Menu Close
Hanya sekitar 5% dari 10,8 juta penyandang disabilitas dengan usia kerja yang telah lulus kuliah. Shutterstock

Jalan panjang menuju pendidikan inklusif bagi penyandang disabilitas di universitas

Perguruan tinggi di Indonesia masih mengucilkan penyandang disabilitas, meskipun pemerintah sudah mengesahkan Undang Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas yang mendorong inklusifitas penyandang disabilitas dan juga Peraturan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Tahun 2017 yang mengharuskan setiap universitas untuk memberikan layanan bagi mahasiswa penyandang disabilitas.

Akademisi menilai masih banyak universitas di Indonesia belum mengadopsi aturan tersebut dan mengabaikan kewajiban mereka untuk melindungi hak-hak mahasiswa penyandang disabilitas.

Minimnya akses terhadap pendidikan tinggi mengakibatkan hanya sekitar 5% dari 10,8 juta penyandang disabilitas dengan usia kerja yang telah lulus kuliah.

Data terkini dari Persatuan Tunanetra Indonesia (Pertuni) juga mengindikasikan bahwa pada tahun 2017, hanya terdapat sekitar 400 mahasiswa tunanetra di Indonesia.

Jumlah mahasiswa dengan kondisi yang mempengaruhi kemampuan kognitif atau komunikasi - seperti Down Syndrome atau autisme - diprediksi jauh lebih rendah dari itu.


Read more: 6 penghalang keterlibatan penyandang disabilitas dalam proses pembangunan


Hanya sekitar lima universitas di Indonesia - di antaranya Universitas Brawijaya di Malang, Jawa Timur dan Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga di Yogyakarta - dari 4.500 universitas di Indonesia memiliki unit layanan bagi penyandang disabilitas, kata Antoni Tsaputra, seorang peneliti di Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BPPD) Kota Padang.

Menurut para peneliti disabilitas, universitas-universitas tersebut memiliki perwakilan penyandang difabel yang baik dan juga figur-figur dengan pola pikir inklusif di dalam struktur kepemimpinannya.

Minim inisiatif

Dina Afrianty, seorang peneliti hak disabilitas di La Trobe University, Australia, mengatakan bahwa alasan utama banyak universitas gagal mencontoh kampus-kampus tersebut adalah pola pikir pejabat kampus yang masih enggan menginisiasi layanan inklusif.

“Keengganan universitas menerima mereka seringkali katanya tidak punya sumber daya, seakan kalau mahasiswa cuma satu dua ngapain menyediakan sumber daya untuk itu. Itu ada di pola pikir pemangku kebijakan,” katanya.

Antoni mengatakan bahwa alasan-alasan untuk tidak memperhatikan hak penyandang disabilitas karena minimnya mahasiswa adalah hal yang keliru.

“Mereka sering menyalahkan minimnya pendaftar difabel. Jangan salahkan itu. Ya bagaimana mau mendaftar, fasilitasnya memang tidak mendukung,” ungkapnya.

Menurut Antoni, faktor yang menggerakkan kampus-kampus pionir seperti Brawijaya dan UIN Yogyakarta untuk menciptakan lingkungan ramah difabel adalah adanya tokoh-tokoh yang memiliki pola pikir inklusif di dalam masing-masing universitas.

Slamet Thohari - yang didiagnosis dengan polio dan menyebabkannya sulit untuk berjalan - adalah seorang dosen Universitas Brawijaya yang menginisiasi Pusat Studi dan Layanan Disabilitas (PSLD) di kampusnya.

“Yang paling progresif itu di Brawijaya. Sudah punya unit yang bahkan melakukan kajian disabilitas. Tidak heran mahasiswa penyandang disabilitas dari banyak provinsi belajar ke sana,” kata Antoni.

Universitas Brawijaya sendiri saat ini memiliki sekitar 150 mahasiswa dengan berbagai jenis kondisi, mulai dari kesulitan pendengaran, autisme, gangguan perhatian (ADHD), cerebral palsy (gangguan di otak), hingga Down Syndrome. Mereka dibantu dalam segala aktivitas kampus oleh PSLD.

“Adanya orang dalam ini yang bisa menggerakkan dan mempercepat terwujudnya sistem pendidikan inklusif. Kita butuh lebih banyak penggerak-penggerak ini di tiap universitas,” ujar Antoni.

Dina sepakat dengan Antoni. Ia menyebutkan UIN Yogyakarta sebagai contoh lain dari kepemimpinan yang pro-inklusifitas.

“Bagi saya yang paling penting itu pemangku kebijakan di universitas, ada bukti di UIN Jogja. Mereka tidak ada dana juga, tapi rektor pada saat itu Professor Amin Abdullah berani mengambil langkah-langkah awal untuk memfasilitasi penyandang disabilitas di UIN Jogja,” ia bercerita.

Pusat Layanan Difabel (PLD) milik universitas tersebut yang didirikan pada tahun 2007, dianggap sebagai salah satu unit layan disabilitas pertama di Indonesia. Pada tahun akademik 2016/2017, UIN Yogyakarta melayani lebih dari 50 mahasiswa difabel.


Read more: Riset: dua tahun UU disahkan, aktivis nilai banyak pejabat tak paham disabilitas


Mengambil pelajaran dari Australia

Antoni, yang didiagnosis dengan salah satu jenis distrofi otot dan membuatnya harus menggunakan kursi roda sejak kecil, baru saja menyelesaikan S3 di University of New South Wales (UNSW), Australia.

UNSW sendiri adalah salah satu universitas di Australia yang menyediakan layanan dan fasilitas untuk mahasiswa difabel.

Disability Standards for Education - sebuah regulasi tingkat nasional di Australia yang merupakan peraturan turunan dari Undang Undang Anti Diskriminasi Disabilitas Tahun 1992 - menetapkan standar yang harus dipenuhi oleh institusi pendidikan di Australia dalam memberikan layanan kebutuhan khusus.

Dina mengatakan bahwa universitasnya, La Trobe, juga mengoperasikan sebuah ‘unit kesetaraan dan keberagaman’, sebuah unit yang menyediakan layanan komprehensif untuk mahasiswa penyandang disabilitas yang umumnya di ada di tiap universitas di Australia.

“Misal mereka menyediakan seluruh buku bacaan yang diberikan dosen. Jadi nanti oleh equity unit [unit kesetaraan] akan menyiapkan bacaan semua bab yang diminta dosen dalam bentuk braille,” katanya.

Antoni menceritakan bagaimana layanan-layanan ini sangat membantunya dalam menyelesaikan studi doktor-nya.

“Kebetulan untuk S2 dan S3 saya di Australia, saya cukup menikmati dan terbantu oleh sistem pendidikan inklusif di sana,” katanya.

“Sejak awal kita mulai masuk ke sana, disability adviser [petugas untuk mahasiswa penyandang disabilitas ] sudah menghubungi saya. Mereka tanyakan apa kebutuhan khusus saya, saya jelaskan disabilitas kita bagaimana, jadi mereka sejak awal sudah mempersiapkan.”

Unit layanan difabel di kampusnya menyiapkan semua kebutuhan mulai dari teknologi bantuan digital untuk membantu penyandang cerebral palsy [gangguan di otak] untuk menggunakan perangkat lunak Microsoft Office, orientasi kampus untuk mahasiswa tunanetra, hingga menyediakan waktu tambahan ketika ujian.

“Staf administrasi maupun pengajarnya paham bagaimana teman-teman mahasiswa difabel harus diperlakukan se-inklusif mungkin, diberikan dukungan sampai kebutuhan mereka yang paking kompleks,” katanya.

Kehadiran layanan yang inklusif untuk mahasiswa penyandang disabilitas ini dianggap banyak berkontribusi terhadap naiknya angka pendaftaran mahasiswa difabel di Australia.

Dalam lima tahun terakhir, angka pendaftaran difabel naik 53,6% dibandingkan kenaikan 17,7% dari angka pendaftaran umum nasional.


Read more: Membuka pintu pendidikan lebih lebar bagi siswa difabel di Indonesia


Antoni dan Dina menyarankan Indonesia untuk mencontoh langkah baik universitas-universitas di Australia dalam memberikan layanan pendidikan inklusif untuk penyandang disabilitas.

“Ada Undang Undang Dasar 1945, Undang Undang Hak Asasi Manusia Tahun 1999, kita sudah ratifikasi Konvensi Hak Penyandang Disabilitas (CRPD), sekarang ada Undang Undang Disabilitas Tahun 2016, peraturan lain juga banyak. Kurang apa lagi?” ungkap Dina.

“Masalahnya adalah bagaimana kita, termasuk pejabat kampus, sebagai bagian dari masyarakat mengubah pola pikir orang terhadap penyandang disabilitas. Ini juga harus dikembalikan pada kita yang able-bodied [bukan penyandang disabilitas].”

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 183,300 academics and researchers from 4,953 institutions.

Register now