Menu Close
A man prays on his knees amid rubble.
Pasca Badai Daniel di Derna, Libya timur. September 2023. EPA-EFE/Stringer

COP 28 seharusnya menjadi peluang terobosan dana perubahan iklim negara miskin, tapi berisiko mengecewakan

Dalam pertemuan COP 27 di Sharm El-Sheikh, Mesir, kesepakatan pembuatan skema Dana Kerugian dan Kerusakan akibat perubahan iklim menjadi terobosan utama dalam salah satu topik sulit di negosiasi perubahan iklim Perserikatan Bangsa Bangsa.


Read more: Bagaimana Indonesia dapat memanfaatkan Dana Loss and Damage untuk memperkuat adaptasi perubahan iklim


Dalam konferensi yang membuat frustrasi ini, keputusan yang terbit pada November 2022 tersebut mengakui bantuan yang dibutuhkan negara-negara yang lebih miskin dan beremisi rendah saat menghadapi perubahan iklim-–dan, kemungkinan besar, harus menanggung dampaknya.

Seiring semakin seringnya peristiwa-peristiwa ini terjadi di seluruh dunia, semakin banyak pula tuntutan untuk menggelontorkan dana efektif dengan cepat dan membantu mereka yang paling rentan terhadap perubahan iklim. Namun setelah satu tahun perundingan, dana tersebut, sejauh ini, gagal terwujud sesuai harapan negara-negara berkembang.

Saya sedang menulis buku tentang tata kelola PBB mengenai kerugian dan kerusakan, dan telah mengikuti perundingan sejak tahun 2013. Inilah yang terjadi setelah para perunding pulang dan apa yang harus diwaspadai ketika mereka kembali, kali ini pada COP 28 di Dubai.

Pertanyaan besar

Banyak pertanyaan yang muncul dan belum terselesaikan di Sharm El-Sheikh. Di antaranya: siapa yang akan membayar dana baru ini? Di mana dana akan ditempatkan? Siapa yang akan mengurus? Siapa yang akan memiliki akses terhadap pendanaan (dan siapa yang tidak)?

Sebuah komite transisi yang beranggotakan 14 negara berkembang dan 10 negara maju ditunjuk oleh PBB untuk memperdebatkan pertanyaan-pertanyaan ini setelah COP 27. Komite ini telah melakukan pertemuan rutin selama setahun terakhir. Namun, pada pertemuan keempat di akhir Oktober-–yang dijadwalkan sebagai sesi terakhir-–masih terdapat pertanyaan penting seputar dana tersebut, seperti siapa yang harus menampung dan mengelola dana tersebut.

Diskusi lalu berhenti tanpa kesepakatan.

Pada awal November, kurang dari sebulan sebelum COP 28, diadakanlah pertemuan kelima yang diatur secara tergesa-gesa. Di pertemuan itu, anggota komite menerima sebuah teks yang disusun oleh dua ketua bersama dari Afrika Selatan dan Finlandia sebagai kesepakatan “take it or leave it"—sepakati atau tinggalkan.

Negara-negara berkembang akhirnya setuju agar dana tersebut ditampung oleh Bank Dunia untuk sementara, meskipun ada keberatan.

Negara-negara maju juga keberatan dengan teks final tersebut. Amerika Serikat (AS) ingin menambahkan kata "sukarela” (voluntary) dalam hal penyebutan kontribusi dana tersebut. Yang lain berpendapat bahwa kelompok kontributor dana tersebut harus diperluas hingga mencakup beberapa negara berkembang, seperti Arab Saudi, dan juga sumber pendanaan swasta.

Keberatan-keberatan ini dicatat, tetapi teks disepakati tanpa memuatnya.

Rekomendasi-rekomendasi di atas harus ditandatangani pada COP 28, yang dimulai pada 30 November. Dengan hampir 200 negara yang harus mencapai kesepakatan mengenai pengaturan ini, serta ketidakpuasan yang meluas, prosesnya bisa tidak berjalan dengan mudah.

Bank dunia?

Negara-negara berkembang merasa skeptis terhadap Bank Dunia sebagai institusi yang menampung Dana Kerugian dan Kerusakan karena beberapa alasan.

Banyak delegasi yang mengkhawatirkan reputasi bank tersebut, termasuk dominasi dari negara-negara maju pendonor, yang menekankan pada pemberian pinjaman dibandingkan hibah. Ada juga kekhawatiran seputar kurangnya kecermatan iklim dalam operasional Bank Dunia selama ini. Kekhawatiran ini kemungkinan akan muncul kembali di Dubai.

AS adalah pemegang saham terbesar Bank Dunia dan secara tradisional, presiden bank tersebut adalah warga negara AS yang dicalonkan oleh Washington.

Negara-negara berkembang di pulau-pulau kecil (salah satu golongan paling rentan terhadap kenaikan permukaan air laut akibat perubahan iklim) telah mengusulkan untuk mengalihkan skema pendanaan Kerugian dan Kerusakan dari model donor-penerima, dengan segala ketidakseimbangan kekuatan yang biasa mereka alami, menuju kemitraan yang didasarkan pada komitmen bersama untuk melindungi planet ini.

Pemenuhan tuntutan tersebut memerlukan reformasi sebagian atau seluruh Bank Dunia, meskipun beberapa berpendapat perubahan sudah terjadi di bawah presiden barunya.

Namun, penempatan dana di dalam Bank Dunia masih dapat meletakkan pengaruh yang tidak proporsional kepada negara-negara donor, meskipun ada rekomendasi dari komite transisi bahwa dewan pengelola dana tersebut terdiri dari mayoritas anggota negara berkembang.

Seorang pria berjalan melewati gedung dengan tulisan 'Grup Bank Dunia' yang tinggi di bagian luarnya.
Bank Dunia berkantor pusat di Washington D.C. The Bold Bureau/Shutterstock

Biaya overhead (pengeluaran tak langsung) yang tinggi juga menjadi kekhawatiran lainnya. Salah satu anggota dewan dana lain yang diselenggarakan oleh Bank Dunia menyatakan bahwa biaya administrasi yang dibebankan oleh bank tersebut meningkat dan memangkas porsi bantuan. Artinya, setiap US$100 miliar (Rp1.550 triliun) yang ditawarkan kepada negara dan komunitas yang terkena dampak bencana, Bank Dunia akan mendapatkan $US1,5 miliar (Rp23,25 triliun). Hal ini akan sulit bagi lembaga yang masih melakukan pendanaan industri minyak dan gas yang merusak iklim sebagai pembenaran.

Jenis pembiayaan yang disediakan oleh dana tersebut harus berbeda dengan cara bank tradisional memberikan pinjaman, yaitu dengan menawarkan hibah dan bentuk pinjaman lunak lainnya. Negara-negara berkembang secara konsisten berpendapat bahwa pendanaan kerugian dan kerusakan tidak seharusnya menambah beban utang negara berkembang.

Teks yang disepakati mengatakan bahwa Dana Kerugian dan Kerusakan akan “mengundang kontribusi keuangan”, dan negara-negara maju diharapkan untuk “memimpin”. Negara-negara berkembang ingin negara-negara maju (sebagai penghasil emisi terbesar dalam sejarah) memberikan pendanaan. Namun, negara-negara kaya menolak satu pun hal yang mengesankan mereka berkewajiban membayar.

Sebaliknya, meskipun mereka menyuarakan pendapat yang benar mengenai pendanaan iklim, negara-negara maju ini justru akan mendapatkan pujian dalam jangka pendek dengan sekadar memberi label baru bentuk-bentuk pendanaan iklim yang sudah ada atau dalam hal ini bantuan pembangunan, alih-alih menawarkan dana baru.

Tabu tentang kompensasi

Satu hal yang mungkin tidak akan kamu dengar di COP28 adalah “kompensasi”. Meskipun editor surat kabar menyukai berita utama tentang perbaikan, tanggung jawab, dan kompensasi ketika melaporkan kerugian dan kerusakan, dan peningkatan litigasi iklim membuat pemerintah dan perusahaan-perusahaan pembuat polusi gelisah, kata “kompensasi” masih belum ada sama sekali dalam negosiasi masalah ini.

Faktanya, penelitian menunjukkan penyebutan kompensasi dalam dokumen negara ke PBB menurun drastis setelah mekanisme kerugian dan kerugian ditetapkan pada 2013. Perjanjian Paris 2015 mencatat bahwa kerugian dan kerusakan adalah “bukan dasar untuk pertanggungjawaban ataupun kompensasi”.

Saya melihat adanya tabu terkait istilah “kompensasi” muncul dalam proses COP. Sebaliknya, semakin banyak negara yang memilih istilah seperti “solidaritas” sebagai dasar pendanaan. Pilihan kata-kata ini menunjukkan di mana letak kekuasaan dalam isu ini.

Kapal tanker minyak putih meninggalkan dan meninggalkan terminal minyak.
Negara-negara maju seperti Inggris terus memperluas produksi bahan bakar fosil. EPA-EFE/Neil Hall

Semua ini patut menjadi catatan kehati-hatian kita menjelang COP28. Kesepakatan-kesepakatan besar mengenai kerugian dan kerusakan secara historis gagal mencapai janji masing-masing karena pergeseran birokrasi dalam forum (memindahkan topik ke diskusi di luar Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim atau UNFCCC), penundaan, dan kekurangan sumber daya. Dana adaptasi saja sudah berdiri sejak 2001 tetapi baru menyetujui pendanaan pertamanya pada 2010.

Bagaimana kebutuhan mendesak untuk dukungan bagi komunitas dan negara-negara rentan dapat dipenuhi ketika tak ada kemajuan dalam negosiasi perubahan iklim, cenderung sangat lambat dan tidak ambisius tentang Dana Kerugian dan Kerusakan?

Pada COP 28, perwujudan Dana Kerugian dan Kerusakan merupakan sebuah ujian besar bagi legitimasi seluruh rezim negosiasi perubahan iklim.

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 183,000 academics and researchers from 4,949 institutions.

Register now