Menu Close
Serikat dosen
Dosen pun juga merupakan pekerjaan yang rentan dan membutuhkan serikat. (Shutterstock/Oatawa)

Bersyukur atau berkumpul? Menilik urgensi serikat dosen di Indonesia

Artikel ini kami terbitkan untuk memperingati Hari Buruh (1 Mei) dan Hari Pendidikan Nasional (2 Mei).


Dyah (bukan nama sebenarnya), 34 tahun, ingin meniti karier yang dapat memberikan kestabilan ekonomi di tengah kondisi pandemi dan dengan jam kerja yang lebih fleksibel. Ibu beranak satu ini ingin memiliki quality time lebih banyak dengan keluarganya.

Ketika mendengar lowongan dosen tetap di universitas negeri ternama di Jawa Timur pada akhir 2021, Dyah merasa mendapat peluang emas untuk mewujudkan harapannya. Proses seleksi yang panjang dan mengharuskannya merogoh banyak uang, serta menyisihkan waktu bolak-balik lintas provinsi dari kediamannya di Jakarta, gigih ia jalani.

Namun, ketika Dyah dinyatakan lolos seleksi, dia dan rekan-rekan seangkatan yang diterima menjadi dosen mendapatkan banyak kejanggalan dalam kontraknya.

Pertama, Dyah terkejut ketika statusnya hanyalah dosen kontrak. Saat mempertanyakan hal ini, Dyah dan rekan-rekannya hanya diberitahu bahwa ini adalah prosedur umum dan nantinya kontrak mereka akan diperbaharui setelah satu tahun. Di penghujung kontrak, tiba-tiba status rekan-rekannya diubah menjadi asisten dosen karena belum mendapat gelar doktor. Padahal, kontraknya menyebutkan bahwa mereka diberi waktu lima tahun untuk itu.

Dyah pun menyadari realitas dosen di Indonesia tidak seindah yang dibayangkan.

Tuntutan Tri Dharma Perguruan Tinggi – yang mengharuskan seorang dosen memenuhi tugas untuk mengajar, meneliti, dan juga melakukan pengabdian pada masyarakat – serta posisinya sebagai dosen muda yang membuatnya harus banyak mengurusi tetek bengek administratif, menyita banyak waktunya untuk upah yang rendah.

Dyah hanya mendapat gaji pokok sekitar Rp 2 juta tiap bulan. Ini bahkan kurang dari Upah Minimum Provinsi (UMP) di Jawa Timur yang sebesar Rp 2.040.000 pada 2022.

Selain itu, proses evaluasi kinerjanya juga sangat subjektif.

Alih-alih diukur dengan indeks kinerja tertentu, Dyah dipermasalahkan karena ia “mengisi pelatihan” di luar kampus.

Pelatihan semacam ini biasanya disertai surat tugas dari kampus, yang bisa digunakan untuk mendapat uang tambahan dalam bentuk tunjangan. Namun, Dyah merasa administrasinya sering dipersulit. Ia menduga ini karena surat tugas dianggap hak untuk dosen yang lebih senior. Akhirnya, ia mengisi pelatihan hanya dengan afiliasi sebagai peneliti, tanpa surat tugas, dan – pada akhirnya – tanpa mendapat hak tunjangan dari kampus.

“Karena pekerjaan saya sebelumnya, saya cukup punya banyak teman di dunia penelitian. Saat mereka berkunjung ke Jawa Timur, mereka meminta tolong saya untuk menjadi pemateri,” terang Dyah.

Dyah pun akhirnya memutuskan mengundurkan diri awal tahun ini. Ia memboyong kembali keluarganya ke Jakarta setelah sebelumnya memutuskan pindah untuk menetap di dekat kampusnya.

Pengalaman Dyah ini bukanlah hal yang asing dalam dunia perdosenan di Indonesia.

Dalam riset terbaru yang dilakukan tim peneliti dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Universitas Indonesia (UI), dan Universitas Mataram tentang potret kesejahteraan dosen, kerap ditemukan keluhan serupa. Survei yang belum dipublikasikan ini baru saja berakhir dan berhasil melibatkan lebih dari 1.300 responden akademisi di Indonesia.

Salah satu rekomendasi penting dalam riset ini terkait pentingnya menampung dan mengadvokasi keluhan dan aspirasi para dosen secara kelembagaan dengan membentuk serikat dosen, yang saat ini belum berdiri di Indonesia.

Sekitar 87,5% responden dalam survei tersebut mengungkapkan perlunya ada serikat dosen serta kesediaan para dosen untuk bergabung. Ini menjadi gambaran rasa frustrasi para pengajar dan perlunya wadah untuk mengadvokasi suara mereka.

Sabtu lalu, organisati peneliti, dosen, dan mahasiswa dari berbagai provinsi yang tergabung dalam Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA) menyerukan kepada seluruh dosen di Indonesia untuk membangun serikat di level nasional bagi pekerja kampus. Menurut mereka, ini penting karena berserikat dapat meningkatkan daya tawar dosen ketika memperjuangkan masalah-masalah ketenagakerjaan di sektor pendidikan tinggi.

Urgensi berserikat: dari gaji rendah hingga kerentanan karier

Nabiyla Risfa Izzati, dosen hukum ketenagakerjaan dari Universitas Gadjah Mada (UGM), yang merupakan salah satu pencetus riset kesejahteraan dosen di atas, mengatakan minimnya perlindungan dan perjuangan kolektif untuk dosen menunjukkan urgensi untuk membentuk serikat dosen.

Undang-undang (UU) Ketenagakerjaan mendefinisikan serikat buruh atau serikat pekerja merupakan organisasi yang dibentuk dari, oleh, dan untuk pekerja. Organisasi ini berperan memperjuangkan, membela, serta melindungi hak dan kepentingan pekerja serta meningkatkan kesejahteraan mereka beserta keluarga.

Serikat dosen menjadi penting, misalnya, salah satunya untuk memperjuangkan upah layak bagi dosen. Selama ini, dosen di Indonesia belum memiliki kejelasan terkait standar gaji.

Perlu diketahui bahwa dosen di Indonesia bekerja dalam sistem upah yang berbeda tergantung instansi yang memperkerjakan mereka. Ada dosen yang bekerja untuk perguruan tinggi negeri (PTN) lalu perguruan tinggi swasta (PTS), dengan ikatan kerja yang berbeda-beda pula.

Untuk dosen yang berstatus sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) di PTN, standar upahnya mengikuti UU Aparatur Sipil Negara (ASN). Beberapa PTN Berbadan Hukum (PTN-BH) yang punya otonomi tinggi seperti kampus Nabiyla juga memilih menyamakan standar upah semua dosennya – bahkan yang bukan PNS – mengikuti UU ini. Namun, skema UU ASN ini pun punya problematikanya sendiri.

Berbeda dengan PNS pada umumnya, misalnya, dosen tak punya tunjangan kinerja sehingga harus melalui beragam proses terkait karier dan sertifikasi lainnya selama bertahun-tahun untuk sekadar mendapatkan tambahan uang.


Read more: Pakar Menjawab: Seperti apa potret gaji dan realitas kesejahteraan dosen di Indonesia?


Di luar skema ala pegawai negeri, Nabiyla mengatakan status dosen secara umum seharusnya mengikuti UU Ketanagakerjaan.

Namun, dalam realitasnya, mereka dianggap sudah dipayungi UU Guru dan Dosen yang hanya menggariskan upah sesuai “kebutuhan hidup yang layak” – tanpa memberi rujukan apa yang dimaksud layak.

Tanpa rujukan ini, akibatnya banyak dosen rawan digaji di bawah standar UMP masing-masing daerah.

Rata-rata UMP pada 2022, misalnya, bertengger di angka Rp 2,72 juta.

Namun, hasil sementara dari riset kesejahteraan dosen menunjukkan bahwa 42,9% responden yang telah mengisi survei mengatakan upahnya tidak lebih dari Rp 3 juta per bulan.

Hampir 80% dari responden juga merasa upah bulanan mereka tidak sepadan dengan beban kerja yang harus mereka jalani.

Ini bisa jadi hal yang kemudian memaksa banyak dosen untuk mencari pekerjaan sampingan di tengah kesibukan mereka memenuhi kewajiban Tri Dharma yang sudah berat.

Gaji yang rendah pun bukan satu-satunya masalah ketenagakerjaan yang menghantui dosen di Indonesia.

Selama ini, banyak dari mereka juga menghadapi isu beban administratif yang sangat besar hingga praktik ketenagakerjaan yang tidak adil terkait penilaian kinerja dan kebebasan akademik.


Read more: Data Bicara: setidaknya 64 dosen, mahasiswa, dan individu lain jadi korban pelanggaran kebebasan akademik selama 2019-2022


Ini semua bisa jadi mempengaruhi kondisi kesehatan mental dan kinerja mereka ketika mengajar, yang dapat berdampak pada kualitas pendidikan tinggi di Indonesia.

Saat ini belum ada wadah yang betul-betul bisa menyuarakan aspirasi dan keluhan dosen.

“Urgensinya (serikat dosen) memang untuk membuat suara kolektif, sih. Karena selama ini kan jarang sekali ya dosen itu punya suara kolektif untuk memperjuangkan sesuatu,” ujar Nabiyla.

Sejauh ini, ungkap Nabiyla, hanya terdapat perkumpulan-perkumpulan yang tersebar.

Kelompok-kelompok ini tidak berbentuk serikat yang terdaftar di Dinas Tenaga Kerja, dan tak terikat dengan UU No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh yang menggariskan fungsi-fungsi serikat termasuk untuk mengadvokasi.

Manfaat serikat

Peran serikat dosen sangat krusial di negara-negara lain, seperti Inggris dan Amerika Serikat (AS), dalam memperjuangkan hak-hak pekerja kampus.

Zahra Amalia, seorang mahasiswa PhD bidang sosiologi di University of California–San Diego (UCSD), AS, menceritakan pengalamannya pada akhir 2022 lalu. Ia menjadi salah satu dari 48.000 pekerja akademik dari 10 institusi di bawah payung University of California yang mendemo kampus mereka atas deretan praktik yang dianggap tidak adil – dari layanan yang lemah untuk mahasiswa difabel hingga beban biaya perawatan anak (child care) dari kampus yang sangat besar.

Demo yang merupakan aksi mogok pendidikan tinggi terbesar dalam sejarah AS ini digagas oleh beberapa kelompok serikat pekerja kampus, yang terdiri atas asisten pengajar, peneliti, hingga staf pascadoktoral.

Meski menyayangkan masih banyaknya tuntutan di atas yang pada akhirnya belum terpenuhi, Zahra menjelaskan sejumlah manfaat penting jika pekerja akademik berserikat ketimbang berjuang sendiri.

Pertama, posisi negosiasi yang lebih kuat untuk pekerja akademik – dari upah, asuransi, kontrak, hingga urusan ketenagakerjaan lainnya di kampus.

“Kita tuh nggak negosiasi sendiri sebagai Zahra, tapi sebagai pekerja akademik. Upah kita sudah dinegosiasikan, jadi kurang lebih kita tahu kita dibayar setara dengan yang lainnnya karena itulah yang kami negosiasikan sebagai unit,” katanya.

“Jadi, manfaatnya dari serikat ini adalah kita punya floor (batas minimum upah) yang sangat transparan, orang-orang minimal dapat ini – dan angkanya tidak akan kurang dari itu.”

Kedua, serikat bisa membantu pekerja akademik dalam menghadapi perselisihan ketenagakerjaan.

Zahra mengakui serikat membantu menyelesaikan masalah ketika kampus tidak membayar gajinya ketika dia bekerja sebagai asisten pengajar karena kelalaian administratif di era pandemi.

“Upahku nggak turun […] Jika kita tidak benar-benar hafal hukum [ketenagakerjaan] yang ada, mereka (serikat) akan lebih tahu dari kita.”

Ketiga, serikat bisa membantu pekerja akademik ketika ada praktik ketenagakerjaan yang tidak adil.

Tahun lalu, misalnya, seorang peneliti pascadoktoral internasional di UC-San Diego (UCSD) melaporkan adanya dugaan praktik pemalsuan data riset di lab tempat ia bekerja. Setelah itu, kontrak sang mahasiswa tidak dilanjutkan oleh penanggung jawab labnya.

“Jadi dia diputus kontrak, yang berarti dia di Amerika nggak punya asuransi karena [..] terikat sama kontraknya. Kalau dia melahirkan di sini, dia akan bangkrut. Dia juga nggak bisa pulang karena sudah hamil besar. Ini bukan hanya harassment, ini bener-bener kayak penyelewengan kekuasaan,” katanya.

Setelah serikat mendemo dan memberi tekanan ke kampus, mereka tak hanya berhasil mengembalikan kontrak sang mahasiswa, tapi juga memindahkannya ke lab lain.

“Jadi serikat sangat membantu menciptakan ‘suara’, tekanannya. Kalau aku sendiri aku nggak bisa. Ujung-ujungnya biasanya kan di Indonesia pencemaran nama baik atau ‘secara kekeluargaan’ diselesaikan. Itu manfaat berikutnya.”

Membangun kesadaran kolektif

Saat ini, menurut Nabiyla, sangat memungkinkan untuk membentuk serikat dosen secara legal di Indonesia. Tak ada landasan hukum yang betul-betul mengganjal, dan UU No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh sebetulnya sudah cukup memfasilitasi pembentukan serikat.

Kanti Pertiwi, dosen manajemen di UI yang juga tergabung riset kesejahteraan dosen, juga menyiratkan bahwa tak ada larangan bagi dosen yang berstatus pegawai negeri untuk berserikat di luar Korps Pegawai Republik Indonesia (KORPRI) yang memang tak diperuntukkan sebagai serikat pegawai.

Namun, ganjalan terbesar untuk memulai pembentukan serikat dosen ini bisa jadi akan berasal dari internal dosen sendiri.

Pedebatan mengenai status dosen sebagai “buruh” atau bukan, menjadi ganjalan terbesar.

“Masih banyak yang skeptis dan belum satu suara: apakah benar kita buruh? Masih ada yang mempertanyakan itu. Apakah benar kalau kita buruh kita perlu berserikat? Apakah kita tidak cukup bikin tulisan-tulisan ilmiah aja untuk menggugah hati pemerintah?” ujar Kanti.

Misalnya, ada kubu yang melihat profesi dosen sebagai bentuk pengabdian – yang mendapatkan manfaat status sosial di masyarakat sehingga apa pun imbalannya dianggap patut disyukuri.

Menurut Nabiyla, ini adalah anggapan yang keliru.

“Yang namanya semua orang yang melakukan pekerjaan, kita bukan pemilik modal, kita mendapatkan upah, kita berada dalam hubungan kerja, ya berarti kita pekerja atau buruh,” terang Nabiyla.

Pengakuan ini diperlukan untuk memahami bahwa dosen juga termasuk kelompok pekerja yang bisa rentan sehingga memerlukan perlindungan, salah satunya dari serikat pekerja.


Read more: Dosen adalah buruh: pengakuan ini adalah langkah pertama dalam memperjuangkan kesejahteraan akademisi


Tak hanya itu, ada relasi kuasa yang tidak imbang antara dosen senior dengan mereka yang dianggap junior. Hal ini pun berpotensi jadi batu sandungan.

“Kemungkinan union busting (upaya penjegalan serikat) dari orang yang lebih punya kuasa itu tentu saja ada, selalu ada [..] karena bagaimanapun dia mengganggu status quo kan? Pembentukan suara kolektif yang lebih besar itu sebenarnya akan mengganggu kuasa [..] Orang yang punya relasi kuasa yang lebih tinggi tentu saja sangat mungkin terganggu dengan upaya-upaya tersebut,” kata Nabiyla.

Perdebatan ini, menurut Nabiyla dan Kanti, justru semakin menegaskan perlunya serikat berdiri, yang memang bertujuan membangun suara kolektif.

Terkait bentuk serikatnya, Nabiyla melihat ada berbagai opsi.

Ada pilihan membentuk federasi nasional dengan jangkauan yang luas, mengingat banyak dosen tersebar di penjuru Indonesia dengan kondisi kesejahteraan yang belum banyak mendapat sorotan. Catatannya, tetap ada cabang serikat di tiap universitas atau wilayah tertentu agar para anggota bisa bertatap muka dan memperjuangkan isu secara lokal.

Namun, terlepas bentuknya, Nabiyla berpendapat yang terpenting adalah menggandeng dulu sebanyak mungkin massa yang mau berserikat.

Kuantitas adalah yang terpenting dalam membangun serikat, untuk memastikan suara mereka bergaung dan memberikan dampak. Apalagi, butuh massa yang tak sedikit untuk bisa merepresentasikan sekitar 300.000 dosen di Indonesia.

Menurut Nabiyla dan Kanti, membangun kesadaran kolektif akan menjadi perjuangan yang panjang.

Namun, upaya ini krusial agar dosen tak melulu “nrima ing pandum” atau berpasrah pada kesejahteraan dan kapasitas mengajarnya yang terhambat sehingga kita bisa menghindari mendengar kisah tragis dari Dyah yang lain.

Dalam wawancaranya dengan The Conversation Indonesia, Dyah menyayangkan bahwa tak seperti profesi lainnya, tak ada serikat profesional yang bisa menampung dan melindungi aspirasinya dan rekan-rekannya.

Ketika itu, perkumpulan dosen yang ada di kampusnya dibuat berdasarkan warna politik dan sekadar alat untuk mengumpulkan dukungan. Belum lagi, dosen senior hanya meminta mereka yang muda untuk “bersyukur dan bersabar”.

“Serikat dosen sekurang-kurangnya bisa menengahi atau mengimbangi relasi kuasa yang tidak seimbang yang kerap muncul di kampus-kampus negeri atau swasta dengan tradisi feodalistik tinggi antara dosen senior-junior,” ujar Dyah.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,600 academics and researchers from 4,945 institutions.

Register now