Menu Close
Ilustrasi kursi roda untuk penyandang disabilitas. Freepik, CC BY

“Menyembunyikan” penyandang disabilitas tidak selalu diskriminatif, banyak keluarga yang hanya ingin melindungi

Penyandang disabilitas kerap mengalami eksklusi sosial karena “penyembunyian” yang dilakukan oleh keluarga dari masyarakat yang ada di sekitarnya. Ini biasanya terjadi karena masih kuatnya stigma negatif masyarakat terhadap penyandang disabilitas, seperti anggapan bahwa memiliki kekurangan maupun kecacatan fisik adalah aib dan kutukan.

Penyembunyian seperti ini kemudian berimbas pada sulitnya pendataan penyandang disabilitas dalam data kependudukan. Akibatnya, banyak penyandang disabilitas yang tidak mendapatkan akses terhadap layanan kesehatan dan jaminan sosial yang disediakan oleh pemerintah.

Laporan Human Rights Watch pada 2016 menunjukkan bahwa fenomena penyembunyian penyandang disabilitas lebih banyak terjadi di desa-desa. Mereka hampir tidak pernah dilibatkan dalam proses-proses penting di desa, seperti penganggaran.

Seringkali timbul pemahaman bahwa tindakan menyembunyikan, atau mengurung, anggota keluarga yang memiliki disabilitas adalah tindakan yang kejam.


Read more: Dari stigma sampai kurangnya sinergi lintas sektor, berikut alasan sulitnya melakukan pendataan akurat terkait penyandang disabilitas


Namun, hasil riset kami tentang desa inklusif dan advokasi penyandang disabilitas di Desa Jatirejo, Kecamatan Lendah, Kabupaten Kulon Progo pada September 2022 lalu menunjukkan bahwa penyembunyian penyandang disabilitas oleh keluarganya tidak selalu karena alasan malu dan dianggap aib.

Desa ini unik karena menjadi salah satu pilot Desa Inklusif terhadap disabilitas di Indonesia. Menurut data SIGAB (2017), jumlah penyandang disabilitas di Desa Jatirejo mencapai 187 orang, yang terdiri dari penyandang disabilitas fisik serta penyandang disabilitas mental dan intelektual atau psikososial.

Banyak masyarakat di sana yang justru memilih menyembunyikan keluarga mereka yang penyandang disabilitas demi alasan perlindungan dan keamanan yang, bagi kami, sangat masuk akal.

Pengalaman eksklusi penyandang disabilitas di desa

Data dari hasil wawancara terhadap 7 individu dengan profil sebagai aktivis inklusi sosial, warga setempat, bahkan hingga anggota maupun pengurus Kelompok Difabel Desa (KDD) di Desa Jatirejo, Kabupaten Kulon Progo, Yogyakarta, pada September 2022 memberikan sudut pandang baru terkait bagaimana masyarakat desa melihat keadaan penyandang disabilitas di desa tersebut.

Terhadap penyandang disabilitas mental dan intelektual, seperti orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) dan down syndrome, masyarakat desa mengungkapkan bahwa kebanyakan warga berusaha menjaga anggota keluarga disabilitas mereka tetap di dalam rumah untuk melindunginya dan demi keamanan bersama, baik bagi masyarakat sekitar maupun penyandang disabilitas itu sendiri. Ini karena seringkali penyandang disabilitas mental mengamuk dan dapat bertindak yang membahayakan warga sekitar.

“Sebenarnya, kalau dari kita sendiri, kita berusaha melindungi mereka. Kebanyakan dari mereka itu difabel yang ODGJ, jadi mereka disembunyikan biar tidak meresahkan masyarakat, karena kadang mereka juga mengamuk. Anak down syndrome juga begitu. Agar aman, mereka di rumah saja dirawat keluarganya”, kata salah satu responden penelitian.

Masyarakat menggarisbawahi bahwa “penyembunyian” tersebut dilakukan hanya kepada penyandang disabilitas mental dan intelektual atau psikososial, seperti ODGJ.

Hasil wawancara kami juga menemukan fakta bahwa masyarakat Desa Jatirejo sepakat penyandang disabilitas adalah sepenuhnya tanggungan keluarga. Dengan demikian, masyarakat sekitar cenderung tidak akan mengusik mereka, demi membangun dan mempertahankan interaksi yang mereka rasa sama-sama menguntungkan di desa.

Terkait bantuan sosial, masyarakat setempat mengatakan bahwa aspirasi dan kebutuhan penyandang disabilitas sudah disampaikan ke pemerintah melalui keluarga mereka atau pemangku kepentingan yang terlibat, seperti Ketua RT.

Masyarakat setempat percaya, bahwa cara mereka memperlakukan penyandang disabilitas adalah cara terbaik yang bisa mereka lakukan.

Sementara bagi penyandang disabilitas fisik, masyarakat Desa Jatirejo mengaku masih menerima dan membiarkan mereka untuk tetap beraktivitas di luar rumah. Hal ini dibenarkan oleh salah satu penyandang disabilitas di sana.

Di sekolah pun, ia mengaku dirinya masih diterima di sekolah umum dan tidak mendapatkan perlakuan diskriminatif berupa ejekan atau perundungan dari teman-temannya.

Memahami eksklusi dari berbagai sudut

Penelitian kami tersebut bisa menjadi refleksi tentang bagaimana memahami konteks eksklusi sosial.

Sejauh ini masih banyak literatur yang gagal memahami eksklusi sosial secara konteks yang partikular, karena hanya cenderung menekankan bahwa penyembunyian tersebut diskriminatif. Memang masih ada praktik yang mengarah pada diskriminasi, tapi tidak semuanya. Sesekali kita perlu juga melihat sudut pandang masyarakat nondisabilitas yang hidup di tengah-tengah, bersama-sama, dengan para penyandang disabilitas itu sendiri.

Selain itu, jangan samakan praktik di negara-negara Barat dengan di belahan Timur. Di banyak negara Barat, pemenuhan hak disabilitas oleh pemerintahnya sudah kuat, sehingga para penyandang disabilitas bisa mandiri. Mereka disediakan kendaraan khusus untuk ke mana pun, dan fasilitas publiknya sudah sangat ramah disabilitas.

Sedangkan di negara belahan Timur, pemenuhan hak disabilitas masih sangat lemah sehingga penyandang disabilitas, mau tidak mau, masih sangat bergantung pada keluarganya. Mayoritas dari mereka hanya bisa mengakses hak-hak dan kebutuhannya melalui jejaring keluarga dan dengan bantuan keluarganya.

Pun jika keluarganya memilih untuk menyembunyikan mereka karena alasan keamanan dan perlindungan yang bisa diterima, hal itu tidak selalu disalahkan. Keluarganya barangkali tidak punya pilihan lain untuk dapat melindungi mereka.

Pola ketergantungan inilah yang sebenarnya tampak seperti eksklusi. Penyebabnya, kembali lagi, negara belum mampu mengakomodasi kebutuhan mereka.

Minimnya perlindungan sosial bagi penyandang disabilitas disebabkan oleh absennya data disabilitas. Di sisi lain, pemerintah kurang mampu menjangkau warganya yang masuk kategori penyandang disabilitas sistem pendataan yang masih lemah.

Selain meningkatkan infrastruktur yang ramah difabel, pemerintah perlu membangun sinergitas antara pemerintah nasional, daerah, bahkan hingga tingkat RT dan RW. Hal ini sangat penting untuk memastikan keluarga yang anggotanya merupakan penyandang disabilitas terdaftar dalam skema perlindungan sosial pemerintah.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,900 academics and researchers from 4,948 institutions.

Register now