Menu Close

Penelitian baru petakan kekerasan dalam konflik yang terlupakan di Papua Barat

Bagus Indahono/EPA

Pemerintah Indonesia baru-baru ini mengatakan sedang mempertimbangkan untuk menyelidiki pembunuhan ratusan ribu orang saat pembersihan “anti-komunis” pada 1965 di bawah presiden otoriter Soeharto.

Jika penyelidikan benar dilakukan, maka ini akan menandakan sebuah perubahan dalam kegagalan lama pemerintah untuk mengatasi kekejaman pada masa lalu. Tidak jelas apakah pemerintah akan memasukkan tindakan-tindakan brutal lainnya yang diduga dilakukan oleh rezim Indonesia di wilayah Papua Barat.

Pengamat-pengamat konflik Papua memperkirakan antara 100.000 hingga 500.000 orang Papua Barat telah terbunuh sejak Indonesia mengambil alih Papua Barat pada 1960-an.

Jumlah pembunuhan memuncak pada 1970-an, namun angka ini meningkat lagi karena aktivisme baru untuk kemerdekaan di wilayah itu. Pada September 2019, sebanyak 41 orang terbunuh dalam bentrokan dengan pasukan keamanan dan milisi yang terinspirasi oleh kelompok jihadis.

Bentrokan antara pasukan keamanan dan tentara Organisasi Papua Merdeka (OPM) telah meningkat sejak Januari, dan menurut kelompok penggiat hak asasi manusia telah mengakibatkan setidaknya lima kematian. Setidaknya dua warga sipil lainnya tewas pada insiden berbeda.

Kekerasan terbaru dipicu oleh serangan rasial terhadap mahasiswa Papua di Pulau Jawa tahun lalu yang mendorong ribuan orang Papua memprotes pemerintah. Aksi protes memperoleh perhatian baru media pada pelanggaran hak asasi manusia di wilayah tersebut dan perjuangan selama puluhan tahun untuk otonomi.

Namun, karena media internasional telah dilarang memasuki Papua Barat, konflik yang lebih luas hanya mendapat sedikit perhatian dari dunia luar. Laporan bulan lalu dalam program ABC’s Foreign Correspondent di Australia adalah sebuah pengecualian yang langka.


Read more: Riots in West Papua: why Indonesia needs to answer for its broken promises


Proyek baru untuk memetakan kekejaman masa lalu

Akhir tahun lalu, kami memulai proyek untuk memetakan kekerasan yang terjadi di Papua Barat di bawah pendudukan Indonesia.

Proyek ini sebagian ini terinspirasi dari proyek pemetaan pembantaian penduduk asli Australia yang dilakukan oleh Guardian dan University of Newcastle, dan pemetaan kekerasan di Sri Lanka oleh Public Interest Advocacy Centre’s.

Tujuan kami adalah membawa perhatian baru pada krisis berkepanjangan di Papua Barat. Kami berharap bahwa dengan menunjukkan tingkat kekerasan yang dilakukan negara selama beberapa dekade, kami dapat mendorong pengawasan internasional yang akhirnya mengarah pada intervensi di Timor Timur.


Read more: Will Australia take a stand on West Papua?


Peta tersebut hanya mendokumentasikan beberapa pembantaian yang telah terjadi di Papua Barat sejak 1970-an, karena kondisi di wilayah tersebut menyulitkan untuk secara akurat mencatat dan memverifikasi kematian. Tantangan lain termasuk kurangnya sumber daya untuk pencatatan, perpindahan internal dan properti yang sering dihancurkan, dan ketakutan untuk melaporkan kematian. Korban-korban lain menghilang, dan tubuh mereka tidak pernah ditemukan.

Kami juga menemukan kelangkaan data dari tahun 1990-an hingga 2010-an, sebagian karena sedikit wartawan yang melaporkan insiden selama periode ini.

Untuk keperluan proyek kami, kami sangat bergantung pada reportase oleh Komisi Hak Asasi Manusia Asia dan Koalisi Internasional untuk Papua (keduanya memiliki koneksi kuat di Papua Barat), serta penelitian oleh sejarawan Robin Osborne, lembaga swadaya masyarakat untuk hak asasi manusia Papua ELSHAM, LSM hak asasi manusia Indonesia TAPOL dan laporan komprehensif oleh akademisi di Yale Law School yang diterbitkan pada 2004.

Di antara serangan terbaru adalah penyiksaan dan pembunuhan sejumlah pengunjuk rasa di Pulau Biak pada 1998, menurut pengadilan warga di Sydney. Beberapa perkiraan menyebutkan jumlah korban tewas mungkin mencapai sekitar 200 orang.



Meskipun jauh dari selesai, proyek pemetaan kami mengungkapkan beberapa tren.

  • Mayoritas pembantaian telah terjadi di dataran tinggi Papua Barat, wilayah dengan rasio tertinggi antara pribumi dengan non-pribumi Papua Barat.

  • Banyak pembunuhan dilakukan ketika orang Papua secara damai berdemonstrasi untuk kemerdekaan dari Indonesia.

  • Mengingat jumlah pasukan yang dikirim ke Papua Barat dan jenis senjata yang mereka miliki, pemerintah Indonesia seharusnya memiliki pengetahuan penuh tentang tingkat kehancuran yang disebabkan oleh serangan pasukan keamanan dan kelompok-kelompok milisi. (Pasukan keamanan Indonesia umumnya dikenal berada di luar kendali pemerintah)

  • Pada sebagian besar pembunuhan, para pelaku tidak pernah dimintai pertanggungjawaban oleh pemerintah.

Pemerintah mengklaim Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Indonesia sedang melakukan penyelidikan atas beberapa insiden yang lebih baru, meskipun ada kekhawatiran komisi ini tidak memiliki kekuatan yang memadai dan pemerintah sebelumnya enggan untuk menerima temuan dari pelanggaran.

Mengapa dunia tetap diam?

Baik Australia dan Selandia Baru ragu-ragu untuk campur tangan dalam krisis HAM di kawasan ini terutama ketika Indonesia terlibat.

Pada 2006, Australia menandatangani Lombok Treaty, yang meyakinkan pemerintah Indonesia bahwa Australia akan menghormati kedaulatan negara Indonesia dan tidak mendukung “gerakan separatis”.

Namun, Australia - dan seluruh dunia akhirnya - ikut bertindak saat referendum kemerdekaan di Timor Timur pada 1999.

Pasukan Australia bertugas di perbatasan Timor Timur/Timor Barat dengan pasukan penjaga perdamaian PBB pada 2000. Dean Lewins/AAP

Dalam memoarnya, mantan Perdana Menteri Australia John Howard menyebut kemerdekaan Timor Timur sebagai salah satu pencapaian kuncinya. Namun, saat menjabat, ia menunjukkan sangat sedikit keinginan untuk mendukung kemerdekaan Timor Timur dan tidak ingin mengganggu Indonesia.

Perubahan sebagian besar adalah hasil intervensi diplomatik di tingkat internasional oleh Presiden Amerika Serikat Bill Clinton, di samping penurunan Polisi Federal Australia (AFP) yang bekerja sebagai polisi sipil tak bersenjata untuk misi PBB di Timor Timur sebelum akhirnya memperoleh referendum.

Penulis Jaime Swift bertugas di Timor Timur pada tahun 2006. Author provided

Liputan media memainkan peran penting dalam membujuk dunia untuk mengambil tindakan. Di Papua Barat, media tidak memiliki efek yang sama.

Ini sebagian karena apa yang dipelajari pasukan keamanan Indonesia dari Timor Timur tentang bagaimana mengendalikan media. Pemerintah Indonesia telah sering memotong layanan internet di Papua Barat, memberlakukan larangan penuh terhadap jurnalis asing, dan menolak permintaan dari Komisi Hak Asasi Manusia PBB untuk menyelidiki pelanggaran hak asasi manusia.

Meskipun demikian, rekaman video kekerasan terus bocor.

Dengan tidak adanya liputan media yang luas, aktivis pro-demokrasi Papua dan pendukung mereka telah menyerukan penyelidikan hak asasi manusia yang disetujui PBB. Ada juga dukungan signifikan dari para pembela HAM di Indonesia untuk penyelidikan semacam itu.

Karena Indonesia sekarang duduk di Dewan HAM PBB, Indonesia harus sepenuhnya mendukung langkah seperti itu. Namun, militer tetap memiliki pengaruh yang cukup besar di negara ini, dan meminta para perwira yang diduga melanggar hak asasi manusia untuk bertanggung jawab secara politis sulit dilakukan.


Read more: Joko Widodo looks set to win the Indonesia election. Now, the real power struggle begins


Bahkan, Presiden Joko “Jokowi” Widodo tahun lalu menunjuk Prabowo Subianto sebagai menteri pertahanan. Prabowo telah dituduh melakukan pelanggaran hak asasi manusia.

Dengan tantangan-tantangan ini, apa yang dibutuhkan dunia untuk menunjukan keberanian moral yang cukup untuk memaksa perubahan di Papua Barat?

Sebagai anggota Dewan Hak Asasi Manusia PBB, Indonesia perlu bertindak benar dengan mengakhiri larangan media di Papua Barat, mendukung penyelidikan independen PBB, dan mengadili pejabat yang bertanggung jawab atas tindakan kekerasan.

Jika Indonesia tidak mengambil tindakan ini, maka tekanan diplomatik dari dunia akan diperlukan.

Artikel ini diterjemahkan oleh Agradhira Nandi Wardhana dari Bahasa Inggris.

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,600 academics and researchers from 4,945 institutions.

Register now