AHH dipengaruhi beberapa faktor yang signifikan, yaitu

  1. Faktor sosiodemografik: angka kematian bayi, tingkat literasi, pendidikan, status sosioekonomi, pertumbuhan populasi, dan kesetaraan gender.

  2. Faktor makrooekonomi: Produk Domestik Bruto (PDB), Koefisien Gini atau ukuran ketidakmerataan, pendapatan per kapita, tingkat pengangguran, dan laju inflasi.

  3. Sumber daya kesehatan: fasilitas pelayanan kesehatan, jumlah sumber daya manusia kesehatan, pengeluaran kesehatan masyarakat, angka kematian, prevalensi perokok, tingkat polusi, dan ketercakupan vaksinasi.

Panjang umur dan pengeluaran di bidang kesehatan

Beberapa negara dengan AHH yang tinggi yang disebut di atas mempunyai persentase pengeluaran pemerintah di bidang kesehatan dibandingkan PDB sebesar 9,2% (Jepang), 7,7% (Swiss), dan 3,2% (Singapura).

Sedangkan persentase pengeluaran pemerintah di bidang kesehatan dibanding total pengeluaran pemerintah (mandatory health spending) pada 2020 di negara-negara tersebut adalah 20,6% (Jepang), 11,1% (Swiss), 13,6% (Korea Selatan), 14,9% (Spanyol), dan 13,3% (Singapura).

Pengeluaran kesehatan Jepang di atas rata-rata negara Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD), dan Jepang memiliki AHH tertinggi di antara negara OECD–84,3 tahun.

Beberapa faktor lain yang menyumbang pada tingginya AHH tersebut, selain pengeluaran kesehatan yang tinggi, adalah standar hidup yang tinggi, kemajuan pada bidang kesehatan, dan sistem pelayanan kesehatan yang universal dan mudah diakses penduduk.

Bila melihat kasus Korea Selatan, pengeluaran kesehatan negara tersebut dibandingkan PDB pada 2021 adalah sebesar 9,3%. Angka ini sedikit di bawah rata-rata negara OECD yang mencapai 9,6%. Namun, mengingat AHH Korea Selatan mencapai 83,3 tahun dan angka kematian bayi 2,9 per 1000 pada 2021, dapat kita asumsikan bahwa Korea memiliki sistem kesehatan yang baik.

Adapun penduduk Korea memang memiliki kebebasan yang tinggi untuk memilih penyedia layanan kesehatan, waktu tunggu yang singkat, dan kualitas pengobatan dan perawatan untuk penyakit akut berkelas dunia.

Dengan demikian, Korea berhasil menyediakan layanan kesehatan berkualitas tinggi, dengan tingkat pengeluaran yang relatif rendah. Pencapaian ini, bagaimana pun, harus dibayar mahal: hanya 63,4% biaya layanan kesehatan yang ditanggung asuransi, dan tingkat pengeluaran kesehatan yang dibayar secara pribadi sebesar 36,8%, melebihi rata-rata negara OECD sebesar 20,5% .

Kasus Amerika adalah pengecualian

AS mempunyai pengeluaran kesehatan sebesar 22,35% pada tahun 2020. Angka ini lebih tinggi dibanding Jepang dan Korea Selatan, tapi dengan AHH yang lebih rendah, yaitu 78,5 tahun.

Beberapa analisis menyatakan bahwa penyebab hal ini adalah karena tidak semua penduduk di AS memiliki akses terhadap layanan kesehatan (AS tidak memiliki asuransi kesehatan umum), dan sistem kesehatan AS tidak mendorong penduduk untuk mengakses layanan kesehatan.

Tingginya pengeluaran kesehatan secara pribadi juga menyebabkan hampir setengah penduduk dewasa usia kerja di sana menghindari atau terlambat mengakses layanan kesehatan.

Adapun pengeluaran kesehatan di AS yang tinggi disebabkan oleh mahalnya biaya layanan kesehatan. Di AS, pencegahan dan manajemen penyakit kronik juga tidak optimum, ditandai dengan tidak adanya kapasitas penanganan penyakit yang komprehensif, berkelanjutan, dan terkoordinasi.

Banyak penduduk AS mengalami keterbatasan akses pelayanan kesehatan primer yang efektif karena investasi yang rendah di bidang pelayanan primer selama bertahun-tahun, dan pasokan penyedia layanan kesehatan yang tidak mencukupi.

Beberapa ilustrasi di atas menekankan bahwa AHH dipengaruhi oleh kombinasi berbagai macam faktor. Pengeluaran kesehatan oleh suatu negara, standar hidup, sistem kesehatan, faktor sosioekonomi, dan lainnya memengaruhi AHH. Jadi, bukan akibat suatu faktor tunggal.

Bagaimana dengan di Indonesia?

Pasal 171 UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan mengamanatkan pemerintah secara mutlak mengalokasikan anggaran kesehatan minimal 5% dari APBN di luar gaji. Sementara pemerintah provinsi dan kabupaten kota mengalokasikan minimal 10% dari APBD di luar gaji.

Faktanya, mandatory health spending Indonesia hanya 2,7-4,9% pada 2012-2019, dan 6,6-9,4% pada 2020-2022, naik saat pandemi. Padahal, itu sebelum pasal wajib belanja minimal dihapus.

Angka ini lebih rendah dibandingkan Jepang, Swiss, Korea Selatan, Spanyol, Singapura dan AS. Indonesia memiliki AHH yang lebih rendah dibandingkan semua negara tersebut.

Ada kombinasi faktor yang memengaruhi AHH rendah tersebut. Selain mandatory health spending rendah, angka kematian bayi dan pertumbuhan populasi masih tinggi dan tingkat literasi dan pendidikan masih rendah. Status sosioekonomi dan pendapatan per kapita yang lebih rendah dibanding keenam negara di atas, jumlah sumber daya manusia kesehatan yang belum mencukupi, prevalensi perokok yang tinggi, dan tingkat polusi yang tinggi juga memperpendek usia harapan hidup penduduk Indonesia.

Menurut teori sistem kesehatan dari WHO, status kesehatan masyarakat seperti AHH akan dipengaruhi oleh enam komponen yang saling terkait: kebijakan dan tata kelola kesehatan, pembiayaan kesehatan, sumber daya manusia (SDM), informasi kesehatan, layanan kesehatan, dan akses pada obat dan teknologi kesehatan. Dari keenam komponen tersebut, pembiayaan kesehatan dan SDM merupakan input kunci.

Oleh karena itu, untuk meningkatkan AHH ini, kita perlu meningkatkan berbagai komponen sistem kesehatan secara komprehensif. Mengurangi kuantitas atau kualitas di salah satu aspek (misalnya mandatory health spending) diperkirakan tidak akan berdampak secara positif terhadap suatu indikator derajat kesehatan seperti AHH.

Sebaliknya, sebagai input esensial dari sistem kesehatan, level minimal pembiayaan kesehatan tetap harus dipertahankan. Jadi, keputusan Menteri Kesehatan dan parlemen memangkas mandatory health spending justru berpotensi menurunkan angka harapan hidup penduduk Indonesia.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,800 academics and researchers from 4,948 institutions.

Register now