Menu Close

Agar punya bekal memperjuangkan nasibnya, dosen perlu lebih banyak meneliti politik, tata kelola, dan kebijakan perguruan tinggi

(JD8/Shutterstock)

Munculnya seruan agar dosen berserikat tidak lepas dari keprihatinan terkait nasib dosen di Indonesia. Beragam kajian telah menggambarkan bagaimana banyak dari mereka bergaji rendah, dibebani tugas-tugas administratif yang berat, hingga terbelenggu ribetnya birokrasi perguruan tinggi oleh negara.

Namun, satu aspek yang masih jarang terkuak melalui riset adalah lemahnya posisi dosen dalam relasinya dengan negara. Sejak di hulu, kepentingan dosen dan perguruan tinggi tampak terpinggirkan dari agenda riset.

Dengan kata lain, dosen selama ini berlimpah pengetahuan tentang ilmu alam dan sosial – kecuali mengenai dirinya sendiri.

Sebagai gambaran awal, kami melacak sejauh mana topik-topik terkait profesi dosen dan tata kelola perguruan tinggi dibahas di jurnal-jurnal yang terindeks di basis data publikasi ilmiah SINTA, sebagai representasi agenda riset dominan di Indonesia. Khususnya, kami mengamati jurnal-jurnal ilmu politik dengan kategori kualitas teratas SINTA 1 dan 2.

Kami melakukan pencarian sederhana di lima jurnal ilmu politik nasional yakni Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Universitas Gadjah Mada), Jurnal Politik (Universitas Indonesia), POLITIKA (Universitas Diponegoro), Jurnal Wacana Politik (Universitas Padjajaran), serta Masyarakat, Kebudayaan dan Politik (Universitas Airlangga).

Pilihan kata kunci meliputi “tata kelola universitas”, “politik perguruan tinggi”, “serikat dosen”, “marjinalisasi dosen”, hingga “beban administratif dosen.” Sayangnya, kami tidak menemukan artikel jurnal tentang topik di atas.

Artikel-artikel yang lebih mudah ditemukan, misalnya, lebih menyangkut tema seperti “reformasi birokrasi”, “gerakan sosial”, “pemilu”, “desentralisasi”, “konflik agraria”, hingga “corporate social responsibility” (CSR).

Tentu, minimnya riset dan publikasi berbagai topik mengenai profesi dosen dan perguruan tinggi tidak dapat dibebankan pada pundak pengelola jurnal. Kami memilih jurnal semata karena artikel-artikelnya bisa menggambarkan tren dan perkembangan topik-topik penelitian dunia akademik Indonesia.

Namun, paling tidak, bukti ini dapat menjadi indikasi awal betapa diskusi terkait profesi dosen dan perguruan tinggi bak tamu di rumah sendiri.

Riset tentang perdosenan masih minim: apa implikasi politiknya?

Keterasingan dosen dari topik-topik yang berkaitan langsung dengan profesinya dan tata kelola perguruan tinggi membuat mereka minim pengetahuan perihal berbagai masalah yang bersumber dari politik dan kebijakan publik.

Selain itu, upaya advokasi guna merespons berbagai masalah tersebut – baik lewat komunikasi politik dengan pembuat kebijakan maupun pembentukan agenda kebijakan (agenda setting) melalui komunikasi ilmiah populer kepada publik – menjadi tak memiliki amunisi bukti (evidence) yang memadai.

Mari kita ambil contoh soal pembangunan kesadaran kolektif para dosen sebagai sebuah kelompok kepentingan (interest group).

Akademisi universitas berpengalaman meneliti dan melakukan advokasi tentang kebijakan sosial dan program kesejahteraan. Namun, kajian ilmiah untuk menguji hubungan antara program kesejahteraan yang dinikmati para dosen, dengan potensi terbentuknya identitas kolektif mereka sebagai dosen, misalnya, tidak pernah dilakukan.

Padahal, banyak studi menemukan korelasi antara kesejahteraan, dengan penguatan identitas kolektif, bagi kelompok penerimanya.

Profesor ilmu politik Massachusetts Institute of Technology (MIT) di Amerika Serikat (AS), Andrea L. Campbell, salah satunya, menjelaskan bagaimana para pensiunan di AS – yang menerima uang dari program jaminan sosial (social security) – berubah menjadi kelompok warga negara yang paling solid dan berdaya dalam politik.

Para pensiunan ini paling aktif mencoblos saat pemilu legislatif dan presiden. Mereka pun kelompok yang paling berkomitmen membayar iuran keanggotaan hingga mempekerjakan perusahaan lobi profesional untuk rutin melobi para anggota Kongres AS.

Mengapa demikian?

Selain untuk meningkatkan kualitas dan cakupan program kesejahteraan untuk pensiunan, tujuannya juga untuk membentengi berbagai program tersebut dari rongrongan politik apapun yang berupaya menghapusnya.

Survei dari sekelompok dosen tentang kesejahteraan akademisi di Indonesia yang terbit di The Conversation Indonesia pada awal Mei lalu tentu merupakan inisiatif yang amat baik.


Read more: Berapa gaji dosen? Berikut hasil survei nasional pertama yang memetakan kesejahteraan akademisi di Indonesia


Namun, sebagai kajian awal, studi tersebut belum menjangkau dinamika-dinamika di atas. Masih perlu lebih banyak lagi riset yang membongkar politik kesejahteraan dan pembentukan identitas kolektif para dosen di Indonesia.

Upaya advokasi untuk mengubah kebijakan perdosenan merupakan ikhtiar berlanjut dan berjangka panjang. Karenanya, suplai pengetahuan yang diperoleh dari penelitian ilmiah sebagai amunisi gagasan kebijakan dan inovasi, amat kita butuhkan.

Pentingnya suplai pengetahuan

Pengetahuan dari hasil penelitian akademik yang membedah beragam sisi dari isu ini, dan diakumulasi terus menerus, diperlukan guna mendukung upaya advokasi kebijakan tentang kesejahteraan dosen.

Pertama, advokasi ke dalam (inward looking).

Akumulasi pengetahuan ini berperan penting sebagai bahan diskusi hingga pembentukan narasi dan diskursus yang diperlukan bagi penguatan identitas sesama sejawat dosen.

Sebelum bisa bersepakat bergabung sebagai anggota serikat dosen, misalnya, seorang dosen perlu menyepakati secara gagasan (epistemic) tentang pentingnya serikat pekerja dalam mematahkan dominasi pemerintah dalam mengatur dosen hingga membela ketidakberdayaan dosen.


Read more: Bersyukur atau berkumpul? Menilik urgensi serikat dosen di Indonesia


Kedua, advokasi ke luar (outward looking), yakni kepada publik, pengambil kebijakan, dan kelompok kepentingan lainnya.

Stok pengetahuan merupakan “suplai materi” sosialisasi ide sekaligus upaya menyatukan visi para pekerja pengetahuan, kependidikan, dan kelompok masyarakat lainnya yang relevan.

Politik memang tak seluruhnya soal adu gagasan opini publik. Namun, tanpa itu, para dosen akan sulit meraih dukungan masyarakat. Mereka akan sulit membentuk wacana dalam meraih dukungan publik luas untuk mendorong reformasi karier dosen dan tata kelola perguruan tinggi.

Apa yang bisa dilakukan?

Lalu, bagaimana menjadikan topik politik, kebijakan, dan tata kelola perguruan tinggi dan profesi dosen menjadi tuan rumah di kampus?

Meski berangkat dari hal-hal kecil dan masih perlu strategi yang lebih komprehensif, berikut beberapa rekomendasi kami.

Pertama, pemangku kebijakan universitas dan dosen bisa berinisiatif untuk membuat semacam kuota hibah (affirmative actions) yang khusus diperuntukkan bagi topik-topik yang berkaitan dengan kebijakan dan tata kelola profesi dosen dan perguruan tinggi.

Bahkan, selain kuota, penting juga untuk memastikan bahwa penelitian tentang tata kelola perguruan tinggi dan profesi dosen tak berhenti di tahap riset saja. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIPOL) Universitas Gadjah Mada (UGM), misalnya, mengharuskan penerima hibah riset terkait suatu topik pada periode sebelumnya untuk kembali mengikuti seleksi hibah terkait advokasi kebijakan pada periode berikutnya.

Kedua, guna memperoleh dukungan lintas universitas, kita juga bisa memberdayakan beragam asosiasi program studi yang berbeda untuk mengangkat topik-topik terkait politik, kebijakan dan tata kelola perguruan tinggi dan profesi dosen.

Kolaborasi lintas disiplin amat bermanfaat – baik dalam menjangkau lebih banyak akademisi maupun merangkul lebih banyak perspektif – untuk membuat penelitian tentang kebijakan perdosenan lebih komprehensif, multidisiplin, dan interdisiplin.

Ketiga, skema kolaborasi dengan beragam organisasi nasional dan internasional, baik entitas publik maupun nonprofit, juga penting untuk kita manfaatkan untuk memperluas dukungan terhadap agenda riset dan advokasi ini.

Bagaimanapun, manfaat reformasi kebijakan dan tata kelola profesi dosen maupun perguruan tinggi tidak hanya dinikmati dosen semata. Kebijakan dan tata kelola yang lebih baik, misalnya, secara jangka panjang bisa membuat pendidikan tinggi dan riset-risetnya lebih relevan dan berkontribusi dalam pembangunan dan menjawab masalah publik.


Rifqi Rachman, kandidat MSc di The University of Edinburgh, Skotlandia, dan Dini Kusumaningrum, peneliti di Pusat Riset Kependudukan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) berkontribusi sebagai penelaah naskah awal tulisan ini.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,600 academics and researchers from 4,945 institutions.

Register now