Menu Close

Riset: negara masih absen dalam pendidikan di Papua, dari ketimpangan guru hingga salah manajemen beasiswa

(ANTARA FOTO/Zabur Karuru)

Badan Pusat Statistik (BPS) pada awal tahun ini merilis Indeks Pembangunan Manusia Tahun 2021 untuk Provinsi Papua 60,62 dan Papua Barat 65,26.

Meski capaian kedua provinsi naik secara gradual, kedua skor tersebut masih merupakan yang terburuk di seluruh Indonesia.

Pasca melewati konflik dan kekerasan selama puluhan tahun, Orang Asli Papua (OAP) berhak merasakan kehadiran negara dan menikmati kehidupan yang lebih bermartabat. Pembangunan sumber daya manusia (SDM) kini menjadi agenda yang mendesak.

Sayangnya, berbagai studi menunjukkan strategi yang dilakukan pemerintah berupa Otonomi Khusus (Otsus), pembangunan infrastruktur, hingga pemekaran wilayah belum mampu mengatasi peliknya masalah kesejahteraan. Strategi tersebut juga belum mengatasi stigma yang sering ditujukan pada OAP: “miskin, sakit, dan tak terdidik”.

Salah satu kebijakan sosial yang lebih krusial untuk meningkatkan kualitas manusia di Papua, yakni pendidikan, masih mendapatkan perhatian yang sedikit.

Kami melakukan studi untuk memetakan pendidikan dan mobilitas sosial di antara OAP. Riset ini melibatkan responden yang mewakili dua zona ekologi berbeda: Kabupaten Mappi (pesisir) dan Kabupaten Puncak (pegunungan).

Hasil studi memperlihatkan bahwa negara absen dalam pendidikan dan pengembangan SDM Papua di pesisir, dengan kondisi yang bahkan lebih buruk lagi di pegunungan.

Absennya negara dalam pendidikan di Papua

Studi kami menunjukkan bahwa negara absen setidaknya melalui tiga aspek pendidikan.

Pertama, ada jurang yang masih lebar terkait kehadiran guru berkualitas pada berbagai jenjang pendidikan di Papua.

Menurut Neraca Pendidikan Daerah, rasio guru dan murid di Papua dari tingkat dasar hingga menengah pada tahun 2020 sebenarnya sudah ideal, yakni 1:16. Dengan kata lain, satu orang guru di Papua mengajar sekitar 16 siswa.

Hal tersebut tergolong lebih baik dari rasio di daerah lain seperti Maluku, Sulawesi Tengah, dan Kalimantan Tengah yang masih lebih dari 1:20.

Namun, faktanya hanya sedikit guru yang benar-benar hadir di sekolah.

Dalam wawancara kami dengan tenaga pendidik di Puncak dan Mappi, misalnya, kegiatan belajar mengajar di daerah kampung atau distrik masih mengalami kekurangan guru. Meski kebutuhan guru di Papua telah tercukupi, distribusinya tidak merata – kebanyakan guru terpusat di area perkotaan seperti Jayapura, Timika, dan Merauke.

Padahal keberadaan OAP terkonsentrasi pada kampung atau distrik di daerah pegunungan dan pesisir layaknya Puncak dan Mappi. Sebagian besar daerah ini pun diklasifikasikan sebagai daerah perdesaan dan sangat tertinggal.

Pada akhirnya, beban kinerja menjadi timpang sehingga guru di perdesaan memikul tanggung jawab lebih besar.

Kedua, bagi guru yang hadir pun, proporsinya lebih banyak guru honorer, ketimbang guru pegawai negeri sipil (PNS) yang biasanya kualitasnya lebih baik.

Ironinya, proporsi guru PNS sebenarnya lebih besar daripada guru honorer di segala jenjang pendidikan.

Studi dari Kementerian Pendidikan (Kemendikbudristek) menunjukkan beragam alasan yang diberikan para guru PNS atas ketidakhadiran mereka; mulai dari menghadiri rapat atau seminar, hingga menjalankan aktivitas yang tidak berkaitan langsung dengan kegiatan akademik.

Pemerintah belum berhasil mengatasi masalah ketimpangan persebaran dan ketidakhadiran guru di sekolah-sekolah Papua. (ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso)

Ada faktor internal dan eksternal yang menyebabkan sulitnya memastikan guru hadir di sekolah. Secara internal, komitmen dan kualitas para guru di Papua masih cukup rendah. Secara eksternal, Papua juga mengalami banyak gangguan keamanan, konflik, dan perang.

Dalam hal ini, negara belum mampu menghadirkan rasa aman, dan gagal mengawal proses kegiatan belajar mengajar di sekolah serta mengevaluasi kinerja guru.

Ketiga, ada kesalahan manajemen dalam implementasi kebijakan pemberian beasiswa di Papua.

Selama sembilan tahun terakhir, Pemerintah Daerah (Pemda) di Papua gencar membuat program beasiswa pendidikan bagi OAP di segala jenjang.

Sayangnya, berbagai program beasiswa ini pelaksanaannya tidak termonitor dengan baik. Pemda hanya terlibat dalam proses penganggaran dan pencairan dana beasiswa, namun abai dalam tahapan monitoring dan evaluasi para pemegang beasiswa.

Pemda justru belum memiliki gambaran yang jelas terkait pemetaan SDM strategis bagi Papua. Akibatnya, para penerima beasiswa tidak mendapat arahan, atau dapat bertindak sesuka hati dalam menjalani beasiswa.

Hasilnya mudah ditebak. Banyak OAP yang ketika lulus sekolah dan kuliah berujung tidak memiliki keahlian, atau bahkan harus putus di tengah jalan.

Memperkuat layanan pendidikan untuk meningkatkan mobilitas sosial

Ketidakmampuan negara dalam mengatasi ketimpangan pendidikan bukan hanya merampas hak, tapi juga mengancam keberlanjutan hidup OAP.

Dalam berbagai penelitian, pendidikan diyakini sebagai alat untuk membantu masyarakat naik kelas secara ekonomi. Memperkuat layanan pendidikan adalah upaya mengakui dan melindungi eksistensi OAP.

Pemerintah harus menyelesaikan berbagai akar permasalahan pendidikan untuk menunjukkan pada masyarakat Papua bahwa negara hadir untuk mereka.

Pertama, pemerintah harus lebih baik dalam mengidentifikasi, merekrut, dan menempatkan guru terampil dari dalam maupun luar Papua, untuk mendukung kompetensi guru lokal di Papua.

Temuan kami di lapangan menunjukkan bahwa guru lokal PNS mengambil porsi besar anggaran belanja pegawai. Tapi di sisi lain, mereka kerap tidak hadir untuk mengajar ke sekolah. Sebaliknya, banyak guru honorer dari luar Papua yang mengajar, tapi mendapat insentif yang sedikit.

Rekrutmen guru terampil ini idealnya melibatkan proses transfer pengetahuan, sehingga mereka bisa membagikan metode pembelajaran ataupun praktik baik lainnya kepada guru lokal.

Para guru terampil juga harusnya direkrut dengan sistem kontrak, tapi dengan insentif yang sepadan dengan kinerja mereka.

Ada beberapa program serupa yang telah berjalan dengan baik dan dapat menjadi contoh di berbagai kabupaten dan kota di Papua.

Ini termasuk Guru Penggerak Daerah Terpencil gagasan Gugus Tugas Papua Universitas Gadjah Mada, Gerakan Indonesia Mengajar yang dulu dicetuskan Anies Baswedan saat jadi Rektor Universitas Paramadina, dan yang terbaru Guru Penggerak hasil inisiasi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Guru Penggerak Daerah Terpencil gagasan Gugus Tugas Papua UGM sedang mengabdi di Kabupaten Mappi, Papua. Author provided (no reuse)

Kedua, memperluas cakupan beasiswa afirmasi bagi pelajar dan mahasiswa asal Papua.

Pemerintah perlu menghadirkan lebih banyak beasiswa bagi OAP ke sekolah dan kampus terbaik baik di dalam maupun luar negeri.

Saat ini, pemerintah baik pusat maupun daerah telah memiliki skema beasiswa pendidikan melalui APBN, APBD, maupun dana otonomi khusus. Ini termasuk beasiswa Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP), Afirmasi Pendidikan Menengah, beasiswa kemitraan, dan sebagainya.

Pemberian program beasiswa pendidikan harus ditingkatkan tiap tahun untuk memberi kesempatan luas bagi talenta muda OAP.

Demikian pula, pembenahan tata kelola beasiswa khususnya pemantauan dan evaluasi harus dilakukan untuk mengatasi masalah lemahnya kontrol terhadap penerima beasiswa.

Ketiga, pemerintah juga tidak boleh melupakan faktor lain yang membuat iklim pendidikan menjadi tidak kondusif – di antaranya ancaman keselamatan dan keamanan terhadap guru dan murid di Papua.

Selama bertahun-tahun, tindak kekerasan dan konflik di berbagai daerah Papua tak kunjung selesai, dan justru semakin meningkat dan tersebar secara merata – dari Maybrat, Papua Barat hingga Intan Jaya, Papua. Riset lain yang kami lakukan menunjukkan banyak fasilitas layanan dasar termasuk pendidikan menjadi non-aktif dan tak berfungsi akibat konflik sosial.

Melalui berbagai langkah dan pertimbangan di atas untuk memperkuat layanan pendidikan di Papua, negara dapat hadir dalam imajinasi dan kenyataan hidup OAP.


Riset kami bersama Gugus Tugas Papua UGM melibatkan wawancara dengan OAP, akademisi, dan pembuat kebijakan di Papua, termasuk Boy Kiwak, Budi Irawan, Darwin Tobing, Elisabeth Yermogoin, Gabriel Lele, Janius Tabuni, Maria Goreti Letsoin, Paulina Cornelia Kohome, dan Satyabhakti Bela Nagari.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,600 academics and researchers from 4,945 institutions.

Register now