Menu Close

Riset: dua tahun UU disahkan, aktivis nilai banyak pejabat tak paham disabilitas

Seorang pria penyandang disabilitas di Jakarta. Penting untuk memberikan keterampilan, kepercayaan diri, dan jejaring bagi para aktivis disabilitas untuk terus berkampanye demi penerapan hukum secara penuh. www.shutterstock.com

Tulisan ini merupakan bagian dari rangkaian artikel untuk memperingati Hari Disabilitas Internasional yang jatuh pada tanggal 3 Desember.


Tahun lalu, dokter gigi Romi Syofpa Ismael, yang sebelumnya bertugas sebagai pegawai kontrak di sebuah rumah sakit di Kabupaten Solok Selatan, Sumatra Barat, batal menjadi pegawai negeri karena menggunakan kursi roda.

Pemerintah Kabupaten Solok Selatan menyatakan Romi tidak lulus persyaratan sehat jasmani karena menyandang disabilitas. Kisah Romi ini terjadi dua tahun setelah Indonesia mengesahkan Undang Undang (UU) No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. UU ini menggantikan UU sebelumnya.

UU yang lahir karena dukungan aktivis penyandang disabilitas Indonesia ini mengacu pada prinsip-prinsip yang ada dalam Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) terhadap Hak Penyandang Disabilitas. Konvensi ini mengakui bahwa penyandang disabilitas memiliki hak yang sama dengan warga masyarakat lainnya.

Banyak yang memuji UU ini sebagai langkah maju untuk mengubah persepsi dan sikap negatif masyarakat terhadap penyandang disabilitas, menganggap mereka sebagai hal yang memalukan atau harus dikasihani. Undang-Undang sebelumnya, UU No. 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat, hanya melihat penyandang disabilitas sebagai kelompok masyarakat yang memerlukan santunan dan bantuan.

Kisah Romi membuktikan bahwa pejabat publik masih enggan atau sulit menerima paradigma baru bahwa penyandang disabilitas memiliki hak yang sama seperti yang ditawarkan UU yang baru.

Penelitian yang kami lakukan pada 2018 tentang apa yang terjadi pasca pengesahan UU Penyandang Disabilitas juga menunjukkan keengganan serupa terjadi pada pengambil kebijakan di daerah lain.

Temuan kami menunjukkan keengganan pejabat-pejabat tersebut karena kurangnya insentif politik pengambil kebijakan untuk mengimplementasikan UU tersebut secara komprehensif. Penegakan UU ini masih sulit karena membutuhkan anggaran yang tinggi dan menuntut lembaga pemerintahan maupun penyedia layanan untuk mengubah sistem kerja mereka.

Oleh karena itu, penting untuk memberikan aktivis disabilitas keahlian, kemampuan, dan akses pada jejaring komunitas sehingga mereka dapat secara konsisten melakukan kampanye untuk penegakan UU disabilitas secara utuh.

Butuh waktu untuk mengubah cara pandang

UU yang baru memandang penyandang disabilitas sebagai masyarakat yang mampu berkontribusi. Namun mengubah pemahaman masyarakat Indonesia tentang disabilitas tentunya tidak semudah membalikkan telapak tangan.

Selama penelitian, kami mewawancarai 10 aktivis disabilitas serta 3 aktivis daerah dari Sumatra, Jawa, dan Sulawesi menunjukkan mayoritas pejabat daerah masih beranggapan bahwa penyandang disabilitas tidak ‘sehat jasmani dan rohani’ dan tidak bisa menduduki jabatan di pemerintahan.

Kasus Romi di Solok Selatan adalah contoh nyata.

Ini mengindikasikan perubahan paradigma yang diusung UU disabilitas belum tercermin dalam urusan dan pengambilan keputusan sehari-hari pemerintahan.

Upaya multi-sektor

Selama puluhan tahun, isu disabilitas telah berada dalam wewenang Kementerian Sosial. Kementerian telah bertanggung jawab untuk menyediakan layanan rehabilitasi dan program perlindungan sosial bagi para penyandang disabilitas.

Namun masalah disabilitas merupakan masalah multisektoral. Undang-undamg terbaru mendorong pemerintah untuk bersikap demikian.

Setelah UU tersebut disahkan, aktivis bagi penyandang disabilitas mengidentifikasi ada sepuluh kementerian yang dapat menerapkan berbagai bagian berbeda dari UU ini. Namun, pemerintah lambat untuk menindaklanjuti saran yang diberikan.

Kemudian, pada awal Oktober, pemerintah mengeluarkan sebuah peraturan yang akan membuat undang-undang menjadi lebih multisektoral. Peraturan tersebut menetapkan tanggung jawab masing-masing kementerian dan pemerintah daerah untuk bekerja lintas sektor.

Namun sepertinya akan butuh puluhan tahun sebelum peraturan ini diterapkan sepenuhnya.

Ketidaksadaran orang-orang dalam melihat bahwa penyandang disabilitas memiliki hak dan bukan orang yang memerlukan bantuan, dan juga fakta bahwa ini bukan masalah prioritas bagi pemerintah adalah dua alasan utama mengapa perubahan berjalan sangat lambat.

Menyerukan diskriminasi

Aktivis bagi penyandang disabilitas terus memegang peran penting dalam memperjuangkan hak-hak penyandang disabilitas setelah mereka berhasil mendorong pengesahan undang-undang disabilitas baru di Indonesia.

Wawancara kami dengan aktivis disabilitas menunjukkan bahwa pendekatan berbasis hak terhadap penyandang disabilitas akan membutuhkan waktu sampai akhirnya mengakar di Indonesia.

Dalam penelitian ini, kami berbincang dengan para aktivis yang mencoba untuk bernegosiasi dengan pejabat pemerintah daerah yang bahkan tidak menyadari kalau Indonesia memiliki undang-undang disabilitas baru.

Dalam kasus dokter gigi di Solok Selatan, aktivis dari beberapa organisasi penyandang disabilitas baik di tingkat nasional maupun lokal, serta organisasi bantuan hukum setempat dan sejumlah kelompok perempuan, memberikan dukungan pada Romi.

Sebuah kelompok penyandang disabilitas di Padang, Sumatra Barat, juga memprotes keputusan pemerintah Kabupaten Solok Selatan.

Romi sendiri kampanye ke seluruh pelosok negeri untuk meningkatkan kesadaran masyarakat atas kasus ini. Dia pergi ke Ibu Kota Jakarta dan bercerita bagaimana perlakuan yang dia terima sebenarnya melanggar komitmen pemerintah untuk menegakkan hak-hak penyandang disabilitas.

Pada akhirnya, Romi dan pendukungnya berhasil. Pemerintah Kabupaten Solok Selatan akhirnya mengangkat Romi sebagai pegawai negeri.

Namun, perlu diingat bahwa aktivis pejuang hak disabilitas di seluruh Indonesia tidak memiliki sumber daya atau keterampilan yang sama baiknya dengan para aktivis yang membela Romi.

Tingkat pengetahuan pejabat pemerintah yang mereka coba libatkan juga bermacam-macam.

Hal ini menunjukkan perlunya program peningkatan kapasitas yang berkelanjutan untuk aktivis disabilitas di seluruh Indonesia ketika mereka berkampanye memperjuangkan hak-hak penyandang disabilitas.

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,600 academics and researchers from 4,945 institutions.

Register now