Menu Close

Piala Dunia 2022: hitung mundur dan kepanikan Qatar menuju turnamen sepak bola penuh kontroversi

Piala Dunia Qatar 2022
Lanskap Stadion Lusail, Qatar. AFL Architects on Vimeo.com/Wikimedia Commons, CC BY-NC-SA

Saat tim sepak bola nasional Denmark bermain di Piala Dunia di Qatar musim dingin nanti, mereka akan menggunakan seragam dengan nama dan logo sponsor mereka – perusahaan pakaian olahraga Hummel – dibuat samar. Terdapat strip warna hitam di lengan kiri salah satu desain yang akan dikenakan. Hummel menggambarkannya sebagai “warna duka cita”.

Perusahaan dengan terang-terangan menjelaskan bahwa desain yang tak biasa ini merujuk pada kematian para pekerja konstruksi di Qatar, serta reputasi buruk perlindungan hak asasi manusia di sana. Dalam unggahan media sosialnya, Hummel mengatakan: “Kami tak ingin terlihat dalam turnamen yang mengorbankan nyawa ribuan orang.”

Perusahaan menambahkan: “Kami mendukung tim nasional Denmark secara penuh, tapi ini tak bisa disamakan dengan mendukung Qatar sebagai negara tuan rumah.”

Ini bukan pertama kalinya Qatar mendapat kritik, dan dengan semakin dekatnya penyelenggaraan Piala Dunia, akan semakin banyak kecaman yang masuk. Mantan pemain bintang Manchester United Eric Cantona, misalnya, mengatakan bahwa ia tak akan menonton turnamen tersebut. Beberapa kota di Prancis juga telah mengeluarkan larangan ‘nobar’ di ruang publik.

Tapi respons Qatar terhadap Hummel menunjukkan adanya perubahan ‘taktik’ negara tersebut. Sebelum-sebelumnya, Qatar lambat merespon kritik semacam itu. Namun, selang beberapa jam setelah unggahan Hummel, organisasi yang bertanggung jawab menyelenggarakan kompetisi akbar tersebut mengeluarkan pernyataan tegas.

Di dalamnya, Supreme Committee for Delivery and Legacy – panitia penyelenggara Piala Dunia Qatar – mengklaim bahwa Qatar telah menerapkan reformasi yang signifikan terhadap pasar tenaga kerjanya. Mereka juga menambahkan bahwa semua negara, termasuk Denmark, harus fokus memajukan hak asasi manusia.

Respons yang nyaring seperti ini patut mendapat perhatian karena menandakan perkembangan dari karakteristik, nada, dan kecepatan komunikasi Qatar. Penyelenggara tampaknya mulai mempersiapkan diri menghadapi periode intensif pengawasan dan aktivisme di salah satu Piala Dunia paling kontroversial sepanjang sejarah persepakbolaan ini.

Mereka juga bersiap menghadapi potensi terganggunya acara dan membeli segalanya – mulai dari peralatan peralatan kepolisian Maroko dan peralatan pengawasan Amerika Serikat (AS), hingga drone dari Turki dan fregat dari Italia. Masih belum terlihat bagaimana sumber daya ini akan digunakan, atau apakah ini terkait dengan pengumuman yang baru dikeluarkan mengenai penjualan alkohol yang dibatasi hanya 19 jam tiap hari.

Terkait logistik, Qatar juga sudah ‘latihan’ dengan menyelenggarakan event besar tersohor seperti Piala Dunia Klub pada 2019 dan Piala Arab pada 2021. Kedua turnamen ini berjalan tanpa adanya insiden yang berarti.

Namun, tes yang baru-baru ini dilakukan di Lusail Iconic Stadium (nantinya akan digunakan untuk pertandingan final pada 18 Desember) agak mengkhawatirkan karena kurangnya air, pendingin ruangan yang bermasalah, dan akses yang membuat penonton harus berjalan kaki selama sejam dalam suhu 35°C untuk mencapai stadion.

Tantangan seperti ini masih bisa diatasi sebelum pertandingan pembuka antara Qatar dan Ekuador digelar November nanti. Tapi hanya ada sedikit margin kesalahan yang bisa ditoleransi dalam penyelanggaraan kegiatan olahraga di tengah kondisi seperti ini.

Maret lalu, balapan F1 di Arab Saudi hampir batal setelah terjadi serangan drone Huthi. Sementara, pada Mei, kendala manajemen publik menimbulkan permasalahan serius dalam pertandingan final Liga Champion di Prancis.

Game on

Jumlah pengunjung akan menjadi tantangan besar bagi penyelenggaraan Piala Dunia tahun ini. Perkiraannya, lebih dari 1,2 juta orang akan mengunjungi Qatar selama November-Desember.

Bagi negara yang populasinya hanya 3 juta penduduk, arus masuk ini akan menjadi ujian bagi ketahanan infrastruktur kritis Qatar, termasuk jalan, transportasi publik, pasokan air, dan kapasitas selokan.

Pekerja migran sudah diimbau untuk meninggalkan Qatar dan kembali hanya setelah turnamen berakhir. Pegawai negeri diminta untuk bekerja dari rumah selama Piala Dunia. Sekolah dan kampus akan diliburkan.

Stiker protes Piala Dunia Qatar.
Banyak protes berkumandang. Sibylle A. Möller/Alamy Stock Photo

Khawatir akan potensi kemacetan, pemerintah Qatar akan menghentikan laju masuk kendaraan tiap Jumat (biasanya hari tersibuk dalam seminggu) dan tengah melaksanakan uji coba terhadap 700 bus elektrik khusus Piala Dunia sebagai antisipasi terjadinya masalah transportasi publik.

Dan, seperti yang saya temukan pada kunjungan saya bulan September, hanya beberapa pekan sebelum Piala Dunia dimulai, beberapa bagian jalan di Doha tak dapat diakses karena Qatar terlambat meningkatkan kapasitas sistem saluran air dan selokannya.

Selama kunjungan itu, saya dikejutkan oleh besarnya pembangunan infastruktur yag terjadi semenjak saya terakhir mengunjungi Qatar, yaitu sebelum pandemi. Doha tampak jauh lebih sunyi dari sebelumnya. Seorang supir taksi memberi tahu saya bahwa ini disebabkan oleh instruksi pemerintah bagi penduduk setempat untuk meninggalkan Qatar atau menjauhi ibu kota selama persiapan tahap akhir dilaksanakan.

Di beberapa bagian, jalan masih belum selesai dibangun. Pun beberapa wilayah yang diperkirakan akan dibanjiri oleh para penggemar bola.

Di antara para pekerja migran yang saya ajak bicara, permasalahan mengenai panjangnya waktu kerja dan rendahnya upah masih ada. Tapi baik para pekerja ini maupun orang-orang lainnya, hampir tanpa terkecuali, juga membicarakan betapa semangatnya mereka menyambut turnamen yang akan datang.

Bahwa banyak dari mereka tak mungkin sanggup membeli tiket pertandingan tak akan menjadi kekhawatiran pemerintah Qatar. Yang penting bagi pemerintah adalah bagaimana 12 tahun yang dihaiskan untuk perencanaan Piala Dunia ini merupakan ambisi pembangunan bangsa, proyeksi soft power mereka, dan upaya mengubah persepsi internasional terhadap Qatar.

Sementara pemerintah berlomba dengan persiapan tahap akhir, tidak banyak waktu tersisa bagi Qatar untuk membuktikan bahwa pertaruhan besarnya tersebut akan membuahkan hasil.

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,900 academics and researchers from 4,948 institutions.

Register now