Menu Close
Operasi transplantasi hati. Gabriel Borda/Flickr, CC BY-NC

Donasi organ: apakah kita milih ikut atau tidak, riset temukan kehendak keluarga kitalah yang penting

Transplantasi organ memungkinkan pasien yang menderita kegagalan organ untuk menerima organ yang sehat dari seorang donor. Prosedur ini dapat membantu memperpanjang dan meningkatkan kehidupan penerima, dan ini seringkali merupakan satu-satunya harapan bagi orang yang membutuhkan transplantasi.

Sayangnya, tidak tersedia cukup organ untuk semua pasien yang membutuhkannya. Di Uni Eropa, meski 36.000 pasien menerima transplantasi pada 2021, 20 pasien meninggal setiap hari saat menunggu satu organ.

Perbedaan antara undang-undang terkait persetujuan

Salah satu strategi untuk mengatasi kekurangan organ yang dapat ditransplantasikan adalah meningkatkan jumlah donor potensial, dengan membuat perubahan pada sistem persetujuan. Ada dua kebijakan persetujuan (consent policies) utama untuk donasi organ dari orang yang meninggal yang diterapkan di seluruh dunia:

— sistem opt-in (memilih ikut donasi), maksudnya individu harus secara aktif menyetujui untuk menjadi donor organ setelah nantinya mereka meninggal;

— sistem opt-out (memilih tidak ikut donasi), maksudnya individu dianggap telah menyetujui donasi organ kecuali mereka secara tegas memilih tidak ikut donasi.

Dalam beberapa tahun terakhir, beberapa negara Eropa telah mengubah undang-undang persetujuan donor mereka dari ikut serta (opt-in) menjadi tidak ikut serta (opt-out), termasuk Yunani, Islandia, Belanda, Swiss dan Inggris Raya. Banyak negara Eropa yang mempertimbangkannya, seperti Jerman, Denmark, dan Rumania.

Alasan di balik perubahan ini adalah bahwa sistem opt-out dapat meningkatkan level pengadaan organ, dengan asumsi dasar bahwa individu tersebut bersedia untuk menyumbang organ. Ini menghilangkan kebutuhan orang untuk mendaftar secara aktif sebagai donor organ, yang dapat menjadi penghalang utama bagi sebagian orang.

Keterlibatan keluarga

Meski beberapa penelitian telah dilakukan untuk menilai dampak sebenarnya dari kebijakan persetujuan pada tingkat pengadaan organ, hasilnya bertentangan.

Secara keseluruhan, bukti menunjukkan bahwa sistem opt-out dikaitkan dengan tingkat pengambilan organ yang lebih tinggi. Namun, tidak jelas apakah dan sejauh mana penerapan sistem ini, dengan sendirinya, menyebabkan peningkatan tersebut.

Dalam studi kami, kami mencoba mencari tahu. Untuk mengecualikan pengaruh faktor lain, kami fokus pada bagaimana preferensi dan keputusan individu, atau kekurangannya, secara langsung menentukan hasil, yaitu apakah organ dapat diambil atau tidak.

Sepintas lalu, situasinya tampak mudah. Dokter selalu menghormati preferensi orang, apapun sistemnya. Ketika almarhum ingin menjadi seorang donor, dokter melanjutkan. Ketika almarhum tidak mau menyumbang, dokter tidak melanjutkan. Perbedaan antara sistem opt-in dan opt-out hanya akan muncul ketika almarhum tidak mengungkapkan preferensi apa pun. Jika sistem opt-out diterapkan, organ dapat diambil dalam keadaan ini. Jika ada sistem opt-in, organ tidak dapat diambil.

Namun, keluarga juga memiliki peran dalam proses pengambilan keputusan. Di sebagian besar negara, baik sistem opt-in dan opt-out, keluarga dikonsultasikan tentang donasi organ. Oleh karena itu, dalam praktiknya, alih-alih mengambil atau tidak mengambil organ secara otomatis, dokter biasanya mengikuti keputusan keluarga.

Sistem persetujuan hanya membuat suatu perbedaan pada keadaan langka

Dalam penelitian kami, kami menemukan bahwa satu-satunya saat dokter tidak melakukannya (tidak mengambil organ) adalah ketika keluarga almarhum tidak dapat membuat keputusan tentang masalah tersebut atau tidak dapat ditemukan oleh tim medis tepat waktu – atau ketika almarhum tidak punya sanak saudara. Oleh karena itu, hanya dalam keadaan seperti ini, sistem opt-out membuat perbedaan.

Sebagian besar pakar di bidang ini mengetahui bahwa keadaan ini jarang terjadi, tapi tak ada kepastian dari sekadar pengetahuan umum ini. Oleh karena itu, untuk menjawab pertanyaan ini, kami mencari data baik dari artikel ilmiah maupun laporan lembaga di seluruh dunia.

Berdasarkan data dari 20+ negara, kami menemukan bahwa keadaan ini memang jarang terjadi. Secara keseluruhan, itu terjadi pada kurang dari 5% kasus. Di Jerman, Denmark, Finlandia, Spanyol, dan Inggris Raya, statistik menunjukkan kisarannya berada di antara 0 hingga 2% dari semua kasus donor organ potensial.

Oleh karena itu, menurut analisis kami, mengubah sistem persetujuan di negara mana pun - dengan semua faktor lainnya dianggap sama - akan memiliki dampak langsung yang sangat terbatas pada tingkat donasi organ. Namun, ini tidak berarti bahwa berpindah dari sistem opt-in ke opt-out tidak efektif, karena perubahan tersebut mungkin memiliki konsekuensi tidak langsung. Sebagai contoh, peningkatan liputan pers tentang donasi organ dapat meningkatkan kesadaran publik tentang kekurangan organ dan mengurangi jumlah individu dan keluarga yang keberatan.

Riset kami menunjukkan adalah bahwa politikus dan orang-orang pada umumnya seharusnya tidak terlalu fokus pada perubahan kebijakan persetujuan untuk donasi. Mereka seharusnya lebih fokus pada faktor-faktor yang dapat dimodifikasi yang mempengaruhi pengambilan keputusan keluarga, seperti membangun kepercayaan dengan memberikan perawatan berkualitas tinggi untuk calon donor dan informasi memadai tentang proses pengadaan organ, dan dengan menggunakan pendekatan profesional yang terlatih.

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,700 academics and researchers from 4,947 institutions.

Register now