Menu Close
Penduduk mengambil foto dengan ponsel mereka di dekat reruntuhan rumah di Desa Petobo, Palu, 11 Oktober 2018. HOTLI SIMANJUNTAK/EPA

Mengapa daerah rawan bencana di Semarang dan Aceh tetap dihuni penduduk?

Gempa bumi yang disusul tsunami di Sulawesi Tengah akhir September lalu tidak hanya menyisakan duka mendalam dengan kematian lebih dari 2000 orang, tapi juga menghadirkan pentingnya penyelidikan soal relasi manusia, teknologi, dan alam.

Apakah bencana yang terjadi di Palu, sebelumnya gempa di Lombok, tsunami di Aceh, dan banjir rob di Semarang menunjukkan kegagalan manusia memanfaatkan teknologi dalam penanganan bencana? Ataukah ketidakharmonisan hubungan antara manusia dan alam yang menjadi faktor utama bencana yang mematikan terjadi?

Riset yang kami lakukan di Semarang dan Banda Aceh menunjukkan dua poin penting untuk membaca relasi manusia, alam dan teknologi dalam konteks kebencanaan. Pertama, relasi manusia dengan alam sedikit banyak ditentukan oleh dua aspek penting yaitu aspek ekonomi dan kebijakan. Kedua, perkembangan dan pemanfaatan berbagai jenis teknologi dalam penanganan bencana tidak akan optimal ketika persoalan kesenjangan digital masih terjadi.

Manusia-teknologi-alam

Teknologi dalam pengertiannya yang paling dasar adalah segala sesuatu yang memudahkan kehidupan manusia. Dalam konteks bencana alam, teknologi berguna untuk sebisa mungkin mengurangi dampak bencana, memetakan daerah-daerah rawan, meminimalkan jumlah korban jiwa, mengurangi kerugian material, hingga berbagai hal yang memudahkan manusia baik sebelum, saat, dan pascabencana terjadi.

Relasi manusia dan teknologi umumnya dijelaskan dalam konsep determinisme teknologi. Sedangkan relasi manusia dengan alam lebih dominan dilihat dengan kacamata eksploitatif. Manusia dianggap tidak berdaya di hadapan teknologi, dan pada saat yang sama dianggap destruktif terhadap lingkungan. Ketika bencana alam terjadi, manusia dan segala bentuk teknologi justru tidak berdaya di hadapan kekuatan alam. Relasi antara ketiga elemen ini oleh sebab itu tidak bisa dimaknai dalam satu model yang linear, melainkan bersifat multidimensi, kontekstual, dan sekaligus temporal.

Adanya pemukiman penduduk di daerah-daerah yang telah terpetakan rawan bencana seperti di Banda Aceh, Lembang Bandung atau Semarang menunjukkan bahwa relasi manusia dengan alam berjalan tidak harmonis.

Di Banda Aceh misalnya, daerah pesisir yang terdampak tsunami pada 2004 dan merupakan daerah rawan bencana, saat ini justru kembali dipadati oleh pemukiman karena beberapa alasan. Gambar di bawah ini menunjukkan kondisi daerah Ulee Lheue pada April 2018, setelah 14 tahun diluluhlantahkan oleh tsunami.

Daerah Ulee Lheue, Banda Aceh, kini kembali dipadati pemukiman setelah diterjang tsunami pada 2004. Dokumentasi PSSAT UGM, Author provided (no reuse)

Fenomena seperti di Ulee Lheu jelas menunjukkan bahwa masyarakat yang bermukim di wilayah-wilayah rawan bencana kadang terlalu percaya diri dengan pengetahuan dan kemampuan seadanya dan lebih mengandalkan firasat dalam banyak hal ketimbang alasan-alasan rasional dan kemampuan menghadapi bencana yang memadai.

Namun, hal ini tentu tidak bisa dilihat dalam dimensi tunggal faktor manusia semata. Dengan kata lain, manusia atau masyarakat tidak bisa disalahkan sepenuhnya karena aspek sosial, budaya, politik (kebijakan), pendidikan, dan ekonomi menjadi latar belakang pilihan-pilihan tidak rasional yang diambil oleh masyarakat di daerah bencana.

Perlunya kebijakan yang tegas

Motif ekonomi, baik menyangkut keterbatasan finansial maupun keinginan untuk mendapatkan keuntungan, merupakan salah satu alasan banyak orang tetap tinggal di wilayah-wilayah berbahaya dan mengabaikan risiko bencana yang mungkin terjadi.

Dalam kasus di Semarang misalnya, faktor ekonomi menjadi alasan kuat penduduk tetap tinggal di daerah rob dengan kondisi yang tidak layak huni. Sumber pendapatan masyarakat yang berada di wilayah pesisir, misalnya nelayan di daerah Tambak Lorok Semarang, membuat mereka tidak punya banyak pilihan selain hidup berdampingan dengan bencana meski dengan segala keterbatasan dan risiko yang harus dihadapi.

Pada titik ini, faktor kebijakan pemerintah akan sangat menentukan relasi antara manusia dengan alam, utamanya dalam konteks bencana. Pemerintah harus tegas untuk melarang masyarakat mendiami wilayah-wilayah rawan bencana. Namun, pemerintah sebelum itu perlu menyiapkan solusi relokasi yang tidak hanya menjamin keamanan fisik dari bencana tetapi juga keamanan finansial masyarakat.

Kebijakan penanganan bencana, baik lewat regulasi maupun berbagai program, yang disusun oleh pemerintah juga harus mampu memastikan tidak adanya kesenjangan antara kesadaran dan kemampuan masyarakat dengan ketersediaan teknologi dan infrastruktur keselamatan.

Dalam kasus Aceh, temuan dari penelitian Tsunami and Disaster Mitigation Research Center (TDMRC) Universitas Syiah Kuala menunjukkan masih ada kesenjangan antara mekanisme evakuasi bencana dengan fasilitas yang tersedia. Pembangunan gedung-gedung evakuasi yang dibangun khusus di daerah-daerah pesisir yang rawan tsunami harus sejalan dengan upaya peningkatan kesadaran dan kemampuan masyarakat menghadapi bencana ini.

Kesenjangan digital

Dalam konteks masyarakat digital, manusia sangat mengandalkan teknologi komunikasi dan informasi dalam berbagai kebutuhan, tidak terkecuali dalam menghadapi bencana. Tapi, salah satu persoalan serius yang muncul di tengah perkembangan pesat teknologi saat ini adalah kesenjangan digital.

Kesenjangan digital tidak dipahami hanya sebatas keterbatasan akses material. Aspek motivasi, kemampuan teknis, dan tujuan penggunaan teknologi adalah tiga dimensi lain persoalan kesenjangan digital yang perlu diselesaikan secara utuh untuk mendukung upaya penanganan bencana. Teknologi yang berfungsi dengan baik tidak berarti banyak ketika respons manusia sebagai pengguna tidak optimal.

Dalam bencana tsunami, teknologi peringatan dini bukan hadir untuk mencegah tsunami terjadi, tapi untuk memperingatkan masyarakat agar bereaksi dengan baik dan menyelamatkan diri ke tempat yang aman. Sama halnya dengan dengan teknologi Sistem Peringatan Dini Longsor (LEWS) yang dikembangkan oleh GAMA-InaTEK Universitas Gadjah Mada untuk memperingatkan masyarakat akan ancaman tanah longsor.

Ketika bencana tsunami terjadi di Palu, sebagian masyarakat Palu mungkin memiliki akses terhadap peringatan dini yang dikeluarkan oleh Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) lewat telepon pintar masing-masing, sebagian lainnya tidak. Dalam kasus di Semarang, PKMBRP telah menyediakan aplikasi Kalender Rob yang bisa membantu masyarakat di daerah terdampak banjir rob.

Namun motivasi masyarakat untuk menggunakan teknologi ini masih terbatas yang ditunjukkan masih minimnya unduhan aplikasi ini di Play Store. Penyebaran hoax mengenai bencana juga merupakan salah satu permasalahan serius dalam kerangka kesenjangan digital yang bisa mengganggu upaya penanganan bencana.

Teknologi massal dan integratif

Personalisasi teknologi atau ketersediaan teknologi bagi setiap individu di daerah rawan bencana misalnya lewat telepon pintar dan berbagai fiturnya tidak menjamin proses penanganan dan pengurangan dampak bencana berjalan efektif. Bencana bagaimana pun merupakan permasalahan kolektif, bukan individual. Kebutuhan atas teknologi massal dan integratif diperlukan untuk menjamin penanganan bencana berjalan dengan baik, kolektif dan tidak parsial.

Sistem peringatan dini tsunami misalnya perlu dikembangkan lagi dengan kolaborasi lebih banyak teknologi baru dan diintegrasikan dengan sistem penanganan bencana-bencana lain seperti gempa bumi, banjir, letusan gunung, sampai tanah longsor.

Sistem komunikasi alternatif juga sesuatu yang mendesak disiapkan ketika bencana terjadi yang menyebabkan jaringan komunikasi terputus total seperti kasus di Palu.

Pada akhirnya, aspek penggunaan teknologi dalam berbagai momen bencana (sebelum, ketika, dan pasca) harus sejalan dengan aspek-aspek lain secara utuh agar manusia tidak terjebak dalam ketergantungan berlebih atas teknologi pada satu sisi dan pengabaian teknologi pada sisi lain. Selain itu, pemahaman lebih dalam manusia atas perubahan-perubahan lingkungan dan fenomena alam juga akan memberikan peluang lebih besar untuk menghindari dampak bencana yang mematikan.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,500 academics and researchers from 4,943 institutions.

Register now