Menu Close

Tutup telinga dan mengancam penjara: 5 hal ini menunjukkan pemerintahan Jokowi tidak mau menerima kritik dari warga

Unjuk rasa menentang UU ITE di Surabaya, Jawa Timur. Bhakti Pundhowo/Antara Foto

Permintaan Presiden Joko “Jokowi” Widodo agar masyarakat aktif mengkritik pemerintah awal bulan ini membuat banyak pihak mengernyitkan dahi, tak sedikit juga yang nyinyir.

Kelompok masyarakat sipil menyebut permintaan itu ironis mengingat kebebasan politik dan sipil menurun di era Jokowi karena para pengkritik yang menyerang Jokowi justru dilumpuhkan.

Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), misalnya, mencatat berbagai bentuk ancaman terhadap anggota masyarakat yang aktif mengutarakan pendapat meningkat di masa pemerintahan Jokowi.

“Tekanan terhadap kebebasan ekspresi sepanjang 2020 terjadi terhadap ilmuwan, peneliti, jurnalis hingga aktivis demokrasi, termasuk pembela hak asasi manusia (HAM) dan lingkungan,” kata Herlambang P. Wiratraman, dosen hukum di Universitas Airlangga dan anggota Akademi Ilmuwan Muda Indonesia (ALMI)

Juwita Hayyuning Prastiwi, dosen ilmu politik di Universitas Brawijaya, di Malang, Jawa Timur, mencermati bahwa permintaan kritik Jokowi itu berbenturan dengan keberadaan Undang-Undang (UU) Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

“Banyak pihak meragukan pernyataan Joko Widodo mengingat adanya ancaman pasal karet dari UU ITE terhadap pengkritik,” kata Juwita

UU (ITE) adalah salah satu penghalang terbesar kebebasan berekspresi di Indonesia.

Pasal pencemaran nama baik dan pasal ujaran kebencian dalam UU ITE paling banyak digunakan sebagai dasar pelaporan pidana. Data Jaringan Kebebasan Berekspresi Asia Tenggara SAFEnet mencatat sebagian besar pelapor adalah pejabat publik, termasuk kepala daerah, kepala instansi, menteri dan aparat keamanan.

Tidak lama setelah mengungkapkan keterbukaannya terhadap kritikan, Jokowi memang mengusulkan perlu adanya revisi UU ITE untuk menjamin kebebasan berpendapat orang-orang.

Tapi lagi-lagi, kita harus melihat seberapa seriusnya Jokowi akan hal tersebut.

Selama pemerintahan Jokowi, The Conversation Indonesia mencatat bagaimana Jokowi sama sekali tidak menggubris kritik dari masyarakat terhadap dirinya. Jika ada respons pun biasanya berupa ancaman, intimidasi, dan penangkapan terhadap pengkritik.

Berikut lima dari banyak contoh bagaimana pemerintah mengacuhkan bahkan membungkam kritik beberapa waktu terakhir.

1. Pelaksanaan pilkada 2020

Pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak tetap digelar pada 9 Desember 2020 walau banyak kritikan dan peringatan.

Beberapa ahli epidemiologi memperingatkan bahwa kasus positif COVID-19 berpotensi melonjak dalam pilkada yang diadakan di 309 kabupaten dan kota yang melibatkan lebih dari 100 juta pemilih itu.

Bahkan rekomendasi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan desakan dari Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah tidak dihiraukan.


Read more: Rongrongan terhadap hak-hak sipil di dunia maya meningkat selama pandemi


2. Pengesahan UU Cipta Kerja

Tak terhitung berapa banyak tentangan dari beragam pihak tentang UU Omnibus Cipta Kerja mulai dari proses perancangan, pembahasan, isi dan dampak-dampak negatifnya.

Namun, Dewan Perwakilan Rakyat tetap mensahkan UU itu dengan dukungan pemerintah pada 5 Oktober 2020.

3. Kriminalisasi aktivis

Serangan digital dalam berbagai bentuk, termasuk peretasan, doxxing, dan penuntutan, dan terjadi dalam setahun terakhir.

Misalnya, pada April 2020, Ravio Patra, aktivis yang gencar mengkritik soal penanganan pandemi, ditahan dan dituduh menghasut orang untuk berbuat onar, menyebarkan kabar bohong, dan melakukan ujaran kebencian. Sebelum itu aplikasi WhatsApp miliknya diduga diretas.

Bulan Mei 2020, Universitas Gadjah Mada membatalkan diskusi online tentang cara-cara konstitusional untuk memberhentikan seorang presiden setelah beberapa mahasiswa menerima ancaman pembunuhan dan intimidasi lain.

Bulan September 2019, jurnalis Dandhy Laksono ditangkap dengan tuduhan menebarkan kebencian berdasarkan suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) terkait Papua.


Read more: UU ITE dan merosotnya kebebasan berekspresi individu di Indonesia


4. Penanganan pandemi

Pada masa-masa awal wabah COVID-19, pemerintahan Jokowi praktis menganggap remeh peringatan-peringatan dini, serta menunda penyiapan sistem kesehatan secara menyeluruh termasuk mempersiapkan fasilitas uji kesehatan sejak dini.

Pemerintah cenderung menghambat suara penelitian dan peneliti dengan tujuan melindungi agenda ekonomi dan politik di atas keselamatan rakyat. Hal ini membuat Jokowi di pihak yang bertentangan dengan suara para ilmuwan.

Para pakar sains dan ilmuwan merasa tidak dilibatkan pemerintah saat mengambil keputusan terkait pandemi.

5. Revisi UU KPK

DPR dan pemerintah menyetujui revisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi yang kemudian disahkan pada 17 September 2019 walau ditentang para pegiat antikorupsi, termasuk memicu aksi mahasiswa terbesar setelah Reformasi.

Polisi pun menangkap musikus Ananda Badudu terkait donasi untuk demonstrasi mahasiswa.

Aktivis anti-korupsi dan masyarakat sipil serta mahasiswa sejak awal memperingatkan revisi UU KPK ini cenderung melemahkan ketimbang menguatkan KPK.

Masukan-masukan untuk melakukan perubahan UU yang menguatkan KPK tidak dihiraukan.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,600 academics and researchers from 4,945 institutions.

Register now