Menu Close
Kekaisaran Ottoman
Matahari terbenam di atas Masjid Biru di Istanbul. Mehmet Cetin/Alamy

5 fakta Kekaisaran Ottoman yang perlu kamu ketahui

Selama berabad-abad, kekaisaran menjadi bentuk organisasi politik yang mendominasi. Di Barat, kita mengenal kekaisaran Inggris, Prancis, dan Jerman, serta kekaisaran Spanyol dan Portugal. Belum lagi Romawi atau Yunani. Namun, satu kekaisaran yang terkadang dilupakan adalah Kekaisaran Ottoman (dikenal juga sebagai Kesultanan Utsmaniyah).

Pada peringatan 100 tahun berakhirnya kekaisaran ini pada 1 November 1922, kami akan membahas lima hal yang perlu kamu diketahui tentang kekaisaran Ottoman.

1. Luas wilayah dan lamanya kekuasaan

Kejayaan Ottoman berlangsung selama hampir 600 tahun, dari awal 1300-an hingga setelah perang dunia pertama (PD I). Kata Ottoman berasal dari bahasa Arab “Osman” - nama penguasa pertamanya. Kekaisaran ini memiliki sejarah pembentukan yang sederhana sebagai sebuah kerajaan provinsi di Anatolia (sekarang bagian dari Turki).

Hal yang mengubahnya menjadi kekuatan besar dalam politik dunia adalah ekspansinya yang bertahap ke wilayah-wilayah kekaisaran Bizantium yang saat itu tengah mengalami kemunduran. Ekspansi ini mencapai puncaknya pada tahun 1453 dengan penaklukan Konstantinopel, ibu kota kekaisaran Bizantium.

Konstantinopel berganti nama menjadi Istanbul dan menjadi pusat kekaisaran baru yang sedang bangkit. Pada abad ke-15, kota ini menjadi pusat perdagangan dan inovasi arsitektur yang dinamis. Kemudian terjadi periode ekspansi yang stabil sehingga kekuasaan kekaisaran Ottoman meluas ke beberapa bagian Timur Tengah di sepanjang Laut Merah, Afrika bagian utara, Balkan dan Eropa timur, bahkan sampai ke tembok kota Wina.

2. Seberapa besar kekuatannya

Puncak kekuasaan kekaisaran Ottoman diraih pada abad ke-16 di bawah pemerintahan Süleyman yang Agung, salah satu sultan yang paling lama berkuasa di kekaisaran ini. Bukti kekuatan kekaisaran adalah fakta bahwa Süleyman mendapat julukan “agung” di dunia Barat. Di lingkungan kekaisaran Ottoman, ia dikenal sebagai “pemberi keadilan”.

Selama masa pemerintahannya, Ottoman membentuk aturan hukum baru dan mengalami periode kebangkitan budaya yang didukung oleh perpaduan unsur-unsur Kristen, Islam, dan Arab. Kekaisaran ini juga menawarkan lalu lintas yang aman bagi orang-orang Yahudi Sephardic yang melarikan diri dari penganiayaan di Semenanjung Iberia (Spanyol dan Portugal).

Pada awal abad ke-16, Kekaisaran Ottoman memiliki salah satu komunitas Yahudi terbesar di dunia. Konstantinopel, kota yang secara resmi berganti nama menjadi Istanbul pada 1930, menjadi perpaduan budaya yang nyata. Dan selama masa renaisans, Ottoman menjadi mitra dagang terbesar di Eropa Barat.

3. Pengaruh dan hubungannya dengan Eropa

Tembok kota Wina menandai puncak kekuasaan kekaisaran Ottoman dan awal dari keruntuhannya secara perlahan dan bertahap. Kekaisaran ini menjadi subjek yang dikagumi oleh istana-istana Eropa. Kehidupan budayanya menarik perhatian para pemikir dan seniman Eropa Barat. Organisasi dan kekuatan militernya menarik perhatian para ahli teori dan politikus. Ottoman menjadi salah satu subjek utama dari gerakan estetika dan ilmiah abad ke-18 dan ke-19 yang dikenal sebagai Orientalisme.

Yang terpenting, Kekaisaran Ottoman merupakan bagian dari kekaisaran Eropa. Jangkauannya meluas hingga ke negeri-negeri seperti Balkan dan Eropa Tenggara yang kini menjadi bagian dari Eropa. Dan, meskipun kekuatannya berkurang pada abad ke-18 dan ke-19, populasi Kristen dan Islam di seluruh Balkan dan Mediterania Timur hidup berdampingan dalam masyarakat yang relatif toleran.

Hal ini mulai berubah sejak pertengahan abad ke-19 karena kekaisaran memusatkan kekuasaan dan administrasi, jauh dari wilayah-wilayahnya yang beragam dan terpencar-pencar. Pada awal abad ke-20, provinsi-provinsi Eropa di kekaisaran menjadi tempat terjadinya kekerasan dan konflik antaretnis dan agama. Titik baliknya adalah perang Balkan (1912-3) yang memisahkan Ottoman dari beberapa provinsi yang paling beragam dan terkaya di Eropa Tenggara.

Peta Kekaisaran Ottoman dan Turki Modern
Peta Kekaisaran Ottoman pada 1683, dan Turki saat ini. Peter Hermes Furian/Shutterstock

4. Hubungannya dengan dunia Arab

Kekaisaran Ottoman memperluas jangkauannya ke seluruh wilayah yang sekarang dikenal sebagai dunia Arab - dari Kairo (ibu kota Mesir) hingga Aljir (ibu kota Aljazair). Untuk waktu yang lama, cengkeraman Ottoman di Timur Tengah sangat minim. Fokus utamanya adalah melindungi pos-pos perdagangan utama dan kota-kota suci Islam. Dengan adanya hubungan perdagangan dan ekonomi yang saling menguntungkan, berbagai wilayah yang berbeda dapat hidup berdampingan sebagai satu kesatuan, dan mempertahankan kesetiaan pada kekaisaran Ottoman.

Namun, dengan meletusnya perang dunia pertama, hal ini mulai berubah. Bangkitnya nasionalisme Arab dan dinamika propaganda perang memicu gerakan-gerakan di seluruh dunia Arab yang secara aktif berusaha untuk memutuskan hubungan dengan negara Ottoman.

5. Pengaruhnya terhadap kehidupan Turki modern

Kekalahan tentara Yunani di Anatolia pada 1922 oleh kekuatan nasionalisme Turki menandai runtuhnya kekaisaran Ottoman secara de facto dan munculnya negara baru, Turki modern. Perang Yunani-Turki menjadi seruan bagi gerakan pan-Islamisme anti-kolonial di seluruh Timur Tengah dan India.

Namun, Mustafa Kemal Ataturk, pendiri dan pemimpin pertama Turki, ingin melakukan terobosan radikal dari warisan Ottoman. Dia lalu memindahkan ibu kota negara baru dari Konstantinopel ke Ankara dan memprakarsai serangkaian reformasi yang cepat, seperti perubahan alfabet dan penghapusan kekhalifahan, gagasan monarki absolut atas dunia Islam. Terlepas dari pemutusan hubungan secara radikal dengan masa lalu kekaisaran, perdebatan antara tradisi dan modernisasi terus membentuk evolusi kehidupan politik Turki.

Dalam beberapa dekade terakhir, Turki telah menyaksikan kembalinya gerakan politik dan budaya yang menolak orientasi sekuler Barat di negaranya dan melihat kembali masa lalu Ottoman sebagai panduan untuk masa kini. Keputusan pemerintah Erdogan untuk mengubah kuil Bizantium yang terkenal, Hagia Sophia, kembali menjadi masjid pada 2020, meskipun mendapat kecaman internasional yang luas, merupakan contoh nyata dari sebuah penghargaan terhadap masa lalu Ottoman untuk masa Turki modern.


Rahma Sekar Andini dari Universitas Negeri Malang menerjemahkan artikel ini dari bahasa Inggris

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,700 academics and researchers from 4,947 institutions.

Register now