Menu Close

Penganiayaan, kondisi hidup yang sangat sulit mendorong orang Rohingya terus mencari tempat perlindungan

Masyarakat Rohingya menempuh perjalanan berisiko tinggi, untuk tiba di tempat yang belum tentu memberi perlindungan. Zikri/EPA

Kudeta militer di Myanmar awal bulan ini kembali menimbulkan pertanyaan soal persekusi terhadap komunitas Rohingya; kudeta ini menimbulkan ketakutan di antara para pengungsi.

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah menyebut Rohingya sebagai “kelompok minoritas yang paling tertindas persekusi di dunia” akibat diskriminasi sistemtis yang mereka terima.

Kudeta ini dapat menyebabkan orang Rohingya berada di situasi yang semakin tidak pasti. Banyak dari mereka semakin takut kembali ke Tanah Airnya.

Sejak kehilangan kewarganegaraan akibat Undang-Undang Kewarganegaraan Burma 1982, ratusan ribu orang Rohingya telah mengungsi ke negara-negara terdekat, terutama Bangladesh.

Malaysia adalah negara lain yang menjadi tujuan lain bagi pengungsi Rohingya sejak 1970-an. Namun, meski mereka terdaftar sebagai pengungsi di Badan Urusan Pengungsi PBB (UNHCR) di Malaysia, mereka tetap tidak memiliki jaminan hak hukum untuk pekerjaan, pendidikan, dan perawatan kesehatan.

Masyarakat Rohingya yang terpinggirkan di sana adalah pendatang ilegal menurut hukum setempat.

Lalu faktor apa yang mendorong orang Rohingya terus melakukan perjalanan berbahaya melalui laut dan darat untuk mencari keselamatan?

Perjalanan menuju keselamatan

Masyarakat Rohingya umumnya menetap di Negara Bagian Rakhine Utara di Myanmar yang berbatasan dengan Bangladesh. Dengan demikian, permukiman di kamp pengungsi Bangladesh menjadi salah satu pilihan bagi mayoritas Rohingya karena letaknya yang dekat.

Kesepakatan repatriasi pengungsi Rohingya dengan Bangladesh tidak membuahkan hasil akibat adanya persekusi secara terus menerus di Myanmar.

Pengungsi yang putus asa di kamp-kamp menggunakan jaringan penyelundupan dan perdagangan manusia untuk mencapai Malaysia demi kehidupan yang lebih baik.

Perjalanan berbahaya yang dilakukan oleh orang Rohingya biasanya dimulai dengan menyeberangi Laut Andaman dengan perahu untuk mencapai Thailand Selatan.

Setibanya di sana, para pedagang manusia akan menahan mereka. Setelah membayar sejumlah besar uang, mereka baru dibebaskan untuk memasuki Malaysia melalui jalur darat.

Mereka yang tidak bisa membayar akan disiksa dan dijual sebagai budak.

Namun demikian, peningkatan patroli oleh otoritas Thailand dan Malaysia menyebabkan orang Rohingya terdampar di laut selama berbulan-bulan karena kapal mereka yang didorong kembali ke laut oleh otoritas yang di sana.

Beberapa dari mereka cukup beruntung karena dapat diselamatkan oleh nelayan dan dinaungi pemerintah lokal di Aceh, Indonesia.

Namun perjalanan mereka tidak berhenti sampai di situ. Banyak dari mereka yang diselundupkan melalui Selat Malaka untuk mencapai Malaysia.

Hal ini karena mereka ingin bertemu kembali dengan keluarga mereka yang sempat terpisah dan kurangnya kesempatan untuk mencari mata pencaharian di Indonesia.

Pengungsi Rohingya diselamatkan penduduk lokal di Lhoksukon, Aceh, pada Juni 2020. Rahmad/Antara Foto

Read more: Whoever wins the US election, human rights in Southeast Asia are losing


Faktor pendorong

Ada dua faktor utama yang mendorong Rohingya untuk terus melakukan perjalanan berisiko ini.

Pertama, diskriminasi dan penganiayaan sistemik selama puluhan tahun oleh aparat keamanan Myanmar memaksa Rohingya melarikan diri.

Karena tidak memiliki kewarganegaraan, hak-hak dasar penghidupan dan kebebasan mereka untuk bergerak dirampas.

Menyusul tindakan keras militer pada 2017, yang menyebabkan 745.000 Rohingya mencari perlindungan di Cox’s Bazar, Bangladesh, Mahkamah Internasional memutuskan bahwa Myanmar harus segera mengambil tindakan tegas untuk mencegah genosida terhadap etnis minoritas itu.

Kudeta militer di Myanmar yang terjadi minggu lalu membuat Myanmar berada dalam keadaan darurat selama satu tahun ke depan. Para pemimpin National League for Democracy - partai yang baru-baru ini memenangkan pemilu secara mutlak dan politikus penting lainnya ditahan.

Yang jauh lebih mengkhawatirkan, jenderal militer yang saat ini berkuasa, Min Aung Hlaing, adalah orang yang sama yang merekayasa penumpasan brutal yang menarget orang-orang Rohingya pada 2017. Saat itu, Aung San Suu Kyi yang merupakan ikon demokrasi justru ikut mendukung aksi penumpasan tersebut.

Kedua, kurangnya kesempatan mendapatkan mata pencaharian dan pendidikan yang layak menyebabkan pengungsi meninggalkan Bangladesh dan terus mencari tempat yang lebih baik, seperti Malaysia.

Terdampar di kamp-kamp pengungsi yang penuh sesak dan kekurangan sumber daya di Bangladesh membuat orang Rohingya tidak dapat bertahan hidup secara layak bahkan di tingkat yang paling dasar sekali pun.

Persaingan untuk mendapatkan sumber daya dengan penduduk setempat yang miskin juga menciptakan gesekan antara pengungsi dan masyarakat Bangladesh.

Kurangnya pekerjaan dan pendidikan yang layak membuat orang Rohingya mencari masa depan yang lebih baik, yang justru malah membuat mereka menjadi korban sindikat perdagangan manusia.


Read more: Why Aceh is a rare place of welcome for Rohingya refugees


Apakah sanksi internasional efektif?

Myanmar telah menghadapi berbagai sanksi ekonomi karena catatan pelanggaran hak asasi manusianya yang buruk.

Sebagai contoh, Amerika Serikat (AS) memberlakukan sanksi luas terhadap Myanmar setelah tindakan keras terhadap protes mahasiswa pada 1988 sebelum akhirnya mencabut sanksi itu pada 2016.

Untuk meminimalkan dampak sanksi terhadap masyarakat Myanmar secara umum, AS kemudian menyasar sanksi terhadap individu dan industri tertentu. Pada 2019, setelah operasi militer terhadap Rohingya, AS memberlakukan sanksi yang ditargetkan pada pejabat militer Myanmar.

Namun, upaya ini tidak menghentikan upaya genosida terhadap Rohingya dan penindasan terhadap etnis minoritas lainnya seperti Kachin dan Chin.

Di satu sisi, sanksi semacam itu akan memberikan tekanan pada Myanmar untuk bertanggung jawab. Di sisi lain, aksi-aksi ini juga bisa digunakan oleh junta militer untuk membenarkan dan mempertahankan kekuasaan otoriter serta mempertajam ketidaksukaan mereka terhadap negara-negara Barat.

Selain itu, Myanmar juga terus-menerus mendapatkan dukungan dari Cina dan Rusia demi mempertahankan kepentingan geopolitik kedua negara tersebut.

Berbagi tanggung jawab

Ke depan, Perhimpunan Bangsa-bangsa Asia Tenggara (ASEAN) harus meninggalkan kebijakan “non-intervensi” terkait penderitaan yang dialami oleh Rohingya.

Selama bertahun-tahun, kecaman retoris terhadap Myanmar - salah satu dari tiga anggota terakhir yang bergabung dengan ASEAN - telah diarahkan oleh Malaysia dan Indonesia secara individual, dan bukan secara kolektif oleh anggota ASEAN.

Dalam hal ini, harus ada kerja sama internasional yang lebih erat dan dukungan untuk Bangladesh, yang saat ini menanggung beban lebih dari 1,2 juta pengungsi.

Selain butuh biaya untuk menampung Rohingya - diperkirakan mencapai lebih dari 7 juta dolar AS (sekitar Rp 98 miliar) pada 2024, Bangladesh perlu didukung melalui proyek pembangunan yang memenuhi kebutuhan pengungsi dan penduduk setempat yang menampung mereka.

Peluang mata pencaharian dan pendidikan sangat penting untuk memberdayakan komunitas Rohingya dan mengangkat harkat martabat serta memberikan harapan untuk masa depan mereka.

Yang terpenting, pemulangan Rohingya ke Myanmar harus dilakukan bersamaan dengan pemenuhan kewarganegaraan dan persamaan hak.

ASEAN harus menjunjung tinggi Deklarasi Hak Asasi Manusia sebagai komunitas regional inklusif yang bertindak untuk menyelamatkan nyawa ketimbang hanya menjadi organisasi ekonomi yang dimotivasi hanya oleh perdagangan dan investasi dengan mengorbankan hak asasi manusia.

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,600 academics and researchers from 4,945 institutions.

Register now